***
Terkadang aku bisa melihat kembali pada masa lalu, sebab aku pernah lewat dan berhenti disana, untuk mencicipi goresan kesenduan malam. Walaupun aku menangis tak bisa melihat cahaya, namun aku coba melangkah maju meninggalkan rasa pahit goresan itu.Â
     Tak jarang aku terjatuh, bahkan sering menyerah lebih dari sekali. Tapi sekarang aku di sini, berdiri tanpa rasa takut, demi tidak ada orang lain yang dapat mencabik batinku dengan ketajaman janji mereka.
     Aku melakukan perjalanan ini untuk menemukan kebahagiaan. Lihat! aku nampak baik dengan senyum di wajahku ini. Cantik, namun rapuh untuk dilahirkan kembali seperti pada musim laut yang mempesona, kulitku dibakar. Dan pada musim salju, aku baru bisa menari, berputar-putar dalam kesendirian. Namun setiap kali aku berhenti, aku sudah berada di dunia Luka. Seperti seorang musafir membawa sepinya sendiri, lalu berjalan pergi untuk mencapai penyembuhan.
     Beberapa kali aku tersesat pada akhir dari jalan panjang, yang akhirnya membuatku berpikir bahwa setiap orang adalah musafir, mengembara mencari cinta dan tidak bisa kembali pada dunia yang sesungguhnya ia cari, tidak peduli betapa pun mereka merindukan waktu yang benar-benar menyenangkan, saat dimana mereka selalu menarik tirai hati dengan cara yang berbeda.
                  ***
“Di mana kau? Kemana saja kau pergi?" kegilaanku semakin menjadi tentang Bimo.
     Bimo telah pergi dalam perjalanan panjang dengan orang yang menurutnya paling penting baginya. Semua itu dimulai dari sesuatu yang dikatakannya,
"Tiara, sepertinya ini akhir dari cinta kita." bisiknya.
    Seperti ingin menangis mendengar bisikan itu. Namun dengan semua kekuatan yang kupunya, ucapan selamat tinggal darinya kuterima. Dan akhirnya aku merasa seperti berjalan di kegelapan sendirian dan tak dapat melihat cahaya bersinar di jalanku. Ya, Bimo sudah meninggalkanku.
     Semua orang mungkin pernah merasakan kesedihan. Tapi apakah mereka benar-benar menangis? Mereka pun juga pernah merasakan bahagia, berjalan bersama kekasihnya dengan sinar cahaya. Bukankah kesedihan dan kebahagiaan adalah seperti dua sisi mata uang?