Namun, di balik ketenangan itu, Pak Fauzan tahu ada rasa sakit yang dalam. tetapi kegagalan ini pasti sangat berat baginya. Pak Fauzan merasa bersalah, meskipun dia tahu bahwa dia sudah melakukan yang terbaik. Setelah Zaqi meninggalkan tempat, Pak Fauzan menangis sendiri. Ia tidak bisa menahan rasa sedih melihat muridnya yang begitu berjuang harus menghadapi kegagalan.
Beberapa minggu setelah keputusan itu, Zaqi berhenti sekolah. Tekanan dari keluarga dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak membuatnya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Dia harus bekerja penuh waktu untuk menafkahi keluarganya, merelakan masa remajanya yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain.
Meskipun Zaqi sudah tidak lagi di sekolah, Pak Fauzan tetap tidak melupakan muridnya itu. Ia sering kali teringat akan Zaqi, anak yang begitu tabah menghadapi cobaan hidup. Suatu hari, Pak Fauzan memutuskan untuk mengunjungi rumah Zaqi. Dia ingin memastikan bahwa Zaqi baik-baik saja, meski sudah tidak bersekolah.
Sesampainya di rumah Zaqi, Pak Fauzan disambut oleh Adiknya Zaqi. Rumah itu kecil dan sederhana, dengan perabotan yang sudah tampak usang. Di dalam rumah, terbaring ayah Zaqi yang masih dalam kondisi sakit setelah terkena stroke.
"Pak Fauzan... terima kasih sudah mau datang ke rumah kami," ucap Ayah Zaqi dengan nada lelah. Matanya tampak sayu, mencerminkan kelelahan dan kesedihan yang mendalam.
"Bagaimana kabar Zaqi, Pak? Saya ingin tahu bagaimana keadaannya," tanya Pak Fauzan dengan lembut.
Ayah Zaqi tersenyum tipis, namun tampak getir. "Zaqi sekarang bekerja setiap hari, Pak. Dia anak yang kuat, tapi saya tahu ini semua terlalu berat untuknya. Dia jarang istirahat, sering kali pulang larut malam karena bekerja. Saya kasihan melihat dia harus menanggung semua ini."
Mendengar hal itu, hati Pak Fauzan terasa remuk. Dia tahu, Zaqi masih terlalu muda untuk memikul beban seberat ini. Namun, dalam keterbatasan, Pak Fauzan hanya bisa memberikan doa dan dukungan moral. Dia berjanji untuk tetap menjaga hubungan dengan Zaqi dan keluarganya, meskipun Zaqi sudah tidak lagi berada di sekolah.
Setiap beberapa bulan, Pak Fauzan selalu menyempatkan diri mengunjungi rumah Zaqi, memastikan bahwa muridnya itu masih baik-baik saja dan menyuruh Zaki mengikuti sekolah Paket C.Â
Meski Zaqi tidak lagi menjadi siswanya, kasih sayang Pak Fauzan tidak pernah padam. Dia terus menjadi sosok yang peduli, mendampingi Zaqi dari kejauhan, memberikan semangat yang mungkin tak selalu bisa disampaikan lewat kata-kata.
Waktu berlalu, dan Zaqi tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Meski hidup penuh tantangan, dia tetap bertahan dan bekerja keras untuk keluarganya. Suatu hari, setelah beberapa bulan berlalu, Zaqi datang ke tempat biasa kami bercerita di warung es kelapa muda di pinggir sungai untuk menemui Pak Fauzan. Dengan wajah yang lebih dewasa dan pandangan yang lebih tegar, Zaqi menyapa guru yang selalu ada untuknya.