Pak Fauzan adalah seorang wali kelas di sebuah sekolah negeri yang terletak di pinggiran kota. Dia dikenal sebagai guru yang penuh kasih dan perhatian terhadap murid-muridnya. Bagi Pak Fauzan, menjadi wali kelas bukan hanya soal memastikan nilai akademis siswa baik, tetapi juga menjadi sosok yang mendampingi mereka dalam menghadapi masalah-masalah pribadi. Salah satu murid di kelasnya, Zaqi, menarik perhatian Pak Fauzan sejak awal tahun ajaran baru dimulai.
Diawal pertemuan Zaqi adalah seorang anak yang pendiam, jarang bicara di kelas, dan sering kali terlihat murung. Di antara murid-murid lainnya yang penuh semangat, Zaqi tampak seperti bayangan yang selalu berada di pinggir. Ia duduk di pojok kelas, selalu menyendiri, dan tidak pernah terlibat dalam obrolan atau kegiatan bersama teman-temannya.Â
Pak Fauzan menyadari hal itu, dan sebagai wali kelas, dia merasa harus lebih dekat dengan Zaqi, meskipun Zaqi sendiri tidak pernah mencari perhatian.
Suatu hari, saat Pak Fauzan sedang memeriksa tugas-tugas muridnya, ia memperhatikan bahwa tugas Zaqi tidak selesai. Bahkan, beberapa minggu terakhir, nilainya semakin menurun. Ia memutuskan untuk memanggil Zaqi ke ruangannya setelah jam pelajaran berakhir.
"Kii, bisa bicara sebentar dengan papi ?" tanya Pak Fauzan dengan lembut, mencoba menyampaikan kepeduliannya tanpa membuat Zaqi merasa tertekan.
Zaqi mengangguk, berjalan pelan ke ruang guru, mengikuti Pak Fauzan dengan langkah berat. Setelah duduk, Pak Fauzan memulai percakapan.
"Kii, Papi perhatikan beberapa minggu terakhir ini kamu tampak tidak bersemangat dan tugas-tugasmu juga banyak yang belum selesai. Ada yang ingin kamu ceritakan? Papi di sini untuk mendengarkan," ujar Pak Fauzan sambil tersenyum.
Zaqi menunduk, tangannya meremas-remas ujung seragamnya. Ada beban yang tampak begitu berat di pundaknya. Setelah beberapa saat, Zaqi pun akhirnya membuka suara, meski suaranya terdengar pelan dan penuh kelelahan.
"Maaf, Pi... Zaqi tidak bisa fokus akhir-akhir ini. Di rumah, ada banyak masalah. Bapak kena stroke beberapa bulan lalu, Mama pergi meninggalkan kami semua dengan pria yang baru dan sejak itu saya harus bekerja untuk bantu biaya pengobatan dan juga menyekolahkan adik adik saya di  rumah," ucap Zaqi dengan mata yang terlihat kosong.
Pak Fauzan tertegun. Dia tidak menyangka bahwa Zaqi, selama ini selalu terlihat pendiam dan tenang, sedang menanggung beban yang begitu berat. Pantas saja Zaqi tampak lesu dan tidak fokus dalam pelajaran. Dia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya di saat seharusnya dia menikmati masa sekolah dan bermain seperti anak-anak lainnya.
"Kii... Papi tidak tahu kamu harus menghadapi situasi seberat ini. Kenapa kamu tidak pernah cerita kepada Papi atau guru yang lain?" tanya Pak Fauzan dengan nada prihatin.
Zaqi menggeleng pelan. "Saya nggak mau merepotkan, Pi. Zaqi tahu kalau saya cerita pun, nggak akan ada yang bisa membantu banyak. Lagipula, saya juga harus tetap bekerja, Pi. Kalau nggak, siapa lagi yang akan bantu keluarga saya? Mama juga sudah tidak mau pulang ke rumah lagi."
Air mata mulai menggenang di sudut mata Pak Fauzan. Dia merasa terpukul mendengar cerita Zaqi. Di usia yang masih belia, Zaqi sudah harus memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Pak Fauzan tahu, tugas sebagai guru bukan hanya memastikan muridnya pintar, tapi juga memberi mereka dukungan dalam menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.
"Kii, Papi sangat bangga sama kamu. Kamu anak yang kuat. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menanggung semua ini sendirian. Papi akan berusaha membantu sebisanya," ucap Pak Fauzan dengan lembut.
Namun, meski Pak Fauzan berjanji untuk membantu, kenyataan hidup Zaqi tidaklah mudah. Setiap hari sepulang sekolah, Zaqi bekerja di sebuah Pencucian sepeda motor. Kadang ia juga bekerja serabutan di tempat lain untuk mencari tambahan uang hingga larut  malam. Hari-hari Zaqi diisi dengan kelelahan yang tidak pernah berakhir. Pekerjaan dan tanggung jawab di rumah membuatnya semakin sulit untuk fokus pada pelajaran di sekolah.
Meski demikian, Pak Fauzan tidak pernah menyerah. Dia terus memberikan perhatian kepada Zaqi, memastikan bahwa setidaknya di sekolah, Zaqi merasa didukung. Setiap kali Zaqi absen atau tidak bisa mengerjakan tugas, Pak Fauzan selalu memberi pengertian. Namun, meskipun Pak Fauzan berusaha keras untuk membantu, nilai Zaqi terus merosot. Zaqi semakin tertinggal dalam pelajaran, dan tekanan hidupnya makin terasa berat.
Hingga pada suatu hari, keputusan yang berat harus diambil. Di akhir tahun ajaran, rapat dewan guru memutuskan bahwa Zaqi tidak bisa melanjutkan ke kelas berikutnya. Nilai-nilainya terlalu rendah, dan dia harus tinggal kelas.Â
Pak Fauzan merasa hancur hingga memutuskan untuk walk out dari ruang rapat hingga berteriak dan menangis di dalam toilet sekencang-kencangnya. Dia tahu betapa keras Zaqi berjuang, bukan hanya untuk sekolah, tetapi untuk hidup. Namun, aturan tetaplah aturan, dan Pak Fauzan tidak bisa berbuat banyak.
Setelah rapat itu, Pak Fauzan memanggil Zaqi untuk menemuinya di luar sekolah dimana tempat yang biasanya menjadi tempat curhat anak anak, di pinggir sungai dibawah pohon sambil meminum es kelapa muda. Kali ini, Pak Fauzan harus menyampaikan kabar yang sangat berat.
"Kii, Papi tahu ini sulit, tapi... kamu harus tahu bahwa Papi dan beberapa guru, hingga kepala sekolah sudah berusaha. Tapi keputusan hasil rapat adalah kamu harus tinggal kelas, Kii Papi minta maaf papi sudah gagal menjadi wali kelasmu, sudah gagal untuk mendidik kamu, papi sudah berjuang sekuat dan semampu papi untuk mempertahankan kamu" ujar Pak Fauzan dengan nada lembut, mencoba menguatkan hati Zaqi.
Zaqi tidak terkejut. Dia sudah merasakan bahwa hal ini akan terjadi. Dengan ekspresi datar, Zaqi menatap Pak Fauzan dan hanya mengangguk pelan.
"Ya, Pi. Zaqi paham. Terima kasih sudah berusaha untuk Zaqi, terimakasih sudah selalu membantu Zaqi, mengingatkan Zaqi, peduli dengan keluarga dan orang tua Zaqi. Tapi pi Zaqi minta maaf, Zaqi akan menginat semua orang sudah jahat terhadap Zaqi dan orang itu akan menyesal dikemudian hari" jawab Zaqi singkat.
Namun, di balik ketenangan itu, Pak Fauzan tahu ada rasa sakit yang dalam. tetapi kegagalan ini pasti sangat berat baginya. Pak Fauzan merasa bersalah, meskipun dia tahu bahwa dia sudah melakukan yang terbaik. Setelah Zaqi meninggalkan tempat, Pak Fauzan menangis sendiri. Ia tidak bisa menahan rasa sedih melihat muridnya yang begitu berjuang harus menghadapi kegagalan.
Beberapa minggu setelah keputusan itu, Zaqi berhenti sekolah. Tekanan dari keluarga dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak membuatnya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Dia harus bekerja penuh waktu untuk menafkahi keluarganya, merelakan masa remajanya yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain.
Meskipun Zaqi sudah tidak lagi di sekolah, Pak Fauzan tetap tidak melupakan muridnya itu. Ia sering kali teringat akan Zaqi, anak yang begitu tabah menghadapi cobaan hidup. Suatu hari, Pak Fauzan memutuskan untuk mengunjungi rumah Zaqi. Dia ingin memastikan bahwa Zaqi baik-baik saja, meski sudah tidak bersekolah.
Sesampainya di rumah Zaqi, Pak Fauzan disambut oleh Adiknya Zaqi. Rumah itu kecil dan sederhana, dengan perabotan yang sudah tampak usang. Di dalam rumah, terbaring ayah Zaqi yang masih dalam kondisi sakit setelah terkena stroke.
"Pak Fauzan... terima kasih sudah mau datang ke rumah kami," ucap Ayah Zaqi dengan nada lelah. Matanya tampak sayu, mencerminkan kelelahan dan kesedihan yang mendalam.
"Bagaimana kabar Zaqi, Pak? Saya ingin tahu bagaimana keadaannya," tanya Pak Fauzan dengan lembut.
Ayah Zaqi tersenyum tipis, namun tampak getir. "Zaqi sekarang bekerja setiap hari, Pak. Dia anak yang kuat, tapi saya tahu ini semua terlalu berat untuknya. Dia jarang istirahat, sering kali pulang larut malam karena bekerja. Saya kasihan melihat dia harus menanggung semua ini."
Mendengar hal itu, hati Pak Fauzan terasa remuk. Dia tahu, Zaqi masih terlalu muda untuk memikul beban seberat ini. Namun, dalam keterbatasan, Pak Fauzan hanya bisa memberikan doa dan dukungan moral. Dia berjanji untuk tetap menjaga hubungan dengan Zaqi dan keluarganya, meskipun Zaqi sudah tidak lagi berada di sekolah.
Setiap beberapa bulan, Pak Fauzan selalu menyempatkan diri mengunjungi rumah Zaqi, memastikan bahwa muridnya itu masih baik-baik saja dan menyuruh Zaki mengikuti sekolah Paket C.Â
Meski Zaqi tidak lagi menjadi siswanya, kasih sayang Pak Fauzan tidak pernah padam. Dia terus menjadi sosok yang peduli, mendampingi Zaqi dari kejauhan, memberikan semangat yang mungkin tak selalu bisa disampaikan lewat kata-kata.
Waktu berlalu, dan Zaqi tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Meski hidup penuh tantangan, dia tetap bertahan dan bekerja keras untuk keluarganya. Suatu hari, setelah beberapa bulan berlalu, Zaqi datang ke tempat biasa kami bercerita di warung es kelapa muda di pinggir sungai untuk menemui Pak Fauzan. Dengan wajah yang lebih dewasa dan pandangan yang lebih tegar, Zaqi menyapa guru yang selalu ada untuknya.
"Pi, terima kasih untuk semua yang Papi lakukan untuk saya. Meskipun saya tidak bisa menyelesaikan sekolah, Papi adalah salah satu orang yang membuat saya bertahan," ujar Zaqi dengan tulus. Pak Fauzan tersenyum, menahan haru. "Zaqi, kamu sudah melakukan yang terbaik. Papi bangga padamu. Ingat, meskipun hidup
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H