Tapi, saya berjumpa lebih banyak lagi tenaga medis yang uangnya lebih tiris ketimbang saya, seorang kuli tinta. Mereka, terutama yang di luar Jawa, kerja siang-malam-subuh. Tidak hanya  berusaha menyembuhkan penyakit (tanpa alat memadai), para personil kesehatan itu juga membagi ilmu agar masyarakat hidup lebih sehat.
Don’t Shoot the Messenger
Perbedaan antara kesan dan kenyataan itu diakibatkan banyak hal. Salah satunya ketiadaan asuransi kesehatan universal. Loh kok jauh banget?
Ketiadaan asuransi bagi masyarakat luas mengakibatkan biaya kesehatan yang teramat tinggi karena biaya obat, peralatan, mesin-mesin yang kedap-kedip, 100 persen dibebankan ke pasien.
Beda sekali dengan sistem negara-negara Eropa yang subsidi dengan asuransi. Tidak perlu jauh-jauh, sistem Thailand dan Malaysia sudah sedikit menyerupai benua biru.
Di negeri ini? Orang miskin dilarang sakit.
Menyadari masalah itu, beberapa pejabat daerah lantas mencoba skema asuransi kesehatan. Sayang, sebagian dari mereka hanya modal cangkem. Dananya tiada.
Rumah sakit lantas kembang-kempis, risiko listrik diputus karena nunggak PLN.
Jadi mereka ambil langkah yang umum dilakukan untuk bertahan hidup: hentikan ‘pendarahan’ keuangan. Stop layanan gratis yang dihembuskan si kepala daerah.
Saat itu terjadi, siapa yang pertama kali kena amarah masyarakat? Perawat, dokter, dan satpam rumah sakit. Meski masyarakat paham kalau penghentian pengobatan itu bukan salah para buruh rumah sakit, bisa jadi mereka teramat frustrasi. Lantas lampiaskan kejengkelan ke pihak yang berinteraksi langsung dengan mereka.
Lessons Learned