Â
Program Guru Penggerak adalah inisiatif yang digagas oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dan telah berjalan sejak tahun 2020. Program ini dianggap sebagai transformasi dalam dunia pendidikan. Salah satu alasan yang menarik minat saya terhadap program ini adalah sosok Ki Hadjar Dewantara dengan filosofi-filosofinya dan pemikirannya yang visioner, meskipun beliau lahir dan besar di era kolonial.
Jika saat ini banyak orang yang memiliki pemikiran visioner, hal tersebut dapat dianggap wajar mengingat kebebasan dalam menimba ilmu pengetahuan, pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, serta banyaknya institusi pendidikan yang berdiri dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. Namun, Ki Hadjar Dewantara lahir pada masa ketika pendidikan masih sangat terbatas dan hanya tersedia bagi kalangan tertentu. Akses terhadap berita dan informasi pun sangat sulit. Keberadaan televisi saja masih sangat terbatas, apalagi internet.
Meskipun demikian, ide dan cara pandang Ki Hajar Dewantara justru melesat jauh menembus batas waktu. Terbukti, hingga hari ini, ide dan pemikirannya tetap relevan dengan perkembangan pendidikan masa kini.
Siapa sebenarya bapak Ki Hajar Dewantara? Dari beberapa sumber saya merangkum tentang kehidupan dan sepak terjang kihajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara, yang dikenal juga dengan sebutan bapak pendidikan Indonesia. Seorang pendidik visioner dari Indonesia yang tidak hanya mengubah pemandangan pendidikan di tanah air, tetapi juga mempersiapkan fondasi bagi masa depan pendidikan yang inklusif dan progresif. Lahir di paku Alam, Yokyakarta 2 Mei tahun 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ayahnya bernama Pangeran Soerjaningrat dan ibundanya Raden Ayu Sandiah. Â Sebagai keturunan bangsawan beliau berkesempatan mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School dan sekolah kedokteran di Stovia namun tidak sempat selesai, beliau harus berhenti karena sakit.
Masa muda Ki Hajar Dewantara banyak dihabiskan sebagai jurnalis dan bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Beliau menulis banyak artikel yang menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme. Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam organisasi propaganda Budi Utomo yang menyadarkan masyarakat tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 25 Desember 1912, Ki Hajar Dewantara, yang juga dikenal sebagai Suwardi Suryoningrat, bersama Dr. Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo mendirikan partai politik pertama di Indonesia dengan nama Indische Partij. Partai ini didirikan dengan tujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Ketiga putra bangsa ini dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Indische Partij tidak mendapat status badan hukum dari pemerintahan kolonial Belanda karena dianggap memicu semangat rakyat Indonesia untuk melakukan pemberontakan. Perjuangan Ki Hajar Dewantara tidak berhenti di situ; beliau juga mendirikan Komite Bumi Putera sebagai upaya untuk mengkritik pemerintah Belanda.
Setelah menulis artikel berjudul "Als Ik Eens Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga), Ki Hajar Dewantara ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Kedua sahabat beliau, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, melontarkan protes hingga akhirnya ketiganya diasingkan ke Belanda atas permintaan mereka sendiri.
Bak kata peribahasa, Permata tetaplah permata meskipun terendam didalam lumpur niscaya akan tetap bercahaya. Begitulah Kihajar dwantara yang dalam pengasingannya justru dimanfaatkan untuk menuntut ilmu memperdalam pengetahuannya sebagai oleh-oleh yang akan diimplementasikan di Indonesia.
Tahun 1919 Kihajar Dewantara Kembali ke Indonesia dan menjadi tenaga pengajar di sekolah binaan saudaranya dan  tanggal 13 Juli 1922 Kihajar Dewantara mendirikan perguruan nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa Ini bukan hanya sekadar sekolah, tetapi sebuah gerakan yang memperjuangkan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Ki Hajar Dewantara percaya bahwa setiap anak memiliki potensi unik yang harus dikembangkan, dan pendidikan adalah kunci untuk membuka potensi tersebut. Dengan pendekatan yang berbasis pada kebebasan belajar dan penghargaan terhadap keberagaman budaya, Taman Siswa menjadi pusat dari gerakan pendidikan nasionalis di Indonesia.