Mohon tunggu...
ifa avianty
ifa avianty Mohon Tunggu... -

Saya seorang penulis, ibu rumah tangga, senang membaca, memasak, dan kerja2 kreatif lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemerdekaan RTC] Menemukanmu Disini

18 Agustus 2016   21:34 Diperbarui: 18 Agustus 2016   21:53 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jadi anak-anak, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Ri yang keseratus, kali ini kalian Bapak beri tugas istimewa”

Sejenak terdengar riuh rendah teman-teman kelasku. Kali tugasnya jalan-jalan ke Raja Ampat, cari makam pahlawan di sana. Tapi dibiayai sekolah, asyik kan. Itu yang kuinginkan. Teman-temanku juga punya keinginan masing-masing yang saling mereka cetuskan, sehingga membuat suasana gaduh tak menentu.

“Tugasnya apa, Pak?” Tanya Malina, si centil yang mencat rambutnya berwarna merah tupai, memberanikan diri bertanya.

Pak guru ganteng yang mukanya mirip Reza Rahadian, bintang film ngetop zaman nenekku itu, menoleh sejenak, dan kembali melanjutkan memajang slide-nya. Laser pointer berwarna merah berkerlip mengikuti poin pada slide-nya.

“Ini, coba kalian cari tahu, apa yang kira-kira dirasakan dua proklamator kita, Pak Soekarno dan Pak Hatta, kalau beliau-beliau masih hidup atau berkesempatan hidup hingga sekarang”.

Hah? Enggak salah tuh tugasnya? Teman-temanku kembali ribut.

“Nyang bener aje, Pak. Lah kalau belio masi idup, sekarang udah hampir dua ratus taun kali umurnye. Pegimane bisee?” si Juki, anak Betawi asli yang tadinya katanya moyangnya tinggal di Patal Senayan yang sekarang semuanya sudah jadi kawasan Mall-mall termegah se-Jakarta, tiba-tiba bertanya nyaring.

Pak guru ganteng yang namanya Yusup Suleman itu  tersenyum manis pada Juki, yang disambut dengan salah faham oleh kelompok cewek-cewek rusuh pimpinan Malina. Heboh dan drama bangeeet.

“Yaa itu kreativitas kalian, bandingkan situasi dan kondisi zaman itu dengan situasi dan kondisi zaman sekarang”.

“Ya mana gue tahuuu…. Nenek gue aja lahir zaman presidennya udah Habibie. Aneh nih guru”, sungut Desti, sang preman cewek yang meski begitu otaknya terkenal encer. Nah, bahkan Desti yang pintar sejak bayi saja menyerah memikirkannya. Apa lagi aku, Sindy, si gadis biasa saja ini?

Pukul dua belas malam sudah lama lewat. Aku sudah dua kali ke kamar mandi. Pou, kucingku, juga sudah berhenti mengeong minta masuk rumah, pasti dia sudah tidur di kardus yang jadi rumahnya di teras. Entah sudah pukul berapa sekarang. Anehnya mataku belum lagi mengantuk, Kepalaku pusing memikirkan tugas sejarah yang semakin mendekati deadline. Kalau sampai aku tak juga mengerjakannya, bagaimana nanti pak Usup yang ganteng itu menilaiku? Sedangkan selama ini saja, dia tak pernah melirikku sedikitpun, Apalagi kalau aku enggak mengerjakan tugasnya. Mungkin aku akan sama dengan Ratata, anak kucing kurus yang suka nyelonong masuk kelas, dan kebal dicuekkin guru-guru itu.

Kupandangi dengan nanar, dua buah foto buram di layar netbook-ku. Foto Pak Karno dan Pak Hatta, atau dulu Mbah Kung biasa menyebut mereka Bung Karno dan Bung Hatta. Ah, generasiku tampaknya sudah sangat asing dengan panggilan ‘Bung’. Lu kata Bungkus, kata Juki asal.

“Pak Karno dan Pak Hatta, yang saya kagumi, saya punya masalah. Bisakah anda berdua menolong saya?” keluh saya, dalam hati. Kedua orang besar dalam foto itu diam. Ya iyalah. Kalau mereka tetiba ngomong, aku pasti segera pingsan ketakutan.

“Bapak berdua pasti faham, kami ada di seratus tahun setelah anda mengucapkan kata-kata bersejarah yang sangat penting itu. Informasi tentang anda berdua dan perjuangan anda lengkap bisa kami baca di dunia maya. Tapi tak pernah kubaca satupun tentang perasaan anda berdua andaikan anda berdua masih hidup saat ini. Bagaimana ini, Bapak-bapak yang Terhormat?”

Foto dan kedua pahlawan itu masih diam. Aku menguap selebar kuda nil. Alhamdulillah, akhirnya ngantuk juga aku. Entah bagaimana besok aku bangun untuk sekolah. Mungkin aku akan tidur sepanjang perjalanan ke sekolah. Biarlah, paling tidak, aku tidak pusing mendengarkan pak Tile, supirku, menyetel lagu-lagu dangdut remix entah di audio mobil.

Yah sudahlah. Mau bagaimana lagi? Kurasakan kepalaku kian meringan. Aku sempurna tertidur tertelungkup di meja belajarku tepat ketika pengajian menjelang subuh terdengar di masjid dekat rumah.

Sungguh, ini zaman yang tak terbayangkan olehku, Ta. Anak-anak mudanya berpikir dan bercita-cita bebas, seperti yang pernah kuangankan semasa mudaku. Mereka tak lagi takut pada penjajah, juga pemerintah yang katanya rezim. Mereka bebas menjadi diri mereka sendiri. Andaikan zaman kita dulu, seperti ini.

Tapi, No, tak melihatkah engkau? Mereka banyak yang kehilangan rumahnya, mereka tak lagi dekat dan kenal pada akar darimana mereka berasal. Hanya ada kebanggaan pada yang sedang terkenal saja, tampaknya. Jangan-jangan mereka sudah tak kenal pada kita.

Betul, Ta. Mereka seperti anak-anak muda hebat yang tak punya kaki untuk berpijak. Sayang sekali, andai saja mereka tahu betapa kita berjuang untuk memberi mereka tanah pijakan yang merdeka, tanah pijakan yang selalu mereka jaga dan banggakan.

Ya, semoga saja, aku tak berlama-lama menyaksikan zaman ini. Sakit kepalaku, No. Meski aku juga masih bisa berbangga. Ada banyak anak muda yang berani bergerak, berani berbeda, dan punya karakter yang kuat.

Terdengar ketukan keras di pintu kamarku, yang membuat aku terbangun paksa. Kepalaku pusing dan badanku menggigil. Mana alarm smartphone ku? Kenapa dia tidak berbunyi?

“Sindy, kamu mau sekolah, enggak? Sudah jam enam. Kamu enggak subuh? Udah gede kok shalat aja masih dibangunkan!”

Astaga, Mamiiiih…. Kepalaku berputar tambah kencang.

Duk! Kepalaku terbentur netbook.

Facebook Messenger-ku terbuka. Ada  pesan di inbox sudah terbuka.

Seketika mataku membelalak.

DARI SOEKARNO DAN HATTA….

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemerdekaan RTC

rtc2-57b5c65f337a61641c9ed243.jpg
rtc2-57b5c65f337a61641c9ed243.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun