Sore itu Ratna berjalan perlahan mendekatiku. Sudah beberapa menit aku menunggu. Sebelumnya kami telah berjanji untuk bertemu di sebuah rumah makan, di pinggir jalan. Aku ingat, dahulu semasa baru menjalin hubungan dengan Teguh, ia sering mengajakku makan malam di sini. Ah, Teguh, beberapa kenangan yang ditinggalkannya cukup menyiksaku.
"Hai Ratna." teriakku memanggilnya dari bangku yang kududuki.
"Hai, bagaimana kabarmu, Lita?" ia bertanya, sambil memeluk dan mencium pipi kanan dan kiriku.
"Baik. Duduklah, Ratna!" jawabku, kemudian menyerunya duduk.
     Sementara aku memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman, sambil menyilakan kaki kanannya, Ratna mulai menyalakan sebatang rokok yang diambilnya dari sebuah kotak rokok yang sama persis dengan milik Teguh.
     Beberapa menit kemudian pesanan yang kami pesan pun tiba. Sambil menyantap makanan, dengan perlahan kami sedikit berbincang tentang masa muda kami bertiga dengan Teguh, hingga pada usai menyantap makanan, kami pun membicarakan suatu hal yang serius.
"Hmm, ada apa sebenarnya kau mengajak ketemuan?" tanyanya.
"Ada hal yang ingin kutanyakan serius denganmu." ujarku
"Baiklah, katakan apa yang mau kau tanyakan." tegasnya.
"Aku masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Teguh. Apakah Teguh sempat menemuimu? tanyaku dengan perasaan curiga.
"Harus berapa kali lagi aku jawab, Lita. Polisi pun menanyakan hal yang sama. Sungguh, Teguh tidak menemuiku." jawabnya lantang, dengan tidak ada keraguan sedikitpun.
                ***
Dua minggu lalu sesuatu yang menyesakkan terjadi, terutama untukku. Sungguh, hal itu membuatku tak bergeming. Apa yang kusaksikan benar-benar meruntuhkan semua mimpi. Melihat hal itu pun, membuatku tak sadarkan diri.
"Lita, sadar!" sayup terdengar, suara Ratna membangunkanku.
"Lita." kedua kali ia memanggilku sambil menepuk-nepuk pipi kanan dan kiriku.
"Akhirnya kau bangun juga." ujarnya sambil menghela nafas lega.
"Ada apa denganku?"
"Dimana aku?"
     Pertanyaan beruntut dariku tak segera dijawab oleh Ratna. Ia segera menggapai gelas berisi air putih yang berdiri tegak di atas meja, di samping ranjang tempat aku terbaring.
"Minumlah, Lita!" serunya. Sementara aku mencoba membangunkan tubuhku.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya.
"Kepalaku sedikit pusing." jawabku.
"Sebaiknya, kamu istirahat saja."
"Baiklah."
     Sambil membaringkan tubuh, aku mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi, dan sesekali memperhatikan raut wajah Ratna yang seakan menutupi suatu hal yang penting dariku.
                 ***
Beberapa menit kemudian, dengan perlahan aku berusha mengingat apa yang kusaksikan sore lalu. Sungguh, aku menyaksikan kematian Teguh, kekasih hatiku. Melihat jasadnya yang hancur dan tertutupi buku-buku yang sering kami baca, membuat aku jatuh pingsan. Selanjutnya yang kutahu aku berada di sebuah ranjang rumah sakit. Disampingku Ratna, setia menanti aku terbangun dari pingsan.
"Aku sudah mengingatnya, Ratna. Jadi, bagaimana jasad Teguh?"
"Syukurlah, Lita. Jasad Teguh sekarang ada di rumah sakit ini. Pak Sumadi, salah satu polisi yang menangani kasus kematian Teguh, membawanya kesini untuk diotopsi. Sementara beberapa polisi lainnya sedang melakukan investigasi dan mencoba menemukan motif pembunuhan Teguh."
"Polisi harus menemukan siapa pembunuhnya, Ratna. Sungguh aku tidak akan bisa tenang jika aku tak menemukan siapa pembunuhnya."
"Iya, Lita. Sabarlah. Jika hasil otopsi dan investigasi keluar, mereka akan mengabari kita secepatnya. Sementara ini, kamu istirahat saja. Aku akan membantu mengurus semua ini."
     Teguh, yang kutahu ia tak pernah memiliki musuh. Dimataku ia seorang penulis yang humoris. Ia selalu sanggup membuatku tertawa. Ia sanggup membuatku mati kutu jatuh hati kepadanya. Ah, Teguh. Siapa yang telah membunuhmu.
     Aku terus memikirkannya. Padahal sudah hari kelima setelah kematiannya. Dan dua hari lalu, aku menghadiri pemakamannya. Setelah jasadnya selesai diotopsi, keesokan harinya ia dimakamkan. Sungguh, aku tak pernah berhenti menangisinya.
                ***
Sore ini adalah tepat dua minggu setelah kematian Teguh. Sampai saat ini pun polisi belum menemukan siapa pembunuh Teguh dan apa motif pembunuhannya. Dan sampai saat ini pula, aku masih mencari tahu kebenaran dari kematian Teguh, sebab aku belum dapat menerima kematiannya.
     Sore itu aku masih berbicara serius kepada Ratna. Dengan tegas aku menanyakan kepadanya tentang Teguh. Dan hasilnya cukup membuatku tercenung. Di atas meja makan itulah akhirnya semua terungkap,
"Tidak. Aku yakin Teguh pasti menemuimu, Ratna." tegasku, menolak jawaban Ratna atas pertanyaanku.
"Tak apalah jika kamu tidak percaya padaku, Lita." lantangnya dengan nada kesal. Sambil membanting kotak rokok yang mirip dengan punya Teguh.
"Apakah kau yang telah membunuhnya, Ratna?" lantangku dengan suara tinggi dan nada yang sangat kesal.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Lita. Kamu sudah gila, Lita." tegasnya kembali sambil menyiram air ke wajahku.
Selanjutnya perkelahian antara kami pun terjadi. Sungguh kami bekelahi hebat. Kami saling menampar dan saling menjambak satu sama lain. Hingga pada suatu momen, dimana aku terjatuh dengan kepala membentur meja dan membuatku tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian, Ratna berusaha membangunkanku.
"Lita, bangun!" Dari balik kelopak mata, remang-remang kulihat wajah Ratna.
"Lita, bangun." ujarnya kembali.
"Lita, bangun." tegasnya untuk yang terakhir kali.
     Ratna pun bergegas berangkat ke kantornya. Sementara aku melanjutkan tidur dan mimpi panjangku.[ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H