***
Beberapa menit kemudian, dengan perlahan aku berusha mengingat apa yang kusaksikan sore lalu. Sungguh, aku menyaksikan kematian Teguh, kekasih hatiku. Melihat jasadnya yang hancur dan tertutupi buku-buku yang sering kami baca, membuat aku jatuh pingsan. Selanjutnya yang kutahu aku berada di sebuah ranjang rumah sakit. Disampingku Ratna, setia menanti aku terbangun dari pingsan.
"Aku sudah mengingatnya, Ratna. Jadi, bagaimana jasad Teguh?"
"Syukurlah, Lita. Jasad Teguh sekarang ada di rumah sakit ini. Pak Sumadi, salah satu polisi yang menangani kasus kematian Teguh, membawanya kesini untuk diotopsi. Sementara beberapa polisi lainnya sedang melakukan investigasi dan mencoba menemukan motif pembunuhan Teguh."
"Polisi harus menemukan siapa pembunuhnya, Ratna. Sungguh aku tidak akan bisa tenang jika aku tak menemukan siapa pembunuhnya."
"Iya, Lita. Sabarlah. Jika hasil otopsi dan investigasi keluar, mereka akan mengabari kita secepatnya. Sementara ini, kamu istirahat saja. Aku akan membantu mengurus semua ini."
     Teguh, yang kutahu ia tak pernah memiliki musuh. Dimataku ia seorang penulis yang humoris. Ia selalu sanggup membuatku tertawa. Ia sanggup membuatku mati kutu jatuh hati kepadanya. Ah, Teguh. Siapa yang telah membunuhmu.
     Aku terus memikirkannya. Padahal sudah hari kelima setelah kematiannya. Dan dua hari lalu, aku menghadiri pemakamannya. Setelah jasadnya selesai diotopsi, keesokan harinya ia dimakamkan. Sungguh, aku tak pernah berhenti menangisinya.
                ***
Sore ini adalah tepat dua minggu setelah kematian Teguh. Sampai saat ini pun polisi belum menemukan siapa pembunuh Teguh dan apa motif pembunuhannya. Dan sampai saat ini pula, aku masih mencari tahu kebenaran dari kematian Teguh, sebab aku belum dapat menerima kematiannya.
     Sore itu aku masih berbicara serius kepada Ratna. Dengan tegas aku menanyakan kepadanya tentang Teguh. Dan hasilnya cukup membuatku tercenung. Di atas meja makan itulah akhirnya semua terungkap,
"Tidak. Aku yakin Teguh pasti menemuimu, Ratna." tegasku, menolak jawaban Ratna atas pertanyaanku.
"Tak apalah jika kamu tidak percaya padaku, Lita." lantangnya dengan nada kesal. Sambil membanting kotak rokok yang mirip dengan punya Teguh.
"Apakah kau yang telah membunuhnya, Ratna?" lantangku dengan suara tinggi dan nada yang sangat kesal.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Lita. Kamu sudah gila, Lita." tegasnya kembali sambil menyiram air ke wajahku.
Selanjutnya perkelahian antara kami pun terjadi. Sungguh kami bekelahi hebat. Kami saling menampar dan saling menjambak satu sama lain. Hingga pada suatu momen, dimana aku terjatuh dengan kepala membentur meja dan membuatku tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian, Ratna berusaha membangunkanku.