Mohon tunggu...
Andreas Ismar
Andreas Ismar Mohon Tunggu... Freelancer - penulis lepas

Belajar menulis agar lepas dari rutinitas. Pandangan pribadi, bukan institusi/lembaga.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dokter Juga Manusia

8 Desember 2013   22:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Seorang sahabat saya, dokter muda prospektif, baru-baru ini curhat. Ia sangat sebal dengan serangan masyarakat (dan media massa) yang menurutnya teramat memojokkan para dokter.

Sayang, karena (sok) sibuk, saya belum bisa kopi darat dengan sang dokter cerdas itu. Jadi semoga tulisan ini bisa mengurangi utang perjumpaan.

Duduk Manis Dapet Duit

Si dokter merujuk pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat yang mengatakan dokter itu enak: yang menyembuhkan Tuhan, yang dapat honor dokter. Lantas jika pasien meninggal, dokter bisa menyatakan itu sudah takdir.

Wah, saya yang bukan dokter saja panas mendengarnya. Apalagi para dokter.

Pernyataan tersebut mengesankan dokter sebagai pemalak malas. Ongkang-ongkang kaki saja, toh selalu bisa salahkan takdir.  Padahal, tak terhitung dokter yang pontang-panting berusaha menyelamatkan nyawa orang.

Pak Arief sehari setelahnya mengklarifikasi bahwa kalimat tersebut diambil di luar konteks. Dalam konteks penuh, ujarnya, kalimat itu hanya bercandaan dari otokritiknya terhadap profesi hakim dan jaksa. (Saya tidak mau bahas pernyataan Pak Arief di sini, tapi pesan saja: kalau jadi pejabat publik itu, mbok ya ngomongnya ‘diayak’).

Kesan dan Kenyataan

Saya tentu tak perlu panjang-lebar cerita jalan berliku menjadi dokter. Sekolahnya lama, biayanya besar, tanggung jawabnya luar biasa. Perkara hidup-mati. Sebagian kecil masyarakat bahkan menyematkan kepercayaan teramat besar: ucapan dokter seakan dogma dewata!

Namun, sepertinya lebih banyak anggota masyarakat yang sekarang fokus memandang dokter sebagai manusia yang pintar menghisap duit sebanyak-banyaknya; menggadai profesi mulia menjadi rumah gedongan dan mobil mewah.

Dokter model seperti itu pernah saya temui. Memberi resep mahal agar diguyur beragam hadiah dan jalan-jalan gratis dari perusahaan obat. Dokter mata duitan memang nyata, sama seperti bidang profesi lain juga ada yang mata duitan.

Tapi, saya berjumpa lebih banyak lagi tenaga medis yang uangnya lebih tiris ketimbang saya, seorang kuli tinta. Mereka, terutama yang di luar Jawa, kerja siang-malam-subuh. Tidak hanya  berusaha menyembuhkan penyakit (tanpa alat memadai), para personil kesehatan itu juga membagi ilmu agar masyarakat hidup lebih sehat.

Don’t Shoot the Messenger

Perbedaan antara kesan dan kenyataan itu diakibatkan banyak hal. Salah satunya ketiadaan asuransi kesehatan universal. Loh kok jauh banget?

Ketiadaan asuransi bagi masyarakat luas mengakibatkan biaya kesehatan yang teramat tinggi karena biaya obat, peralatan, mesin-mesin yang kedap-kedip, 100 persen dibebankan ke pasien.

Beda sekali dengan sistem negara-negara Eropa yang subsidi dengan asuransi. Tidak perlu jauh-jauh, sistem Thailand dan Malaysia sudah sedikit menyerupai benua biru.

Di negeri ini? Orang miskin dilarang sakit.

Menyadari masalah itu, beberapa pejabat daerah lantas mencoba skema asuransi kesehatan. Sayang, sebagian dari mereka hanya modal cangkem. Dananya tiada.

Rumah sakit lantas kembang-kempis, risiko listrik diputus karena nunggak PLN.

Jadi mereka ambil langkah yang umum dilakukan untuk bertahan hidup: hentikan ‘pendarahan’ keuangan. Stop layanan gratis yang dihembuskan si kepala daerah.

Saat itu terjadi, siapa yang pertama kali kena amarah masyarakat? Perawat, dokter, dan satpam rumah sakit. Meski masyarakat paham kalau penghentian pengobatan itu bukan salah para buruh rumah sakit, bisa jadi mereka teramat frustrasi. Lantas lampiaskan kejengkelan ke pihak yang berinteraksi langsung dengan mereka.

Lessons Learned

Masih banyak faktor lain yang menyebabkan perbedaan persepsi dan kenyataan. Yang pasti, jika kita tarik lebih jauh, ujung-ujungnya ya keinginan politis (dan program kerja realistis). Kuba, yang ekonominya jauh lebih kecil dari Indonesia, bisa punya tenaga medis yang cukup berlimpah dan diacungi jempol dokter di Eropa, bahkan di Amerika Serikat yang notabene masih bermusuhan secara politik dan perdagangan.

Tapi sudahlah, tak perlu diskusi ini kita tarik hingga sejauh itu. Mari kita cukupkan dulu ke dokter cuma manusia. Lahir-mati, dengan karya di antara keduanya.

Mereka bukan mahadewa yang punya kuasa nyawa. Mereka cuma manusia yang bisa berupaya. Sama seperti karyawan ataupun pengangguran.

Kebetulan saja, upaya-upaya dokter itu njelimet dan kegagalan tindakan bisa berakibat fatal. Maka lahirlah prosedur dan sebagainya. Prosedur yang dalam teori dilindungi hukum lex specialist, bukan malah diserang dengan hukum pidana umum.

Anda bisa tidak sepakat dengan pernyataan saya barusan, tapi mari kita sepakat bahwa kekurangan tenaga medis (termasuk bidan, perawat, dan sarjana kesehatan) dan biaya kesehatan tinggi adalah sistem yang perlu kita gerus bersama sebagai bangsa. Jangan lempar tanggungjawab itu ke dokter, pemerintah, atau raja. Ini tugas kita bersama.

Jakarta, 8 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun