Mohon tunggu...
Ifandi Khainur Rahim
Ifandi Khainur Rahim Mohon Tunggu... -

ex-Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2018. Hobinya menulis dan bikin video. Tulisannya random kalo di Kompasiana. Lebih lanjutnya, silahkan kunjungi https://www.ifandikhainurrahim.com/ atau cek channel Youtube saya http://youtube.com/c/SatuPersenOfficial

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

7 Hal yang Kebanyakan Orang Lakukan yang Gak Akan Gue Lakukan di Tahun 2017

7 Januari 2017   11:39 Diperbarui: 7 Januari 2017   13:19 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan kali ini adalah curhatan sekaligus sharing tentang hal yang akan gue lakukan di tahun 2017. Di sini gue bakal pake gaya bahasa yang ringan (sekaligus juga dengan kata umpatan), beda kayak post gue yang lain. Semoga lo menikmatinya meskipun tulisan ini cuman curhatan dan sharing semata.

Let’s begin!

1. Takut kehilangan

Banyak orang takut akan kehilangan sesuatu. Sesuatu tersebut bisa berbentuk barang, pacar, uang, dan banyak hal lainnya.

Tapi gue nggak.

Semakin lama gue hidup di dunia, semakin gue sadar bahwa tidak ada sesuatu yang abadi dan terus menerus ada. Pada akhirnya benda akan rusak. Teman akan hilang. Pacar akan putus.

Semua hal akan hilang atau rusak pada waktunya, dan kita pun akan mati ketika sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk mati.

Semua hal bisa diganti, dan ada gantinya. Kita punya kemampuan untuk move on dan berusaha buat dapetin hal yang kita mau. Oleh karena itu mulai sekarang gue gak akan pernah takut kehilangan sesuatu atau seseorang. Toh ada gantinya. Tinggal move on dan usaha lagi untuk dapetin yang lebih baik. Simpel.

Sumber: ask.fm
Sumber: ask.fm
2. Takut mengambil posisi penting dalam proyek/organisasi

Kalau ada open recruitment, bidding, atau open tender jabatan penting dalam suatu proyek/organisasi. Apalagi jabatan yang ketika gue ambil akan banyak menguntungkan gue, sekaligus gue suka dengan proyeknya. Maka gue akan langsung ikut ambil bagian.Gak peduli kompetensi gue memadai atau enggak.

Kompetensi bisa dipelajari, kita hanya perlu banyak belajar, latihan, dan mengambil risiko. Ya, kita harus berani mengambil risiko. Sebab tanpa mengambil risiko, hidup kita gak bakal berkembang.

3. Kecewa ketika mendapat nilai kecil

Gue inget banget pengalaman gue pas ikut mata kuliah Psikologi Sosial. Matkul itu adalah salah satu matkul yang paling gue seneng di fakultas Psikologi. Karena gue seneng dengan matkulnya, maka gue akhirnya belajar dan usaha lebih keras di matkul ini, terutama dalam mengerjakan tugas.

Nah, waktu itu gue dapet tugas disuruh bikin esai. Akhirnya, gue bikin kan tuh si esai. Siang dan malem gue brainstorming ide terus menerus, sampe-sampe gak tidur (engga deng ini lebay) karena pengen ngehasilin esai yang bener-bener berkualitas. Ya, wajar lah, ini matkul kesukaan gue.

Tapi lo tau ga apa yang terjadi pas esai itu dikumpulin? Dosen gue sama sekali gaada apresiasi ke gue. Bahkan dosen gue bilang kalo tulisan yang udah gue buat capek-capek bukanlah essay writing!. Gue inget banget perkataan dosen gue pas baca feedbacknya doi di essay gue!

“Apa nih, ini mah bukan essay writing!”

Bahkan saat nilai akhir matkul itu di post di website UI. Lewat whatsapp, dia ngechat gue secara personal.

“Saya sedih bacanya”

Dok.pri
Dok.pri

Anjir! Sakit hati sih iya, tapi saat itu gue memutuskan untuk “ya udahlah ya!” dan move on.

Padahal, gue ngerasa bahwa tugas esai itu adalah tugas yang paling gue maksimalkan effortnya dibanding semua tugas yang lain. Ya, padahal gue juga sangat suka dengan ide yang gue buat di esai gue. Tapi ya gimana lagi, dosen gue ngasih nilai kecil ya udah gue terima aja.

Tapi saat itu, gue gak mau diemin ide esai gue. Ya, gue sangat amat suka dengan ide yang gue buat di esai tersebut. Karena alasan tersebut, akhirnya gue pun memutuskan untuk mencoba ikut lomba yang berkaitan dengan mata kuliah psikologi sosial.

Dan yang mengejutkan adalah...... Well, ketika ide esai gue diimplementasikan di lomba, gue jadi juara dua di kompetisi esai Psygames, dan juara satu di kompetisi nasional SIDC (Social-Psychological Intervention Design Competition)!1!1!1!1!

Goblok? Banget! Esai yang dibilang bukan ‘esai’ oleh dosen gue, jadi juara di dua buah kompetisi, bahkan salah satunya adalah kompetisi nasional!

Di sanalah titik di mana gue jadi lebih sadar tentang individual differences.Ya, dari kejadian itu akhirnya gue belajar untuk selalu inget bahwa dosen juga manusia. Mereka bisa punya persepsi danpenilaian bagus dan jelek yang subjektif terhadap karya muridnya, dan itu gak absolut!

Makannya, mulai saat itu gue selalu aware. Ketika karya atau tugas gue dibilang jelek sama dosen, ya mungkin karya tersebut akan dibilang bagus sama dosen gue yang lain! Begitu pun sebaliknya, kalo ada orang yang bilang karya gue jelek, ya mungkin dosen gue malah akan mengapresiasinya.

Jadi gak usah kecewa kalo lo dapet nilai jelek, mereka yang menilai lo jelek hanya enggak bisa melihat sesuatu yangmereka anggap bagus dari tugas yang lo kumpulkan.Terus improve aja ide dan kompetensi lo dalam mengerjakan tugas. Jadikan nilai itu sebagai acuan untuk menjadi lebih baik, tapi gak usah baper. Inget, peduli anjing apa kata orang tentang karya lo! Hal yang terpenting adalah lo bisa enjoy dalam membuat karya. Udah, itu yang penting.

Sumber: uberhumor.com
Sumber: uberhumor.com
4. Belajar dengan cara menghafal

Menghafal adalah cara paling dangkal dalam belajar (Sabda, 2011). Menghafal paling cocok untuk diterapkan oleh anak SD! Ya, karena skill higher order thinkingyang bagus pas kita kecil adalah menghafal. Karena pas SD, kita hanya menerima info mentah-mentah, otak kita belum memproses informasi secara kritis. Akhirnya, karena semua informasi secara otomatis diterima oleh otak, maka pas SD kita akan lebih mudah menghafal dibanding sekarang.

Beda dengan masa-masa SMA atau kuliah saat kita udah sedikit-banyak belajar tentang berpikir kritis. Informasi gak akan nempel begitu aja di kepala kita ketika dihafal. Otak kita udah bisa secara otomatis nge-resist banyak informasi hafalan. Otak kita akan lebih mudah dalam menalar secara logis daripada menghafal! Oleh karena itu, cara terbaik belajar saat kita udah gede ya bukan menghafal, tapi dengan belajar konsep dasarnya!

Caranya gimana? Bikin peta konsep, ngajarin orang, diskusi tentang pelajaran, menulis esai, dsb. Ini bukan berarti kita sama sekali gak boleh menghafal. Toh menghafal adalah salah satu aktivitas higher order thinking yang penting, tapi dalam memproses dan menerima informasi saat kuliah, tentunya aktivitas menghafal harus diberi porsi yang paling sedikit dalam teknik pembelajaran lo, karena udah gak efektif dan efisien saat kita udah gede.

Statement yang ada dalam tiga paragraf di atas bukanlah statement ilmiah, jadi cuman berdasarkan opini pribadi dan pengetahuan yang seinget gue kayak gitu dapetnya, tolong kasih masukan ya kalau salah. :))

5. Takut akan perubahan dan hal baru

Banyak orang takut akan perubahan dan hal baru. Di tahun 2017 ini gue akan sebisa mungkin menghindari hal tersebut.

Gue akan melakukan sebanyak-banyaknya hal baru dan hal gila. Mulai dari travelling ke tempat baru, lebih banyak mengambil risiko, lebih banyak berkarya, dan mengubah gaya hidup gue secara radikal.

Salah satu contoh perubahan gaya hidup yang radikal adalah gue mulai menjalani gaya hidup minimalis (bisa dicek di postingan gue yang ini). Gue juga mulai sekarang akan banyak mengambil risiko dalam kegiatan kemahasiswaan gue. Dan gue harap perubahan dan hal baru ini akan berlanjut terus sampai nanti.

6. Punya cita-cita spesifik

Mulai tahun 2017, gue gak akan punya cita-cita yang spesifik. Maksudnya cita-cita spesifik di sini misalnya seperti posisi spesifik yang gue tuju atau hal yang pengen gue dapetin belasan atau puluhan tahun mendatang.

Gue sadar bahwa hal yang masih jauh banget kayak gitu gak akan bisa gue kontrol. Berapa banyak sih orang yang nentuin cita-cita spesifik terus beneran nyampe ke posisi spesifik tersebut? Entahlah. Daripada nentuin cita-cita spesifik yang masih jauh banget, gue lebih memilih untuk menentukan nilai-nilai apa yang ingin gue junjung tinggi dalam hidup.

Contohnya? Misal, gue menentukan bahwa nilai ‘excitement’ itu penting dalam menjalani hidup. Ya udah, gue akan mencari dan menjunjung ‘excitement’ dalam seluruh kegiatan gue. Contoh lain itu kayak misalnya gue sangat menjunjung tinggi nilai HAM. Alhasil, seluruh tindakan gue gak boleh mengganggu HAM orang lain.

Nilai-nilai yang udah gue tentuin penting akan terimplementasi dalam seluruh tindakan gue, mulai dari tindakan-tindakan kecil sampe besar.

7. Jadi normal

Gak usahlah jadi normal kayak banyak orang. Kita sesekali harus melakukan sesuatu yang ‘gila’. Sesimpel karena sekarang ini kita sedang hidup di dunia yang gila! Dan di dunia yang gila, cara hidup yang benar adalah menjadi gila, bukan normal(Veetlev, 2013 -> Baca artikel keren dia tentang kegilaan di sini).Kalau kata nietzsche, hidup itu jangan ngikutin jalan banyak orang. Ya, hidup cuman sekali, gak usah terlalu waras, biar bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun