Mohon tunggu...
Ifan EndiSusanto
Ifan EndiSusanto Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang ASN yang gemar membaca

Pejabat Fungsional Pranata Humas di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memadukan Komunikasi Partisipatoris dan Humas Pemerintah

27 September 2021   11:39 Diperbarui: 28 September 2021   08:30 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Public relation dalam instansi pemerintahan | Sumber: pexels/@rodnae-prod

Seorang public relations atau humas pemerintah dituntut mampu memahami berbagai situasi yang melingkupi pekerjaannya. Di antara konsep yang perlu dipahami adalah komunikasi di bidang pembangunan. Sebab, sejatinya pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan. 

Oleh karena itu, seorang humas pemerintah perlu memahami dirinya dalam konteks yang lebih makro, yaitu sebagai bagian dari proses pembangunan sebuah negara.

Sejatinya, komunikasi selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kondisi sosial masyarakat, sehingga melahirkan konsep yang disebut dengan komunikasi pembangunan. 

Dalam perjalanan historisnya, pemikiran dan penerapan komunikasi pembangunan terbagi menjadi tiga paradigma utama, yaitu paradigma dominan, paradigma dependen, dan paradigma partisipatoris (Waisbord, 2001).

Paradigma dominan memandang masalah utama pembangunan adalah kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga komunikasi diperlukan untuk mentransfer informasi. 

Paradigma dependen melihat problem pembangunan berakar dari struktur sosial (termasuk di dalamnya media) yang condong kepada kapitalisme. Sementara itu, paradigma partisipatoris meyakini bahwa dalam proses pembangunan, masyarakat harus menjadi fokus yang berperan sebagai subjek, bukan hanya objek semata.

Di antara ketiga konsep komunikasi pembangunan di atas, seorang humas pemerintah perlu memperkaya wawasannya dengan memahami komunikasi partisipatoris. 

Alasannya sederhana, karena di era keterbukaan informasi sekarang ini, masyarakatlah pelaku (subjek) utama pembangunan. 

Masyarakat, didukung dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, juga selalu ingin terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan, baik itu sebagai inisiator bahkan seringkali sebagai pengawas. 

Sudah menjadi hal yang jamak di era sekarang ketika masyarakat menyampaikan pemikiran atau pendapatnya melalui berbagai saluran komunikasi yang dimiliki pemerintah, utamanya media sosial. Dan, seringnya, proses partisipasi masyarakat ini mesti "berhadapan" dengan humas sebagai garda terdepan pemerintah.

Tufte dan Mefalopoulos (2009) menjelaskan bahwa inti komunikasi partisipatoris adalah penciptaan kesempatan bagi setiap orang untuk mengartikulasikan pandangannya, membentuk kepedulian bersama, serta perumusan solusi terhadap permasalahan komunitas. 

Penerapan komunikasi partisipatoris juga memungkinkan perubahan pengetahuan, sikap, maupun perilaku yang mendorong masyarakat untuk secara sukarela dan aktif terlibat dalam pembangunan. 

Melalui keterlibatan masyarakat, maka produk pembangunan dapat memberikan perubahan sosial dan manfaat yang berkelanjutan (Kheerajit dan Flor, 2013).

Dalam pandangan Hermansyah (2018), setiap warga negara berhak untuk terlibat aktif dalam berbagai aktivitas pembangunan tersebut. 

Hak partisipasi tersebut pun telah dijamin oleh konstitusi sebagimana termaktub dalam Pasal 28 C ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya". 

Artinya, dalam berbagai aktivitas pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, sampai pengawasan memerlukan peran aktif masyarakat sebagai kontrol sosial, dan citizen partisipation is citizen power. Karena setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakatlah yang nantinya akan merasakan dampaknya baik positif maupun negatif.

Menurut penulis, komunikasi partisipatoris dapat menjadi menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan pembangunan infrastruktur, yang seringkali disebabkan masalah sosial. 

Ambil contoh dalam pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo yang dilaksanakan Kementerian PUPR. 

Ada sebagian masyarakat di daerah quarry (pengambilan batu) yang menentang pembangunan karena mengira akan ada kerusakan dan pembiaran terhadap lokasi quarry. 

Padahal, sejatinya pemerintah akan melakukan reklamasi sehingga bekas daerah quarry dapat ditanami dan dikelola masyarakat. 

Kesalahpahaman, misinformasi, dan penolakan semacam ini semestinya dapat diminimalisir dengan penerapan komunikasi partisipatoris yang maksimal. 

Setidaknya ada dua prinsip prinsip komunikasi partisipatoris yang perlu diketahui (dan bisa diterapkan) seorang humas pemerintah, yaitu prinsip dialog dan berbagi pengetahuan. 

Chitnis (2005) menjelaskan bahwa komunikasi partisipatoris merupakan proses dialogis. Setiap partisipan memiliki hak yang sama untuk berbicara dan didengar, tanpa harus takut pendapatnya akan diabaikan atau ditekan. 

Tufte dan Mefalopoulos (2009) berargumen, dialog merupakan solusi atas persoalan komunikasi dalam pembangunan yang disebabkan kurangnya keterikatan antar pemangku kepentingan.

Proses dialogis mendorong seorang humas pemerintah untuk menempatkan publik dalam posisi yang sejajar. Aspirasi masyarakat perlu ditampung, diapresiasi, dan ditindaklanjuti. Perlu adanya respon yang cepat dan akurat terhadap setiap aspirasi, pertanyaan, maupun aduan dari masyarakat. Proses dialog juga merangsang keterbukaan dari pemerintah dan membentuk ikatan (engagement) dengan publik.

Sementara itu, terkait prinsip berbagi pengetahuan, Cadiz (2005) menyatakan bahwa komunikasi partisipatoris untuk pembangunan pada hakekatnya merupakan pembelajaran bersama (joint learning) di antara pemangku kepentingan untuk membangun pengetahuan (knowledge-building). Dalam konteks ini, maka seorang humas pemerintah berperan sebagai agen-agen untuk mengedukasi masyarakat.

Seringkali, adanya kritik, protes, bahkan pelanggaran aturan oleh masyarakat tidaklah disebabkan intensi buruk yang disengaja, melainkan karena kekurangtahuan semata. Di sinilah peran seorang (atau tim) humas pemerintah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat luas.

Tentu saja penulis tidak bermaksud bertungkus lumus berbicara soal komunikasi partisipatoris semata. Yang penulis jelaskan di atas hanya sekilas mengenai keterkaitan (dan keterikatan) antara prinsip komunikasi partisipatoris dan pelaksanaan tugas seorang humas pemerintah. 

Tujuan penulis melalui artikel adalah ingin mengajak dan merangsang sesama humas pemerintah untuk mengembangkan diri dan belajar tidak hanya aspek teknis kehumasan, namun berupaya memahami konteks yang lebih luas. 

Dan, semestinya seperti itulah humas pemerintah. Ia harus pandai dan telaten untuk mempelajari bidang-bidang lain relevan dengan pelaksanaan tugasnya. 

Sehingga, seorang humas tidak hanya mahir dalam pelaksanaan teknis kehumasan, namun juga tajam dan jeli dalam membaca dan memahami lingkungan yang melingkupi ranah tugasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun