Depok, 4 November 2016
Jika ditanya bagaimana sikap saya terhadap aksi hari ini, jelas posisi saya kontra. Mengingat bahwa urgensi dan output aksi kali ini menurut saya masih belum jelas dan clear. Selain itu juga karena berbagai usaha politisasi isu untuk menjatuhkan pihak satu dan lainnya. Dan alasan yang terakhir adalah karena saya memang orang yang moderat (dan cenderung sekuler, lol).Â
Sehingga menurut saya, di zaman ini sudah tidak perlu lah dibahas-bahas lagi masalah yang berkaitan dengan agama. Apalagi jika masalah tersebut fokus ke perbedaan atau kebencian. Agama dan/atau keyakinan menurut saya adalah mutlak milik individu masing-masing. Selama tidak merugikan orang lain, tidak boleh ada individu yang menghina atau mempermasalahkan keyakinan individu lain, siapapun dan apapun keyakinan yang dianut oleh individu tersebut.
Meskipun begitu, ada satu hal yang menggugah dan membuat saya salut akan aksi hari ini. Ya, solidaritas dalam berpartisipasi. Bayangkan saja, ratusan ribu orang berkumpul dalam satu daerah, memakai baju yang sama, bernyanyi, berteriak, dan berkeringat bersama-sama demi satu tujuan: Adili Ahok. Sangat bisa dikatakan bahwa aksi ini adalah pesta demokrasi terbesar yang saya lihat mewarnai Indonesia di tahun 2016 ini.
Common enemy dan efeknya
Common enemy terbukti dapat membuat ingroup menjadi lebih solid (Allport, 1954). Dalam konteks perang, ketika sebuah negara merasa terancam oleh keberadaan negara lain, maka besar kemungkinannya negara tersebut akan bersatu dan melakukan proklamasi perang. Contoh yang paling jelas adalah ketika Hitler menyalahkan orang Yahudi atas kebobrokan dan kemiskinan yang terjadi di Jerman. Tingkah Hitler tersebut memicu solidaritas dalam ingroup yang menurut Allport (1954) terjadi selain karena masalah keamanan, namun juga karena 'harapan' masing-masing individu di negara tersebut. Ya, harapan bahwa seluruh penderitaan akan selesai jika mereka bersatu dan serempak melawan common enemy mereka, yaitu orang-orang Yahudi.Â
Fenomena ini juga terjadi dalam konteks pemilu di Amerika sekarang. Yah, saya tahu pasti anda sudah bosan dengan Trump, namun entah kenapa dia selalu bisa menjadi contoh yang baik untuk kita pelajari kesalahan-kesalahannya. Sama dengan Hitler, alih-alih menyalahkan Yahudi, Trump menyalahkan muslim dan imigran atas hal buruk yang terjadi di Amerika. Selain itu, ia juga sama-sama membuat 'harapan': "Make America great again!". Sehingga bisa kita lihat meskipun argumen yang ia katakan kebanyakan tidak valid atau rasional, ia jelas-jelas bermain dengan psychological needs orang Amerika yang terkait dengan ketakutan akan ancaman imigran & harapan yang tentunya bisa dihadirkan oleh common enemy. Itulah salah satu alasan kenapa sampai sekarang masih saja ada yang memilih dia sebagai presiden Amerika Serikat.
Konteks aksi 4 November & Revolusi mental
Dalam konteks aksi 4 November, sayangnya solidaritas kita malah terpelatuk oleh orang cina kristen wahyudi kafir remason (re: Ahok). Padahal, bisa dibayangkan bagaimana efeknya jika kita sebagai bangsa Indonesia memilih common enemy dengan tepat. Jangan salah sangka, punya common enemy memiliki beberapa dampak positif (selain membuat kita lebih solid tentunya).
"Enemies provide people with this sense of coherence. If we can attribute many of the ills in our lives to our enemies, then we have a stable set of schemas and expectations. We know what to expect, Â even if something bad happens, and we know who to attribute it to." (Heflick, 2011)
Ya, ironisnya, justru memiliki common enemy membuat kita secara psikologis merasa lebih 'aman' (Heflick, 2011), karena kita tahu harus mengatribusikan kesalahan yang ada kepada siapa. Jakarta banjir, wah salah Ahok! Macet? Ahok lah yang salah! Seks bebas? Pasti Ahok yang melegalkan! Dan sebagainya.