Lalu bagaimana kita bisa memanfaatkan fenomena psikologis ini untuk kesejahteraan bangsa Indonesia? Tentunya seperti yang saya bilang tadi, dimulai dengan memilih common enemy yang tepat.Â
Saya sangat tertarik dengan program revolusi mental. Terutama saat dijelaskan secara singkat oleh salah satu co-foundernya, yaitu prof. Hamdi Muluk. Kebetulan kami ada di fakultas yang sama dan saya sempat sedikit mengobrol dengan beliau terkait program revolusi mental.Â
Insight yang saya dapatkan dari program revolusi mental adalah:
1. Program ini butuh solidaritas dan partisipasi masyarakat, sama seperti aksi 4 November ini. Beberapa contoh dari program revolusi mental adalah: Satu hari Indonesia tanpa kendaraan bermotor, satu hari Indonesia bersih-bersih, dan sebagainya.
2. Program ini akan dijalankan (semoga saja) di tahun 2017 secara serempak dan sistematis.
Dalam program revolusi mental, pastinya saya berharap bahwa solidaritas orang Indonesia mampu terbangun dari memiliki common enemy, karena efeknya yang membuat kita solid dan berpartisipasi. Anda semua sudah tahu kan seharusnya siapa common enemy tersebut?Â
Hah? Anda belum tahu? Oke, saya beri tahu.Â
Common enemy tersebut seharusnya adalah diri kita sendiri. Ya, mental kita yang masih belum di-'revolusi'.
Daftar pustaka
Heflick, 2011
Allport, G. W. (1954). The nature of prejudice.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H