Selama hampir sepuluh bulan kami menjalankan usaha di ruko, semua terasa lancar dan mulai menyesuaikan diri dengan usaha baru tersebut sebagai seorang pedagang. Pada awalnya memang tidaklah mudah untuk merubah kebiasaan dari seorang pekerja yang bekerja di proyek pertambangan menjadi seorang pedagang walaupun hanya pedagang eceran kecil-kecilan saja. Tapi dengan keyakinan penuh, aku dan istri harus bisa menjalaninya.
Situasi di sekitar toko pada pagi hari di tanggal 13 Mei 1998 tidak jauh berbeda seperti biasanya. Masing-masing pemilik toko dan karyawannya mulai sibuk membersihkan tokonya bahkan saling menyapa satu sama lainnya karena sudah saling mengenal.
Para pengunjung juga belum banyak terlihat hanya beberapa orang yang datang berbelanja di mini market Indomaret atau yang mengunjungi gerai ATM BCA untuk mengambil uang atau melakukan transaksi perbankan lainnya. Beberapa tukang becak juga sudah nongkrong menunggu penumpang di depan komplek ruko tersebut.
Sampai pukul 10:00 pagi hari situasi masih terasa aman-aman saja dan belum ada ketegangan apapun khususnya di dekat pemukiman kami. Walaupun di Jakarta khususnya di Pusat Kota dan di Jakarta Barat serta di Jakarta Timur sudah mulai tampak adanya ketegangan. Dari siaran langsung berita di beberapa saluran televisi maupun di radio-radio FM seperti radio Sonora dan radio Elshinta terus menyiarkan berita mengenai kerusuhan dan pembakaran di mana-mana.
Demikian pula dengan demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan masyarakat juga terus semakin meluas dan memanas. Aparat keamanan terus memblokir pergerakan massa yang mulai merangsek ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Istana Kepresidenan. Ribuan orang turun tumpah ke jalan berunjuk rasa.
Terlihat situasi sudah mulai tidak terkendali lagi. Penembakan peluru gas air mata dan penyemprotan air ke arah demonstran tak terbendung lagi. Bahkan hingga malam harinya beberapa mahasiswa menjadi korban penembakan peluru tajam hingga tewas yang belum diketahui darimana asalnya.
Suasana ibukota Jakarta semakin mencekam. Aparat keamanan tidak bisa lagi mengendalikan situasi keamanan. Penjarahan terjadi dimana-mana khususnya di pusat-pusat perbelanjaan hingga ke pembakaran mall-mall yang berakibat banyaknya korban tewas yang terjebak di dalam gedung tersebut. Seperti di mall Klender di Jakarta Timur, mall Slipi dan beberapa mall lainnya di kawasan Cengkareng.
Tidak hanya itu saja. Kekerasan juga terjadi dimana-mana khususnya yang menimpa orang-orang yang beretnis Tionghoa. Mulai dari penjarahan dan pembakaran rumah, toko dan harta benda dirampas, pemukulan, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kerusuhan berubah menjadi kerusuhan rasial yang menjadi sasarannya adalah etnis Tionghoa.
Aku terus memantau situasi dari siaran berita di televisi. Terasa sangat menakutkan dan mencekam hingga pada malam harinya. Aku pun mulai antisipasi untuk mengamankan beberapa dokumen penting ke rumah saudaraku yang berada di dalam komplek perumahan. Juga mobil pick-up yang aku punya satu-satunya  kupindahkan ke rumahku yang sudah aku kosongkan di dalam komplek perumahan tersebut.
Tanggal 14 Mei 1998 pagi hari. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku membuka pintu ruko dan kembali memajang barang-barang dagangan pada tempatnya. Ada sedikit keanehan yang aku rasakan kala itu yang tidak seperti biasanya.