2. Mencari Tempat Penyandaran: Remang di Tobukas Batam
"Menulis adalah hal yang baik, mereka bilang semua orang bisa menulis, namun ibarat gelas yang tak pernah diisi air, apa yang dapat ditumpahkan ke dalam tulisan? Maka perbanyak juga lah membaca."Â
- Ujar mang Anton pemilik Tobukas pada sore menunjuk magrib.
Menjadikan Batam sebagai wadah menimba susastra, bagi otakku yang seumur jagung bukanlah hal yang tepat. Kebodohan otak ini akan menyimpulkan; masih banyak tempat yang elok untuk melepas dahaga di bidang ini. Bagaimana tidak, Batam adalah rimba pabrik produksi dan juga pasar galangan, ataupun balai perusahaan, tempat mengiris tulang belakang unjuk menggemukkan aktiva tabungan.Â
Tak pernah terpikir bahwasanya akan menggali aksara di tanah yang atmosfernya seperti ini. Ketika masih berseragam putih abu-abu, tak lain adalah Jogjakarta yang menjadi bunga tidur untuk berlanjut hidup, Jogja tempat dimana para seniman tulen lahir dan berkumpul, or Solo dengan ketenangan dan budaya santun Jawa yang masih pekat. Ataupun di tanah kelahiran sendiri, mungkin, pelosok Provinsi Jambi dimana ada semayam incung yang masih menjadi misteri.
Namun terlepas dari segala umpat, ketika menjalar dua bulan awal aku mendudukkan penyesalan disini. Sesal itu mengisyarat teh yang tanpa gula; pahit, kelat, dan seret. Organ tubuhku terus meraba-tanya, tentang dimanakah bisa temukan gulanya? Apa harus mencari kembang sebaya untuk menunggak hati yang sepi? Ataukah rubrik komunal sebagai tempat menyandar diri? Benar, ambigu kini telah kian menggerutu. Seurai firman bak turun, bisakah coba mengadu kepada buku? Hingga koalisi algoritma seluler kelahiran China memberi raba, setitik emas di dalam dulang, ada, dan berpetak, di sudut-sudut ruko Nagoya. Yakni sebuah rabah kecil bertuliskan 'Tobukas Batam.' Ternyata masih ada ICU Literasi di kota ini.
Siang hari itu, aku menerpa arus rimbanya panas kabut-kabut uap pabrik yang mengkoloni biru langit menggunakan sepeda motor tua untuk mengejakulasi administrasi pendaftaran di kantor kemahasiswaan, dengan menggepuk niat pulang menyapa bilik Tobukas.Â
Selesai pengurusan persyaratan dan berpandangan canggung dengan pak satpam, lanjut berlurus ke titik koordinat distrik Nagoya dan meraba-raba dimanakah letak rimba literer yang ditunjukkan oleh GPS. Pelan-pelan dengan sebat Surya, menyelami setiap senti ruko-ruko ini, dibalik sudut mata, ia terlapak; kerumunan buku-buku dipunggungi meja-meja renja.
Disana mang Anton tengah duduk di singgasananya, melipis sapaan dengan anggukan ketika motor kuparkirkan. Awal hanya angguk-angguk yang kubalaskan dan salam permisi masuk.
Disini, di Tobukas ini, kepalaku bisa tegak lagi untuk kedepannya merundungi hari ditengah parak-parak kecimpungan polusi industri. Untuk juga mungkin disini, masih tersisa majas dan fatamorgana untuk menenggak fiksi tentang mimpi.