SAUJANA
Sudah tak bisa dipungkiri lagi akan kekalahan kerajaan Amerta yang kini tinggal nama dan sejarah yang tersisa. Kerajaan yang kian besar dan megah ternyata tak sesempurna itu. Raja Carong serta keluarganya sudah lebur bak abu yang terhempas sempurna oleh angin. Mentari kejayaan raja Jumantara menyinari bumi Wanodia dengan sombong. Seluruh rakyat Wanodia tampak berbondong-bondong untuk memberikan persembahannya pada keluarga kerajaan.
“Memang kau percaya Nirmala mati?” Gumam Nawasena pada kawannya panglima Aron. Satu minggu setelah peperangan yang ia pimpin membuatnya berpikir kembali pada cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu. Kisahnya sudah terlampau jauh untuk diceritakan ulang, mereka tak akan mungkin bersemi lagi. Banyak sekali perseturuan yang menyelimuti keduanya. Nawasena yang lahir di tanah Wanodia dan Nirmala jelas sekali dari tanah Amerta. Kedua kerajaan yang dihubungkan oleh Selat Gayatri yang tak sungkan untuk memanjakan mata mereka yang melihat.
Berawal dari pengangkatan perdana menteri kerajaan Amerta lima tahun silam bak dihipnotis, kepopuleran Raja Carong dalam mengatur keuangan kian menyusut. Banyak sekali hasil bumi yang gagal panen dalam beberapa tahun akibat kekeringan dan hama yang mengakibatkan rakyat kerajaan Amerta memilih pindah haluan ke kerajaan Wanodia melalui selat Gayatri. Hingga suatu ketika selat Gayatri tak diberikan akses untuk berlalu lalang seperti sebelumnya. Raja Carong mengalami trauma berat dan juga istrinya, ratu Prianka yang sudah memutuskan untuk menggunakan pakaian berwarna putih hingga keadaan kembali membaik, namun nyatanya sia-sia. Putri Nirmala memang tak tinggal diam, ia berusaha untuk mencari pertolongan pada kerajaan lain untuk menunjang permasalahan yang ada pada kerajaan semata wayangnya.
“Kau tak perlu melakukan demikian Tuan Putri!” Titah ayahnya. “Lalu aku harus apa? Menggunakan pakaian serba putih lalu mengidap trauma akut? Atau apa?” Ujarnya pada Raja Carong. “Pergilah, kemana saja yang kau mau. Atau jika perlu tak usah kembali. Berdosalah aku saja yang tak mampu menjadi ayah yang menyenangkan hati putri semata wayangnya. Pergilah Nirmala.” Raut wajah Prianka tampak tak tega, ia terduduk lemas dengan kain putih lusuh yang menutupi seluruh tubuhnya. “Ternyata benar, perempuan tak akan pernah bisa menjadi sosok yang kau percayai, bahkan aku yang sejatinya anak kandungmu. Aku pergi, bu.” Ucap Nirmala sembari meninggalkan kedua suami istri ini yang tengah menangis dan meratapi nasib keduanya. Perasaan Carong tak karuan, ia mengaku bersalah pada Nirmala dan Prianka, namun apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, Nirmala berhasil keluar dan pergi entah kemana.
Bagaikan tertusuk seribu pedang di sekujur tubuhnya, Nirmala pergi dengan seribu perasaan dan pikiran yang tak karuan. Batinnya sudah menyumpah serapahi tanah kelahirannya itu. Bumi Amerta tampak bersedih, sosok paling ceria itu berubah menjadi kegelapan. Wajahnya yang bersinar kini tertutup oleh kain hitam yang matahari sekalipun sungkan untuk menembusnya. Ia menerjang seluruh semak belukar dengan kuda putih kesayangannya sambil mengusap air mata yang masih setia menetes. Ia sudah tahu kemana ia akan pergi kali ini, ke tempat yang tak seorangpun bisa menemukannya, di sisi utara Selat Gayatri.
“Matilah aku! Matilah aku! Matilah aku! Tuhan! Kenapa aku terlahir sebagai perempuan malang? Kenapa perempuan tak dapat menjadi ksatria? Kenapa Tuhan? Matilah aku! Asa mana lagi yang harus aku perjuangkan. Aku sudah dibuang.”
Tangis Nirmala pecah, pandangannya buram, dadanya sesak, pikirannya kalut. Ia sudah kalah, bahkan saat ia belum berperang.
Satu hari setelah Nirmala memutuskan pergi, Raja Carong tak sadarkan diri semalam penuh. Kondisi kerajaan semakin memburuk dan benar sekali, para pembajak pemerintahlah yang semakin memanfaatkan kondisi tersebut. Tangan kanan raja Carong ternyata sudah berhutang selama tiga tahun ini dan kerajaan inilah yang menjadi jaminannya tanpa sepengetahuan raja Carong. Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah situasi Kerajaan Amerta saat ini. Para pemerintah kerajaan yang menjadi dalangnya sudah entah berantah tak dapat ditemukan oleh panglima Aksara dan dapat kita simpulkan bagaimana keadaaan kerajaan malang itu. Hanya menunggu beberapa hari saja, Amerta akan berubah menjadi Wanodia, karena bagaimanapun hutang tetaplah hutang yang harus dibayar.
Tak perlu menghitung hari, petang hari yang cukup tragis sudah terjadi. Kini Amerta adalah Wanodia dan Wanodia adalah Wanodia.
Nirmala menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri dari kejauhan, bagaimana Nawasena dengan gagahnya memimpin pasukannya untuk meraih kemenangannya. Tak mudah baginya, ia benar-benar hidup sebatang kara saat ini, ditambah lagi tempat masa kecilnya yang diambil alih oleh Kerajaan Wanodia. Sebetulnya ia sudah tahu akan hal ini, ia sudah mengupayakan agar segera melunasi masalah hutang puitang dan menjabat lagi tangan rakyatnya yang hampir mati kelaparan, namun apa boleh buat? Ia seakan dipaksa diam oleh keadaan. “Apa mungkin seorang perempuan bisa memimpin suatu kerajaan? Itu hanyalah nafsu yang tak tahu malu.” Masih melekat ditelinganya ketika ia pertama kali masuk keruang sidang Istana. Hingga saat ini yang tersisa hanyalah khayalannya perihal tentang kejayaan Kerajaan Amerta dan menikah dengan Nawasena. Nirmala kepalang benci tak berujung pada Nawasena.
“Terkutuklah engkau, Nawasena.”
***
Langkah kaki yang bergerak menujunya membuat ia menoleh. Matanya membinar, ia langsung menghampiri sosok lemah lembut dan ia sayangi itu.
“Sudah malam Ibu. Ada yang mengganggumu?” Nawasena melontarkan perhatian pada ibunya. “Tidak. Kau yang ada apa? Apa ada yang mengganggu perasaan calon Raja Wanodia yang tampan nan rupawan ini?” Bergedik pendengaran Nawasena terkait hal itu. “Siapa yang akan menjadi Raja? Ayah masih baru saja mendapat cap raja terbaik oleh seluruh rakyat Wanodia.” Jelasnya, “Lalu apa yang membuatmu diam di sini?” Ibu Ratu menegaskan pertanyaannya lagi.
“Ibu masih mengingat Nirmala? Putri dari Carong.”
“Kekasihmu?”
Nawasena terdiam, “Aron sudah mencarinya namun tidak ada dimanapun. Sekarang aku benar-benar kehilangannya.”
“Pergilah. Cari kemanapun, kejar sejauh apapun yang kau mau. Apa arti hidup tanpa mereka yang kita cinta, nak.”
Nawasena kepalang malu namun perasaannya berkesah untuk segeralah berangkat.
“Aku memohon restumu, Ibu Ratu.” Mendengar putranya berucap demikian sang ibu tampak campur aduk. Ia tak akan bisa melihat putra tunggalnya ini berdiri sendirian, ia tak terlalu tega akan hal itu. Namun disisi lain, Nirmala sudah menjadi kutukan untuk Wanodia.
“Pergilah, Sena. Temukan apa yang kau cari. Jangan sampai melepaskannya lagi.”
***
Nirmala menyipitkan netranya ketika ia terbangun dari mimpinya semalam, pantai Gayatri menyambutnya. “Ternyata aku masih hidup.” Monolognya. Lalu ia menuju pesisir pantai sambil bertarung dengan pikirannya. “Kenapa aku berumur panjang dan sekuat ini? Bukankah perempuan tak layak hidup seperti ini. Kenapa aku bisa sejauh ini? Sial.” Monolognya sambil menyapu pasir pantai dengan kakinya. Ia terduduk dan merebahkan tubuhnya. Ia tak tahu harus berbuat apa setelah ini, mungkin ia akan mati saja daripada menuruti nafsu balas dendamnya.
“Apa aku harus membakar Wanodia dengan api kemarahanku?”
“Atau aku yang malah kebakaran sendiri di sini?”
“Apa perlu aku menghancurkan wajah polos milik Nawasena yang sialan itu.”
Ia resah, tak tahu harus apa.
“Hancurkan saja aku di sini, Nirmala.”
Nirmala menoleh pada sumber suara dan diam total. Nawasena benar-benar tak tahu malu sudah muncul di depannya.
“Tapi yang menang tetaplah aku. Selalu aku dan hanya aku, Nirmala. Kau selalu kalah, bahkan dengan perasaanmu sendiri. Bahkan dengan ketakutanmu sendiri. Kau selalu kalah.”
Nirmala hanya menatapnya, hatinya sudah menyumpah serapahi pria didepannya itu. Namun tak dapat dipungkiri, Nirmala rindu sekali padanya. Tempat bertukar cerita masa kecil hingga berumur genap dua puluh tahun kemarin tak pernah ia jumpai selama lima tahun belakang. Di tempat ini, Selat Gayatri adalah tempat yang selalu mereka gunakan untuk bertemu sejak kecil. Takdir bahkan merayakan pertemuan mereka kali ini. Perasaan hangat menyelimuti Nawasena, ia rindu sekali pada Nirmala.
“Bahkan saat aku mengajakmu menikah, kau takut Amerta tak akan bisa menerima Wanodia. Sekarang ku rasa tak ada alasan lagi untuk menolakku ‘kan?” Ujar Nawasena sambil melanjutkan langkahnya menuju Nirmala. “Pergilah. Aku sudah mati sejak kau melangkah di bumi Amerta.” Hardik Nirmala. “Kau tak ingin tahu keadaan orang tuamu?” Nawasena duduk disamping Nirmala. “Kau siapa? Aku tidak membutuhkan belas kasih dari seorang penjajah.” Netra Nirmala menajam seakan membunuh Nawasena. “Aku tahu sekali, kau sudah memperkirakan semuanya dan aku tahu kau ada di sini. Ikutlah denganku dan hiduplah Nirmala.”
Nirmala tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan konyol dari Nawasena. Hampir lima menit Nawasena menikmati bagaimana Nirmala menertawakannya.
“Nirmala sudah.”
“Nawasena, aku anak dari raja Carong asal kau tahu. Putri dari Ibu ratu Prianka, kau tak boleh lupa bagaimana keras keduanya. Dan kali ini aku sudah terbebas dari mereka. Aku tak perlu berpura pura menjadi kacung hanya untuk menghirup bagaimana segarnya Gayatri dan menemuimu. Senang sekali. Aku bisa pergi kemanapun, Sena. Aku tak perlu khawatir bagaimana perasaan Ayahku ketika tahu aku sering menemuimu dan jatuh hati padamu. Membayangkan kalau aku menerima lamaranmu waktu itu saja membuatku sesak. Aku bebas Sena. Aku bebas.”
Seakan bertolak, Nirmala menangis. Ia tak menjelaskan kalau ia begitu senang. Ia meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri sambil mengucap aku bebas, sena.
Nawasena memeluk tubuh kecil itu yang sudah tampak sesak sekali. Nirmala meringik kesakitan, ia tak terima.
“Aku tidak memerlukan pengakuan itu Mala. Aku tidak memerlukannya.”
Tubuhnya semakin bergetar, tangisnya benar-benar pecah lagi.
“Pergilah, Sena. Akan ku hadapi ini dengan sisa-sisa tenagaku. Aku tidak apa.” Ujar Nirmala dengan menenangkan dirinya.
“Ikutlah denganku.”
“Tidak. Kau sudah mendeklarasikan jikalau aku sudah mati. Biar aku dikubur sepi di sini. Pulanglah, banyak yang kau cintai daripada aku di dunia yang sempit ini.”
Keduanya bersikeras pada pilihannya masing-masing, namun berujung Nirmala lagi-lagi kalah dengan Nawasena.
Kini bukit Gayatri memiliki tuan. Nirmala tinggal diatas bukit Gayatri yang tak jauh dari Wanodia dan Amerta. Ia kesepian namun tenang, ia tak dapat menolak bagaimana Sena akan menjanjikan perlakuan baik pada kedua orang tuanya. Pikir Nirmala sudah tak ada lagi harta yang dapat ia rawat saat ini kecuali Carong dan Prianka.
“Hiduplah lebih lama di sini, berbahagialah Nirmala. Aku akan merindukanmu.”
Tak berucap apapun kecuali menganggukkan kepalanya, ia benar-benar sendirian.
“Kau bisa turun sesukamu, sesiapmu, dan semampumu. Aku tidak akan memaksamu lagi. Terima kasih karena sudah menurutiku sejauh ini.”
Semuanya sudah kembali seperti semula, Wanodia semakin jaya dan luas. Setiap hari pelayan kerajaan bergantian mendaki bukit Gayatri atas titah sang pangeran mahkota demi memastikan Nirmala tetap hidup dan sehat. Namun kali itu adalah hari terakhir dimana Nawasena sendirilah yang menemui Nirmala guna memastikan keadaannya. Langkahnya berjalan pasti menyusuri satu rumah berukuran sedang diatas bukit Gayatri. Ia tak menemukan apapun di sana. Ia hanya menemukan secarik kertas dengan tulisan yang menyayat hatinya. Nirmala ingkar, ia meninggalkan Nawasena.
Terima kasih sudah mengasihiku dengan penuh. Aku selalu mengharapkan yang terbaik untuk kita. Namun takdir tak akan pernah ingkar dengan karma. Aku berulang kali menimbangkan bagaimana aku akan memaafkanmu dan membuka lembaran baru setelah apa yang aku lihat malam itu. Apa yang aku cari di hidup yang sementara seperti ini? Tidak ada. Semuanya sudah kau babat habis beberapa tahun yang lalu.
Kini tak perlu lagi mencariku dengan dalil menebus kesalahan. Aku sudah memaafkanmu sejak aku menyadari bahwa cintaku terlalu besar untukmu daripada balas dendamku. Tak perlu bertanya apakah selama ini aku hanya mempermainkanmu, karena aku benar-benar mencintaimu. Namun Tuhan mempunyai takdir lain untukmu dan untukku.
Aku sudah mendengar perihal perjodohanmu dengan putri Renjana, menikahlah dan berbahagialah Nawasena, seperti katamu kala itu. Simpan cintaku pada relung hatimu paling dalam agar tak perlu kau kesusahan untuk mengaisnya lagi.
Terima kasih, Sena.
Dari Nirmala
Berbahagialah.
Tamat.
-gianjar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H