Masih banyak faktor lain yang menyebabkan perbedaan persepsi dan kenyataan. Yang pasti, jika kita tarik lebih jauh, ujung-ujungnya ya keinginan politis (dan program kerja realistis). Kuba, yang ekonominya jauh lebih kecil dari Indonesia, bisa punya tenaga medis yang cukup berlimpah dan diacungi jempol dokter di Eropa, bahkan di Amerika Serikat yang notabene masih bermusuhan secara politik dan perdagangan.
Tapi sudahlah, tak perlu diskusi ini kita tarik hingga sejauh itu. Mari kita cukupkan dulu ke dokter cuma manusia. Lahir-mati, dengan karya di antara keduanya.
Mereka bukan mahadewa yang punya kuasa nyawa. Mereka cuma manusia yang bisa berupaya. Sama seperti karyawan ataupun pengangguran.
Kebetulan saja, upaya-upaya dokter itu njelimet dan kegagalan tindakan bisa berakibat fatal. Maka lahirlah prosedur dan sebagainya. Prosedur yang dalam teori dilindungi hukum lex specialist, bukan malah diserang dengan hukum pidana umum.
Anda bisa tidak sepakat dengan pernyataan saya barusan, tapi mari kita sepakat bahwa kekurangan tenaga medis (termasuk bidan, perawat, dan sarjana kesehatan) dan biaya kesehatan tinggi adalah sistem yang perlu kita gerus bersama sebagai bangsa. Jangan lempar tanggungjawab itu ke dokter, pemerintah, atau raja. Ini tugas kita bersama.
Jakarta, 8 Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H