Mohon tunggu...
Ifonny Pasongli
Ifonny Pasongli Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Instagram: @ifonnyp. Psikolog Klinis berpraktek di Puskesmas Sawahan Surabaya. Berfokus pada penanganan Kasus Remaja dan Dewasa.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Skizofrenia, Hidup dengan Teman Khayalan?

8 November 2022   14:56 Diperbarui: 9 November 2022   18:35 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, saya berbelanja di minimarket dekat tempat kerja saya. Saya memperhatikan seorang wanita paru baya duduk santai di depan minimarket tersebut. Dia terlihat sedang berbicara sambil sesekali tertawa cekikian. Saya berpikir, mungkin wanita itu sedang telponan dengan seseorang menggunakan earphone.

Seminggu kemudian saya kembali melihat wanita tersebut, masih dengan aktivitas yang sama, berbicara sambil sesekali tertawa. Saya memperhatikan penampilannya seperti tidak terawat, memakai pakaian lusuh dan tidak menggunakan masker.  Setelah selesai berbelanja, saya mendekat dan duduk di sebelah wanita tersebut. Saya melirik telinganya, tidak ada earphone atau sejenisnya. Dia juga tidak membawa handphone. Diam-diam saya mendengar pembicaraannya, ternyata dia berbicara sendiri dan pembicaraannya juga tanpa makna, tidak berhubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Saya pun basa-basi menyapanya.

            “Halo mbak, ngapain?” tanya saya.

            “Iniloh aku lagi cerita sama temenku.” Jawabnya.

            “Mana temennya?”

“Itu loh temenku, daritadi ngajak cerita” (sambil menunjuk ke depan, tetapi tidak ada siapa pun disitu).

Akhirnya saya mencari tahu tentang wanita tersebut lewat tukang parkir depan minimarket. Wanita tersebut bernama Happy dan kebetulan alamatnya masih berada di wilayah kerja saya. Saya menghubungi keluarganya dan mendapat informasi bahwa dia memang sudah lama “gila” karena masalah rumah tangga. Keluarga menceritakan bahwa setiap pagi dia pamit dari rumah dengan alasan berangkat kerja dan pulang ke rumah pada sore hari. Tapi kenyataannya dia tidak punya pekerjaan, hanya berkeliling kampung atau nongkrong di depan beberapa minimarket dekat rumah. 

"Happy sering terlihat seperti sedang berbicara dengan orang lain lewat telpon, tangan diletakkan di kuping, sambil berjalan mondar-mandir sambil ngomong tapi yang diomongkan tidak jelas."

“Kalo diajak ngobrol, kadang nyambung kadang enggak, tapi lebih banyak gak nyambungnya. Tapi dia gak ngganggu orang lain.”

Ternyata keluarga dan tertangga sudah lama mengetahui kondisi Happy tetapi tidak berpikir untuk membawa Happy periksa karena menurut mereka tidak ada masalah karena kondisi Happy tidak membahayakan orang sekitar. Oleh karena itu, saya berusaha memberikan edukasi kepada keluarga mengenai kondisi Happy dan perlunya pengobatan untuk mengurangi gejala yang muncul. Saya juga meyakinkan keluarga untuk tidak khawatir mengenai biaya karena untuk pengobatan pasien dengan gangguan jiwa ditanggung oleh pemerintah. Jadi dari pihak puskesmas membantu pengajuan BPJS PBI untuk Happy, membuatkan surat rujukan dan selanjutnya keluarga membawa Happy untuk berobat ke poli kesehatan jiwa RS.

Apa itu Skizofrenia?

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani schizein yang berarti terpisah atau pecah dan phrenia yang artinya jiwa, jadi skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan adanya distorsi pada pikiran, emosi, dan perilaku (Fauziah dan Widuri, 2005).  Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk membedakan antara kenyataan dengan apa yang hanya ada di dalam pikiran dan perasaannya sendiri sehingga penderita menjadi terganggu dan terhambat dalam melakukan aktivitas secara normal dan berinteraksi dengan orang lain.

Gejala Skizofrenia

1. Waham atau delusi

Delusi atau waham adalah suatu keyakinan yang salah dan tidak masuk akal karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tetapi tetap diyakini sebagai hal yang nyata oleh penderita. Misalnya penderita meyakini bahwa dirinya adalah seorang nabi bahkan merasa diri sebagai Tuhan.

2. Halusinasi

Halusinasi merupakan suatu keadaan dimana penderita seolah-olah mengalami sebuah pengalaman sensori tanpa adanya stimulus nyata dari lingkungan. Halusinasi dapat berupa halusinasi pendengaran, penglihatan, perabaan, dan penciuman. Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang paling sering dialami oleh penderita skizofrenia, berkisar antara 70-75% (Diaz, 2010). Misalnya penderita mendengar suara-suara yang menyuruh mereka untuk mencelakai orang lain atau bahkan meminta penderita untuk bunuh diri.

3. Pembicaraan kacau (ngelantur)

Perilaku yang tidak terorganisasi misalnya penderita memperlihatkan perilaku-perilaku yang dianggap aneh dan tidak biasa dilakukan oleh orang normal serta melakukan hal-hal tertentu yang tidak bertujuan, misalnya membuka pakaian di depan umum kemudian menari-nari.

4. Simptom negatif, seperti emosi datar, pandangan kosong, keterbatasan dalam berkomunikasi.

5. Penurunan fungsi sosial  dan ketidakmampuan untuk merawat diri.

Penyebab Skizofrenia

Gangguan skizofrenia tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal, tapi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik dan abnormalitas struktur otak; faktor psikosial diataranya peristiwa traumatis (anak korban kekerasan fisik maupun seksual, korban kerusuhan), masalah hubungan interpersonal (konflik dengan pasangan dan orang terdekat), faktor keluarga (pola asuh, orang tua bercerai), kondisi sosial ekonomi, dan pekerjaan (misalnya: pengangguran, PHK). Gangguan skizofrenia kadang berawal pada masa kanak-kanak tapi biasanya gejalanya akan terlihat jelas pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa.

Peran Keluarga dalam Penanganan Orang Dengan Skizofrenia (ODS)  

Apabila salah satu anggota keluarga atau orang terdekat Anda mengalami gejala-gejala seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebaiknya segera melaporkan ke petugas kesehatan terdekat agar segera mendapatkan penanganan. Namun, tidak cukup hanya dengan penanganan dari petugas kesehatan dan pemberian obat-obatan. Keluarga adalah pendukung utama yang memiliki peran penting dalam proses penyembuhan dan untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada ODS. ODS yang tinggal dengan keluarga yang menunjukkan sikap penolakan dan tidak peduli akan sulit untuk sembuh sekalipun rutin menjalani pengobatan. Begitu pula dengan lingkungan keluarga yang keras dan suka mengkritik, akan meningkatkan resiko kekambuhan.

Pada kasus Happy, salah satu gejala yang muncul yaitu halusinasi. Ada halusinasi pendengaran dan juga halusinasi penglihatan. Selain pemberian obat-obatan antipsikotik dan psikoterapi, Happy membutuhkan lingkungan keluarga yang bisa memberikan rasa nyaman dan penerimaan, serta memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional yang dapat dilakukan oleh keluarga adalah bersedia menjadi teman untuk bercerita. Memiliki teman untuk bercerita bisa mengurangi intensitas bahkan menghentikan halusinasi.

Salah satunya keluarga bisa menanyakan “Dari mana asal suara yang kamu dengar? Apa yang dia katakan? Kalo kamu tidak mendengarkannya, bagaimana responnya? Dengan siapa kamu berbicara? Dimana orangnya?” Dengan demikian perlahan-lahan bisa membangkitkan kesadaran pasien bahwa apa yang dia dengar dan yang dia lihat tidak nyata. Keluarga juga berperan untuk mengingatkan saat waktunya minum obat, dan bersedia mengantar untuk kontrol ke layanan kesehatan. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan dan pemulihan pasien sangat berkurang (Friedman, 2010).

Dukungan keluarga selama masa penyembuhan memberikan pengaruh yang besar terhadap pemulihan pasien. Oleh karena itu keluarga perlu untuk mengetahui lebih dalam mengenai gangguan skizofrenia agar keluarga tahu bagaimana menghadapi penderita misalnya tentang gejala-gejala kekambuhan dan cara pencegahan kekambuhan sehingga ketika ODS sudah mulai menunjukkan gejala-gejala kekambuhan, keluarga bisa bertindak cepat untuk membawa ODS ke layanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan.

Hidup dengan ODS memang tidak mudah. Merawat ODS dalam jangka waktu yang lama bisa menimbulkan stres bagi keluarga. Dampak stres dapat berupa keluhan fisik dan emosional. Keluhan fisik contohnya sakit kepala, sulit tidur, gangguan pencernaan, sedangkan keluhan emosional contohnya mudah marah dan tersinggung. Apabila mulai merasakan keluhan tersebut, disarankan untuk segera berkonsultasi ke petugas kesehatan agar keluhan tidak berlanjut.

Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Salam sehat jiwa.

Daftar Pustaka

Fauziah & Widuri. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Universitas Indonesia: Jakarta.

Friedman, M. 2010. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun