Tanpa disadari, sejak kecil saya sudah senang menulis. Dengan tulisan tangan yang ala kadarnya, kelas 3 SD, saya sudah membuat novella satu buku tulis. Saya sebarkan kepada teman-teman sekolah, agar mereka membacanya. Alhamdulillah mereka suka. SMP, sementara anak-anak lain bingung bikin cerpen atau puisi untuk menuangkan perasaannya kepada lawan jenis yang diincar, saya malah kerap menerima jasa membuatkan cerpen atau puisi. Lumayanlah, sekedar buat jajan di kantin.Â
Saat kelas 2 SMP pula, saya memberanikan diri mengirim naskah cerpen ke majalah remaja Hai yang ngetop banget. Dimuat dan dapat honor, rasanya sesuatuuuu…sekali. Masa SMA, saya bergabung dengan tim buku tahunan SMA 70 dan makin menyadari, ada sesuatu yang berbeda ketika saya menulis dengan ketika saya mengerjakan hobi yang lain.
Saya kemudian kuliah di Fakultas Teknik UI, yang berbeda jauh dari hobi menulis saya. Mengapa saya memilih FT dan bukan Fakultas Sastra misalnya? Entahlah. Mungkin karena saya juga suka kimia, sementara sejujurnya saya tidak pernah suka pelajaran Bahasa Indonesia sejak saya kenal sekolah. Betul-betul aneh. Namun selama kuliah, saya tidak berhenti menulis.Â
Saya menulis cerpen dan artikel yang saya kirim ke majalah remaja Annida dan  majalah wanita Ummi. Ditolak berkali-kali untuk kemudian lebih sering dimuat daripada ditolak. Down kah saya ketika ditolak?
Tentu saja. Tapi saya lebih down lagi ketika naskah saya dimuat dan ketahuan sama teman-teman, diminta menttraktir mereka dan honor saya habis bahkan nombok. Hehehe…enggak segitunya kaliii.
Sejak masih mengerjakan skripsi, saya sudah bekerja di kantor majalah remaja sebagai redaksi. Dari sini saya yakin, saya enggak bisa pindah ke lain hati. Saya terlalu cinta menulis. Saya selalu bahagia mendapat tugas menulis meski itu berarti menunda makan siang saya.Â
Eh tapi sejujurnya sih, saya paling bahagia itu kalau sedang deadline dan tetiba Office Boy kantor datang sambil membawa nasi padang plus gulai usus kegemaran saya ketika itu. Hahaha nostalgia semasa masih ngantor.
Setelah menikah dan memiliki satu anak, saya resign karena anak saya selalu sedih jika ibunya pergi ke kantor dan dia ditinggal di rumah bareng nenek kakeknya.Â
Sejak saat itu saya menulis di rumah, mengirimkan naskah saya ke penerbit dan berbagai media. Justru karir saya semakin berkembang di rumah. 43 buku dan ribuan tulisan saya hasilkan, termasuk tulisan di blog (saya ngeblog resmi sejak 2013), dan di berbagai portal. Termasuk juga berbagai project co-writing, ghostwriting, copywriting dan scriptwriting.
Meski secara financial, tidak semenjanjikan bekerja sebagai engineer, atau seperti teman-teman saya yang melanjutkan karir sebagai orang media, ada yang sudah jadi pemimpin redaksi misalnya, saya tetap mensyukuri bahwa saya bekerja sesuai passion saya, dan tempatnya juga sesuai passion saya sebagai seorang istri dan ibu, di rumah.Â
Sampai sekarang, saya tetap menulis dari rumah, sambil menemani anak-anak saya yang menjalani Homeschooling, dan sambil mengurusi 5 ekor kucing yang menjadi penghuni cat shelter kecil-kecilan di rumah saya.
Namun, tetap saja, saat deadline adalah saat penuh ketegangan dimana waktu berputar begitu cepat, kadang sampai lupa makan dan sedikit istirahat. Ini yang membuat para blogger dan penulis sering terkena gaya hidup sedentary yaitu lebih banyak berhadapan dengan gadget, sikap tubuh yang kurang baik, pola makan dan pola hidup juga tidak teratur.Â
Akibatnya? Tentu banyak penyakit menghampiri, ada obesitas, naiknya kadar gula darah, kolesterol, asam urat, hingga jantung. Yang ringan sih misalnya nyeri sendi dan pusing. Ya enggak ringan juga sih, soalnya kalau sudah sampai migraine berarti sudah cukup serius.
Saya menyiasatinya dengan mencoba tetap menjalani work-life balance, menekuni hobi lain misalnya memasak, menekuni passion lain seperti mengurus homeschooling dan cat shelter, tetap bergaul dalam komunitas, makan dan tidur cukup, dan…tetap berbahagia serta bersyukur. Dalam kesempitan hidup seperti apapun, jangan lupa tetap mensyukuri apa yang sudah diberikan Tuhan dan tetaplah berbahagia.
Jangan lupa juga untuk memproteksi diri dengan asuransi, seperti yang ditawarkan oleh FWD Life, sebab biaya kesehatan selalu tidak bisa dibilang murah. Apalagi buat freelancer kayak saya ini, yang kadang uangnya ada dan seringnya sih ada tapi ngepas. Pas butuh pas lagi ada, Alhamdulillah.Â
Gaya hidup blogger dan penulis freelance memang tidak bisa dibilang sehat, apalagi deadliner garis keras seperti saya, maka itu selalu sedia payung sebelum hujan. Sedia asuransi kesehatan dan proteksi diri sebelum sakit. Sumpah, sakit itu mahal dan enggak enak, ya.
Yuk rasakan bahagianya bekerja sesuai passion, berani ambil langkah untuk ke sana. Selamat datang di dunia yang membebaskan langkah anda, namun tetap ingat untuk work-life balance.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H