(Dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Dunia Luka")
Ada dunia di balik membran hati yang tak dapat dilihat dan diraba, namun dapat dirasa. Cara merasakannya, kalikan waktu setiap hari dengan keinginan dan segala macam kesedihan, maka akan kita temukan dunia luka.
     Dalam kemendungan serambi senja, langit abu-abu menyembunyikan keindahan setitik cahaya yang bertahan dalam kerumunan awan hitam. Aku berdiri di balik tirai senja menghadap ke arah matahari terbenam. Saat itu aku mengerti bahwa masih terdapat beberapa hal tersisa yang masih murni dan benar pada sudut kesedihan. Dan itu telah kupelajari dari sosok sahabat yang enggan melepas kepergianku di sebuah dunia berkubang darah, yang terlihat di sana hanya seonggok daging mengelupas akibat sayatan belati cinta.
     Mungkin kenangan selalu indah bagi beberapa orang, dengan cara pemahaman mereka masing-masing. Namun tidak bagiku. Aku berpikir, bahwa banyak kenangan yang harus segera kubenahi. Sebab aku tidak dilahirkan untuk hidup hanya menuangkan airmata di depan sebuah hati, dan menyembunyikan wajah seperti orang mati.
     Dengan nafas tersisa aku melihat wajah tak berdaya, ia tertidur lelap di sisi tubuhku, seakan kelelahannya memudar di depan mataku. Mungkin di dunia banyak orang yang tahu segalanya tentang dia. Namun sesungguhnya mereka tidak dapat memahaminya.
     Pada hari seperti hari-hari lainnya, ketika matahari menuangkan secangkir hujan, angin lembut berbisik padaku,
“Apakah kau menyadarinya, Tiara? bahwa perubahan musim semi diperuntukkan hanya untukmu!" serunya membuatku menggigil ketakutan.
     Tidak ada orang lain yang bisa merasakan, begitu lembutnya suara itu menelusup hatiku. Akhirnya air mata yang mengalir di wajahku bukanlah lahir dari kebahagiaan semata. Ada rasa sakit pada awalnya, aku merasakan itu.Â
     Ya, itu adalah air mata yang mengalir dari dunia luka. Namun aku bertahan, aku tetap berdiri untuk melihat semua bisikan buruk masuk dalam hatiku melalui temaram waktu. Meskipun aku tidak pernah bisa memperbaiki semua rasa sakit itu.
     Rasa sakit itu kini telah berubah menjadi mahluk asing dalam diriku. Setiap kali bertemu makhluk yang kurasa asing itu, kesedihan begitu mendalam kurasakan. Namun dia tidak dapat melihat kesedihan itu.Â
     Rasanya ingin aku tanyakan padanya, kemana hilangnya tawa, saat aku berbagi kebahagiaan dengan sahabat-sahabatku. Jika aku bisa melakukan apapun untuk mengusirnya, aku siap untuk melakukannya. Aku sangat ingin menggantinya dengan kebahagiaan yang melahirkan senyum dan tawaku kembali.