Mohon tunggu...
Ifonny Pasongli
Ifonny Pasongli Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Instagram: @ifonnyp. Psikolog Klinis berpraktek di Puskesmas Sawahan Surabaya. Berfokus pada penanganan Kasus Remaja dan Dewasa.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Orangtua Sering Pura-pura Sakit? Bisa Jadi karena Kesepian

28 Maret 2023   20:10 Diperbarui: 28 Maret 2023   20:14 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
greatergood.berkeley.edu

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat klien seorang lansia berusia 75 tahun, sebut saja Oma Rose. Beliau datang ditemani oleh anaknya. Menurut keterangan anaknya, Oma Rose sering berpura-pura sakit dan puncaknya beberapa minggu yang lalu Oma Rose menelpon anaknya yang tinggal di Sidoarjo dan Malang untuk pulang melihat kondisinya yang sudah sangat lemah dan hanya bisa terbaring di tempat tidur. Akhirnya anaknya pulang dan memanggil dokter untuk memeriksa ke rumah. Dokter menjelaskan bahwa tidak ada masalah dengan kesehatan Oma Rose.

 Salah satu anak Oma Rose marah kepada oma karena sudah membuat mereka panik. Setelah kejadian itu, Oma Rose ngambek dan tidak mau makan akibatnya Oma Rose benar-benar sakit. Setelah pengobatan dan pulih kembali, keluarga memutuskan untuk mengajak Oma untuk konsultasi ke psikolog.

Menurut Anne (anak, tinggal bersebelahan dengan rumah oma), Oma Rose terus mengeluh bahwa tidak ada yang memperhatikannya. Padahal sebelum berangkat kerja Anne mampir mengunjungi Oma Rose dan membawakan sarapan, tetapi Oma Rose selalu menolak. 

Karena sering menolak, Anne kadang memaksa Oma Rose untuk makan tetapi Oma Rose ngambek dan menelpon anaknya yang lain, mengadu bahwa Anne bersikap kasar kepadanya. Aduan-aduan dari Oma Rose sering membuat anaknya bertengkar. Oma tidak mau diajak tinggal di rumah Anne karena lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, walaupun bersebelahan. 

Menurut Oma Rose, kehidupannya sekarang sudah tidak ada artinya. Tidak ada yang mau peduli dengan dirinya lagi. Ia merasa sendirian dan tidak punya siapa-siapa. Rasanya anak-anak Oma Rose hanya peduli dengan kehidupannya masing-masing. Anak-anaknya hanya mau berkunjung ketika Oma Rose kecuali ketika oma sakit, itu pun hanya sebentar, tidak pernah lagi ada kumpul-kumpul keluarga seperti sebelumnya. 

Kondisi yang dialami oleh Oma Rose adalah kesepian dan ingin lebih diperhatikan oleh keluarga, tetapi cara untuk mencari perhatian bisa membahayakan diri sendiri dan juga menyebabkan masalah di antara anak-anak.

Pengertian kesepian

Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang kita inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki. Kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri dan malu. Kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000).

Menurut Brehm dan Kassin, kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan emosi-emosi negatif dan perasaan yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang serta adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dan ketersediaan hubungan yang dimiliki.

Bentuk-bentuk kesepian

Weiss (dalam Santrock, 2002) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu:

  • Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.
  • Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peranperan yang berarti; suatu bentuk kesepian yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas.

Penyebab kesepian

Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang-orang yang merasakan kesepian, yaitu:

Tidak terikat: tidak memiliki pasangan (suami atau istri); tidak memiliki partner seksual; berpisah dengan pasangan (suami atau istri) atau kekasih, salah satunya karena kematian.

Terasing: merasa berbeda; tidak dimengerti; tidak dibutuhkan; tidak memiliki teman dekat.

Sendirian: pulang ke rumah tanpa ada orang di rumah; selalu sendirian

Isolasi yang dipaksakan: dikurung di rumah; dirawat inap di rumah sakit; tidak adanya transportasi.

Dislocation: jauh dari rumah; memulai pekerjaan atau sekolah baru; terlalu sering pindah; sering bepergian.

Berdasarkan teori di atas, kesepian dapat terjadi ketika seseorang ditinggalkan oleh pasangannya. Dalam hal ini, Oma Rose mengalami isolasi emosional. Oma Rose mulai merasa kesepian setelah kematian suaminya. Kejadian tersebut memaksa Oma Rose untuk menjalani kehidupannya sendiri, tinggal sendirian di rumah dan melakukan aktifitasnya sendiri sehingga Oma Rose merasa kesepian. 

Oma Rose tertutup dan jarang bersosialisasi dengan warga di sekitar komplek tempat tinggalnya, hal ini semakin menambah rasa kesepian subjek. Ditambah anak-anak Oma Rose sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Seseorang yang kesepian sangat membutuhkan kontak sosial, oleh karena itu keluarga perlu untuk memberikan dukungan.

Apa yang perlu dilakukan ketika hidup berdampingan dengan lansia agar mereka tidak mengalami kesepian?

Memberikan dukungan sosial

Dukungan sosial yang dimaksudkan adalah dengan memberikan perhatian, rasa nyaman, dan aman dari orang terdekat seperti anak dan cucu agar mereka tidak merasa sendirian, merasa berharga, dicintai, dan diperhatikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Maramis, bahwa salah satu bentuk terapi yang cocok untuk mengatasi kesepian adalah terapi supportif. Contoh terapi supportif yang dapat diberikan oleh keluarga adalah memfasilitasi lansia untuk melakukan katarsis.

Katarsis adalah membiarkan pasien mengeluarkan isi hati sesukanya. Dengan mengeluarkan isi hati, pasien akan merasa lega dan suasana hatinya menjadi lebih baik. Karena itu, sebagai keluarga, atau orang terdekat, kita perlu menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita mereka. Tanyakan apa yang mereka butuhkan atau apa yang mereka inginkan, jika memungkinkan fasilitasi mereka untuk mendapatkan hal tersebut.

Dalam kasus Oma Rose, beliau sebenarnya sangat merindukan saat-saat masih berkumpul bersama dengan keluarganya, tetapi beliau tidak tahu cara menyampaikan kepada anak-anaknya sehingga memutuskan untuk berpura-pura sakit agar anaknya berkunjung. Agar hal seperti ini tidak terulang, keluarga bisa meluangkan waktu secara berkala untuk berkumpul bersama atau mengadakan rekreasi keluarga sehingga subjek merasa dipedulikan ada dan disayangi oleh anggota keluarga.

Selain itu, ajak lansia untuk aktif bersosialisasi. Salah satunya dengan mengikuti kegiatan posyandu lansia di wilayah tempat tinggal. Sosialisasi dan menjalin keakraban dengan sesama lansia bisa meningkatkan kesejahteraan psikologis dan mengurangi kesepian pada lansia. Jika lansia memiliki hobby tertentu, tawarkan untuk ikut komunitas dengan hobby yang sama.

Apabila orang tua atau lansia disekitar Anda mengalami keluhan-keluhan lain baik itu keluhan fisik maupun psikis, segera konsultasikan kepada tenaga kesehatan terdekat agar dapat tertangani dengan cepat. Salam sehat.

Daftar Pustaka

Brehm, Sharon S. 2002. Intimate Relationship. Edisi ketiga. New York : The MacGraw-Hill Companies, Inc. 

Bruno, F.J. 2000. Conquer Loneliness (Menaklukkan Kesepian). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Santrock, John W. 2002. Life Span Development. Jilid kedua. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun