(Dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Soejinah")
"Ibu, sedang menanak nasinya, Pak." mataku tak berkedip menyimak merah wajahnya.
Pagi itu hujan lebat. Rasanya air hujan setetes demi setetes masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang kecil di asbes rumah kami. Padahal aku tahu, tak ada satu lubangpun di asbes rumah kami.
"Sukma, diamlah di atas bangku." Ibu tak ingin kakiku menginjak lantai yang sedang di pelnya.
"Sukma, mana nasinya?" teriak Bapak.
Tak kuindahkan teriakan Bapak. Aku terpaku pada wajah pucat Ibu.
"Ibu sakit?" ujarku.
Ibu hanya menoleh, ia tersenyum padaku sambil memeras kain lap basah ke ember hitam kecil.
"Sukma." teriak Bapak lagi.
Mendengar teriakan Bapak yang kedua, Ibu segera bangkit dari jongkoknya. Seandainya Bapakku dapat menghargai seorang istri, mungkin Ibu tak kan pernah mendapati kehidupan yang sangat tak manusiawi ini.
"Ibu mau kemana?" tanyaku, gusar.