Mohon tunggu...
Ifandi Khainur Rahim
Ifandi Khainur Rahim Mohon Tunggu... -

ex-Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2018. Hobinya menulis dan bikin video. Tulisannya random kalo di Kompasiana. Lebih lanjutnya, silahkan kunjungi https://www.ifandikhainurrahim.com/ atau cek channel Youtube saya http://youtube.com/c/SatuPersenOfficial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi 4 November: Solidaritas, Musuh Bersama dan Revolusi Mental

4 November 2016   20:49 Diperbarui: 4 November 2016   21:04 3362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Depok, 4 November 2016

Jika ditanya bagaimana sikap saya terhadap aksi hari ini, jelas posisi saya kontra. Mengingat bahwa urgensi dan output aksi kali ini menurut saya masih belum jelas dan clear. Selain itu juga karena berbagai usaha politisasi isu untuk menjatuhkan pihak satu dan lainnya. Dan alasan yang terakhir adalah karena saya memang orang yang moderat (dan cenderung sekuler, lol). 

Sehingga menurut saya, di zaman ini sudah tidak perlu lah dibahas-bahas lagi masalah yang berkaitan dengan agama. Apalagi jika masalah tersebut fokus ke perbedaan atau kebencian. Agama dan/atau keyakinan menurut saya adalah mutlak milik individu masing-masing. Selama tidak merugikan orang lain, tidak boleh ada individu yang menghina atau mempermasalahkan keyakinan individu lain, siapapun dan apapun keyakinan yang dianut oleh individu tersebut.

Meskipun begitu, ada satu hal yang menggugah dan membuat saya salut akan aksi hari ini. Ya, solidaritas dalam berpartisipasi. Bayangkan saja, ratusan ribu orang berkumpul dalam satu daerah, memakai baju yang sama, bernyanyi, berteriak, dan berkeringat bersama-sama demi satu tujuan: Adili Ahok. Sangat bisa dikatakan bahwa aksi ini adalah pesta demokrasi terbesar yang saya lihat mewarnai Indonesia di tahun 2016 ini.

Common enemy dan efeknya

Common enemy terbukti dapat membuat ingroup menjadi lebih solid (Allport, 1954). Dalam konteks perang, ketika sebuah negara merasa terancam oleh keberadaan negara lain, maka besar kemungkinannya negara tersebut akan bersatu dan melakukan proklamasi perang. Contoh yang paling jelas adalah ketika Hitler menyalahkan orang Yahudi atas kebobrokan dan kemiskinan yang terjadi di Jerman. Tingkah Hitler tersebut memicu solidaritas dalam ingroup yang menurut Allport (1954) terjadi selain karena masalah keamanan, namun juga karena 'harapan' masing-masing individu di negara tersebut. Ya, harapan bahwa seluruh penderitaan akan selesai jika mereka bersatu dan serempak melawan common enemy mereka, yaitu orang-orang Yahudi. 

Fenomena ini juga terjadi dalam konteks pemilu di Amerika sekarang. Yah, saya tahu pasti anda sudah bosan dengan Trump, namun entah kenapa dia selalu bisa menjadi contoh yang baik untuk kita pelajari kesalahan-kesalahannya. Sama dengan Hitler, alih-alih menyalahkan Yahudi, Trump menyalahkan muslim dan imigran atas hal buruk yang terjadi di Amerika. Selain itu, ia juga sama-sama membuat 'harapan': "Make America great again!". Sehingga bisa kita lihat meskipun argumen yang ia katakan kebanyakan tidak valid atau rasional, ia jelas-jelas bermain dengan psychological needs orang Amerika yang terkait dengan ketakutan akan ancaman imigran & harapan yang tentunya bisa dihadirkan oleh common enemy. Itulah salah satu alasan kenapa sampai sekarang masih saja ada yang memilih dia sebagai presiden Amerika Serikat.

Konteks aksi 4 November & Revolusi mental

Dalam konteks aksi 4 November, sayangnya solidaritas kita malah terpelatuk oleh orang cina kristen wahyudi kafir remason (re: Ahok). Padahal, bisa dibayangkan bagaimana efeknya jika kita sebagai bangsa Indonesia memilih common enemy dengan tepat. Jangan salah sangka, punya common enemy memiliki beberapa dampak positif (selain membuat kita lebih solid tentunya).

"Enemies provide people with this sense of coherence. If we can attribute many of the ills in our lives to our enemies, then we have a stable set of schemas and expectations. We know what to expect,  even if something bad happens, and we know who to attribute it to." (Heflick, 2011)

Ya, ironisnya, justru memiliki common enemy membuat kita secara psikologis merasa lebih 'aman' (Heflick, 2011), karena kita tahu harus mengatribusikan kesalahan yang ada kepada siapa. Jakarta banjir, wah salah Ahok! Macet? Ahok lah yang salah! Seks bebas? Pasti Ahok yang melegalkan! Dan sebagainya.

Lalu bagaimana kita bisa memanfaatkan fenomena psikologis ini untuk kesejahteraan bangsa Indonesia? Tentunya seperti yang saya bilang tadi, dimulai dengan memilih common enemy yang tepat. 

Saya sangat tertarik dengan program revolusi mental. Terutama saat dijelaskan secara singkat oleh salah satu co-foundernya, yaitu prof. Hamdi Muluk. Kebetulan kami ada di fakultas yang sama dan saya sempat sedikit mengobrol dengan beliau terkait program revolusi mental. 

Insight yang saya dapatkan dari program revolusi mental adalah:

1. Program ini butuh solidaritas dan partisipasi masyarakat, sama seperti aksi 4 November ini. Beberapa contoh dari program revolusi mental adalah: Satu hari Indonesia tanpa kendaraan bermotor, satu hari Indonesia bersih-bersih, dan sebagainya.

2. Program ini akan dijalankan (semoga saja) di tahun 2017 secara serempak dan sistematis.

Dalam program revolusi mental, pastinya saya berharap bahwa solidaritas orang Indonesia mampu terbangun dari memiliki common enemy, karena efeknya yang membuat kita solid dan berpartisipasi. Anda semua sudah tahu kan seharusnya siapa common enemy tersebut? 

Hah? Anda belum tahu? Oke, saya beri tahu. 

Common enemy tersebut seharusnya adalah diri kita sendiri. Ya, mental kita yang masih belum di-'revolusi'.

Daftar pustaka

Heflick, 2011

Allport, G. W. (1954). The nature of prejudice. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun