Mohon tunggu...
Ifla Maulana
Ifla Maulana Mohon Tunggu... Jurnalis - Ruang belajar

Sedang mengembangkan bakat melamun.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Warung Ari Resto: Menjemput Kenangan

10 Juni 2022   17:31 Diperbarui: 10 Juni 2022   18:41 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini sepulang kerja, saya mengunjungi Warung Ari Resto; sebuah tempat yang (pernah) menjadi tongkrongan saya dan beberapa teman saat masih kuliah.

Saya merekam, memotret dan mendikte tempat ini lebih detail sebagai suatu peristiwa penting yang sudah jarang dilakukan. Momen ini amat berharga, bagi saya, itu mengapa harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Saya akan bercerita sedikit mengapa tempat ini menjadi satu monumen sejarah yang mesti diziarahi. Pasalnya, seusai lulus kuliah saya -entah teman yang lain- sudah sangat jarang mampir atau sekedar ngopi santai sambil mereview (bukan ghibah) orang yang tampak di jelaga mata.

Paragraf di atas memang terkesan naif, karena sedari awal saya atau teman saya yang membaca tulisan ini juga pasti menyadari kalau diantara masing-masing dari kita mempunyai kesibukan. Sehingga tak perlu lagi ditulis. Saya tak peduli akan disebut sampah atau hanya memenuhi karakter saja. Tapi izinkan saya mengawali tulisan ini sebagai sesuatu yang naif; senaif Warung Ari Resto ini.

Warung Ari Resto bertempat tepat di depan kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Cukup luas, juga amat nyaman jika untuk nongkrong sambil menghitung kendaraan lewat. Kurangnya di tempat ini, kami tak bisa melingkar. Karena dari segi tempat, Warung Ari Resto cenderung horizontal. Jadi kami hanya bisa berderet.

"Ri... Kopi hitam satu," kata orang yang duduk di sampingku.

Kalimat itu memang terdengar biasa, namun, jika ditilik lebih jauh. Kalimat itu seperti suara rengekan anak meminta sesuatu kepada orangtua. Tak dipungkiri pula, kita juga tak jarang menyimpan amarah jika suara kami tak didengar. Kita kadang menggerutu, "Brengsek! Padahal saya duluan yang pesan. Kenapa orang lain yang dilayani lebih dulu."
Ya, gerutu itu kami jumpai saat awal mula nongkrong di sini.

Namun, jika sudah mengenal lebih dekat ke sosok penjualnya, Ari. "Kadang saya merasa risih, sementara tangan saya cuma dua. Mau tidak mau harus gantian. Soal siapa lebih dulu, saya lebih mendahului perempuan ketimbang laki-laki," jawabnya sambil terkekeh, saat saya ngobrol intens dengannya.

Kapan Ngopi (lagi) di sini?

Tempat ini, bagi saya, memiliki sejarah yang panjang selama saya menjadi mahasiswa. Dulu, tempat ini banyak melahirkan wacana-wacana baru bagi dunia kampus. Kami sering berdiskusi di sini, membahas kebebalan dosen dalam mengajar, trend mahasiswa, juga membahas buku. Dan di tempat ini pula cikal bakal saya mencintai dunia buku.

Saat berkumpul atau tanpa diduga bertemu teman di sini. Pertanyaan paling fundamental yang wajib dicetuskan adalah, "Sedang baca buku apa?"

Tentu mahasiswa seperti saya, kadang sedikit terhentak saat dijatuhi pertanyaan tersebut. Karena saya orang yang amat malas untuk membaca, saat itu. Pun kalau berkumpul, saya cenderung pendiam jika sudah bahas buku. Merasa tidak memiliki referensi untuk masuk dalam pembahasan, mau tidak mau saya hanya duduk menyimak sambil menghabiskan kopi dan rokok saja.

Dari situ stimulan pertama saya, untuk sedikit mencoba membaca. Buku pertama kali yang saya beli, saat itu Il Prince karya Niccolo Machiavelli. Awalnya saya tak tahu siapa penulis tersebut, tetapi setelah membaca dan mencarinya di internet. Ternyata buku itu menjadi pedoman wajib bagi diktator, bahkan Napoleon Bonaparte pernah tidur di atas buku tersebut. Saya membelinya saat ada bazar di at-taqwa.

Setelah itu, mulai muncul benih-benih bibliofil dalam diri untuk melahap semua buku. Ya meskipun masih sering tidak paham terhadap isi bukunya, saat itu saya hanya berpegang, "Yang penting baca, urusan paham atau tidak itu lain soal. Jatuh cinta saja lebih dulu terhadap buku."

Tiap bulan saya menargetkan, harus menyisihkan uang jajan untuk membeli buku meski itu hanya satu. Perlahan saya mulai ikut nimbrung ketika sedang berkumpul lalu membahas buku. Meskipun argumen yang saya lontarkan hanya sampah, tetapi ini menjadi satu langkah untuk saya berani bicara.

Saat itu, ada banyak sekali bahan untuk dibahas. Bahkan, di tempat ini pula DILAWAN terbentuk. Sebuah komunitas kecil pecinta sastra yang terdiri dari tiga orang; DIas, LAna, iWAN. Kami seringkali membahas buku sastra dari penulis luar maupun lokal. Sampai kami pernah menoreh sebuah pencapaian paling agung selama kuliah. Ya, selama kuliah. Mendatangkan penulis-penulis yang kami suka.

Bulan Oktober tahun 2017, awal mula kami mencetuskan program Pekan Literasi. Meski saat itu, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) menjadi wadah kita untuk dapat mendatangkan penulis seperti; Fauz Noor (Penulis Trilogi Tapak Sabda) dan Sanghyang Mughni Pancaniti (Penulis trilogi Perpustakaan Kelamin). Karena jika mengundang atas nama DILAWAN kami tidak memiliki kemampuan secara finansial, kami bertiga tergolong lelaki yang dompetnya sering ditindas. Untungnya, saat itu kami tak melupakan pula jasa seorang Fajar Rahmawan, seorang lelaki asal tanah Sunda yang sering menamai dirinya sendiri; Fajar Leter Z.

Lalu, tahun 2018 kami pun sukses pula mendatangkan satu penulis fenomenal. Ya, fenomenal. Kenapa? Ia seorang penulis buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Muhidin M Dahlan. Kami merasa puas saat itu, juga ada beberapa nama penulis sastra yang sudah kami catat sebagai tamu di Cirebon. Namun, karena terkendala oleh waktu, akhirnya kami tak dapat menunaikannya.

Maka, akhir dari menulis ini. Saya menyimpulkan bahwa Warung Ari Resto saat ini hanya menjadi tempat yang penuh kenangan. Jika masih diberi waktu untuk dapat nongkrong dan berkumpul kembali di sini. Itu hanya semata-mata untuk menyambung tali silaturahmi. Hanya itu. Pembahasan buku telah tiada, dan saya meyakini pembahasan yang akan di suguhkan hanya berupa soal realita pekerjaan, hiruk pikuk keluarga atau hanya menikmati ngopi santai (lagi) sambil mendikte kendaraan lewat. Ya, hanya itu.

Jadi, kapan kita ngopi lagi di sini?

Ditulis sore ini, di tempat Warung Ari Resto. 

Cirebon, 10 Juni 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun