Mohon tunggu...
Ifandi Khainur Rahim
Ifandi Khainur Rahim Mohon Tunggu... -

ex-Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2018. Hobinya menulis dan bikin video. Tulisannya random kalo di Kompasiana. Lebih lanjutnya, silahkan kunjungi https://www.ifandikhainurrahim.com/ atau cek channel Youtube saya http://youtube.com/c/SatuPersenOfficial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tolak Reklamasi Teluk Jakarta: Setelah Tolak, Lalu Apa?

5 Oktober 2016   23:25 Diperbarui: 6 Oktober 2016   23:42 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut saya, policy paper secara umum memiliki konten penting, yaitu:

1. Urgensi

2. Data yang kredibel

3. Bersifat menganalisa masalah secara objektif, bukan mendeskripsikan masalah.

4. Bersifat membandingkan kebijakan atas masalah yang ada

5. Terdapat rekomendasi kebijakan alternatif beserta implikasinya, dan/atau solusi yang practical & konkret untuk mengimplementasikan kebijakan yang diinginkan oleh masyarakat

6. Follow-up, apa yang akan dilakukan setelah kebijakan tersebut disetujui?

Policy paper
Policy paper
Bukankah pergerakan mahasiswa akan lebih elegan dengan kita membuat paper yang sudah jelas urgensinya, dibuat dengan data terkini, dan menawarkan rekomendasi/solusi konkret? Tidak ada alasan bagi kaum elitis sana untuk menolak tawaran kita. Daripada melakukan pergerakan dengan meningkatkan frekuensi demonstrasi (yang jelas-jelas hanya membuat kita capek tanpa hasil yang memuaskan), lebih baik kita melakukan deprivation (puasa) pada demonstrasi, dan melepaskan rasa haus akan aksi ketika suara kita tidak didengar saat melakukan kontribusi lewat jalur ‘damai’ (re: memberikan policy paper). Intinya adalah mengurangi frekuensi, namun memperkuat intensitas aksi demonstrasi.

Lagi-lagi, menurut seorang kenalan, kesalahan kita terutama mahasiswa yang berjaket almamater kuning adalah terlalu sering melakukan demonstrasi, akhirnya aksi demonstrasi kita jadi dianggap sebelah mata. Ya, karena sedikit-sedikit melakukan demonstrasi, implikasinya adalah mahasiswa awam terkena efek habituasi (silahkan cari definisinya di google). Sehingga ajakan untuk demonstrasi dianggap sebagai stimulus yang kurang begitu penting. Ditambah lagi dengan fenomena kaum kelas menengah ngehe. Konsekuensinya, pergerakan mahasiswa di kampus-kampus pun massanya dari tahun ke tahun semakin berkurang.

Di akhir tulisan ini, saya berharap agar pergerakan mahasiswa tidak matidi era ke-ngehe-an ini. Harapan saya, sekarang kita sadar diri saja dulu, bahwa kita memang sedang tergerus oleh zaman. Oleh karena itu, jangan sampai aksi kita stuck hanya di cara yang begitu-begitu saja, jelas sudah bukan zamannya lagi buat kita. Satu-satunya cara agar kita tidak tergerus zaman adalah dengan melakukan inovasi serta perubahan pada pola pikir.

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun