Kursi pertama diberikan kepada parpol A, kursi kedua kepada parpol B, kursi ketiga untuk calon kedua parpol A, keempat untuk calon ketiga parpol A, kelima untuk parpol C, keenam untuk calon keempat parpol A dan kursi terakhir untuk calon kedua parpol B.
Proses ini menyaring ribuan nama calon legislator menjadi 575 nama legislator DPR RI dan menjaring ribuan anggota DPRD dari puluhan ribu caleg.
Pembagian kursi untuk setiap parpol berdasarkan jumlah suara yang diterima individu caleg. Namun, peraturan pemilihan Indonesia yang membolehkan HANYA memilih parpol tanpa memilih caleg dapat merugikan beberapa caleg terutama dari partai menengah-kecil yang sering terjegal oleh caleg dari partai besar yang lolos ke parlemen walau perolehan suara individunya lebih kecil karena bantuan suara parpol.
Dari contoh Parpol A-B-C di atas, misalkan calon keempat dari parpol A hanya mendapatkan 4,000 suara sah (karena pemilih banyak yang hanya memilih parpol A saja dan calon pertama lebih populer), sedangkan calon kedua di parpol C mendapat 5,500 suara (karena parpol C lebih fokus pada ketokohan calonnya). Pada skenario ini, calon keempat parpol A akan terpilih walau suara yang didapat lebih sedikit dari calon kedua parpol C.
Fenomena di atas menyebabkan disproporsionalitas parlemen dengan hasil pemilu nasional. Mengambil contoh dari pileg 2014, Partai Hanura yang mendapatkan 5,26% suara nasional hanya mampu menduduki 16 kursi parlemen (2,86% total kursi). Sebaliknya, partai besar seperti PDI-P dan Golkar justru mendapat jatah kursi lebih besar dari perolehan suara nasional sebesar 0,51% dan 1,50% secara berurutan. Selain itu, karena diterapkannya ambang batas parlemen, 2,37% suara nasional pemilih PBB dan PKPI tidak terwakilkan di DPR RI.
Menurut saya, ada beberapa masalah dari sistem pencalonan dan pemilhan di Indonesia ini yang mungkin butuh satu tulisan khusus tentangnya.
Pada akhirnya, di pemilu mendatang kita memilih SIAPA yang akan menggaungkan suara kita di parlemen untuk berbagai tingkatnya. Memilih adalah hak setiap warga negara, namun berpikir jernih untuk memilih calon yang tepat adalah kewajiban setiap pemilih.Â
Jadi, jangan hanya terpaku pada gaduhnya pilpres. Coba sempatkan waktu untuk melihat daftar caleg di dapil anda. Masih banyak waktu untuk mempelajari rekam jejak dan prestasi setiap calon.
Selamat memilih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H