”Ayo, kita menyeberang. Sampai jumpa ya!”
”Yup, kita menyeberang bersama-sama!”
”Siap! Ayo berangkat!”
Dan mereka (yang menyeberang itu) pun menyeberanglah. Dan rasanya, ketika kaki mereka menjejak di punggung jembatan, pun menjelma semacam langkah-langkah sebuah tarian. Langkah-langkah yang gemulai. Ke kiri, ke kanan. Indah dan memesona. Mungkin, jika saja langkah-langkah itu berada di atas panggung, tentu akan menjadi sebuah pertunjukan yang serasi, kompak, dan menggetarkan.
Sedangkan bagi yang melihatnya. Yang berada di pingir-pinggir, dan yang tak ikut menyeberang, cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa berkedip. Di hati mereka, pun penuh dengan doa. Doa yang bermuara pada satu harap: ”Cepat atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka. Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu saja.”
***
Hmm, itulah ceritaku tentang Jembatan Tak Kembali. Sebuah cerita yang penuh teka-teki. Kenapa? Karena aku yakin, kalian pasti akan bertanya: ”Jika mereka yang menyeberang itu telah sampai di seberang jembatan. Di tempat yang berkabut dan berisi kesempurnaan, lalu apa yang dilakukannya? Apakah mereka menjadi puas? Atau ada hal lain yang perlu untuk juga diceritakan di sini?”
Ahai, pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang memang aku nanti. Dan jujur saja, ternyata, ketika telah sampai di seberang, dan memperoleh kesempurnaan yang diharapkannya itu, mereka memang menjadi lain. Apa yang mereka sandang telah mencapai pada titik yang tiada tara. Tak terjabarkan. Semuanya hanya tinggal dipinta dan diucapkan. Langsung tersedia. Dan langsung bisa untuk direngkuh.
”Aku ingin berlari ke bukit!” maka sampailah mereka ke bukit. Atau ”Aku ingin merasakan masakan paling nikmat!” pun langsung tersedia. Dan itu membuat mereka bahagia. Dan membuat mereka untuk terus-terusan mengucapkan ini-itu yang beragam. Ini-itu yang membuat mereka cuma berada di tempat. Tak bergerak. Sebab, buat apa mesti bergerak, jika apa yang diinginkan selalu tersedia di hadapan. Tersedia dalam aneka ragam yang dapat disesuaikan.
Jadinya, karena kelamaan tak bergerak, pelan-pelan mereka pun menjadi terdiam. Hanya mata mereka saja yang kedap-kedip. Mata yang begitu sempurna dan layak untuk disebut sebagai mata yang bulat, bundar, dan penuh ketenangan. Mata yang kini tampak tak lagi memikirkan bagaimana cara mengasah apa yang disandangnya.
Ya, mereka kini bukan lagi sebagai pengejar dari apa yang mesti dikejar. Sebaliknya, mereka jadi sebagai si pendiam. Si pendiam yang tak lagi menginginkan apa-apa. Sebab, apa yang mesti diinginkan, jika semuanya begitu mudah untuk terwujud dan tercapai? Dan begitu mudah untuk dibentuk hanya dengan sebuah ucapan? Dan rasa-rasanya, tanpa mereka sadari tubuh mereka pun mulai mengeluarkan serabut.