Zaqi menggeleng pelan. "Saya nggak mau merepotkan, Pi. Zaqi tahu kalau saya cerita pun, nggak akan ada yang bisa membantu banyak. Lagipula, saya juga harus tetap bekerja, Pi. Kalau nggak, siapa lagi yang akan bantu keluarga saya? Mama juga sudah tidak mau pulang ke rumah lagi."
Air mata mulai menggenang di sudut mata Pak Fauzan. Dia merasa terpukul mendengar cerita Zaqi. Di usia yang masih belia, Zaqi sudah harus memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Pak Fauzan tahu, tugas sebagai guru bukan hanya memastikan muridnya pintar, tapi juga memberi mereka dukungan dalam menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.
"Kii, Papi sangat bangga sama kamu. Kamu anak yang kuat. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menanggung semua ini sendirian. Papi akan berusaha membantu sebisanya," ucap Pak Fauzan dengan lembut.
Namun, meski Pak Fauzan berjanji untuk membantu, kenyataan hidup Zaqi tidaklah mudah. Setiap hari sepulang sekolah, Zaqi bekerja di sebuah Pencucian sepeda motor. Kadang ia juga bekerja serabutan di tempat lain untuk mencari tambahan uang hingga larut  malam. Hari-hari Zaqi diisi dengan kelelahan yang tidak pernah berakhir. Pekerjaan dan tanggung jawab di rumah membuatnya semakin sulit untuk fokus pada pelajaran di sekolah.
Meski demikian, Pak Fauzan tidak pernah menyerah. Dia terus memberikan perhatian kepada Zaqi, memastikan bahwa setidaknya di sekolah, Zaqi merasa didukung. Setiap kali Zaqi absen atau tidak bisa mengerjakan tugas, Pak Fauzan selalu memberi pengertian. Namun, meskipun Pak Fauzan berusaha keras untuk membantu, nilai Zaqi terus merosot. Zaqi semakin tertinggal dalam pelajaran, dan tekanan hidupnya makin terasa berat.
Hingga pada suatu hari, keputusan yang berat harus diambil. Di akhir tahun ajaran, rapat dewan guru memutuskan bahwa Zaqi tidak bisa melanjutkan ke kelas berikutnya. Nilai-nilainya terlalu rendah, dan dia harus tinggal kelas.Â
Pak Fauzan merasa hancur hingga memutuskan untuk walk out dari ruang rapat hingga berteriak dan menangis di dalam toilet sekencang-kencangnya. Dia tahu betapa keras Zaqi berjuang, bukan hanya untuk sekolah, tetapi untuk hidup. Namun, aturan tetaplah aturan, dan Pak Fauzan tidak bisa berbuat banyak.
Setelah rapat itu, Pak Fauzan memanggil Zaqi untuk menemuinya di luar sekolah dimana tempat yang biasanya menjadi tempat curhat anak anak, di pinggir sungai dibawah pohon sambil meminum es kelapa muda. Kali ini, Pak Fauzan harus menyampaikan kabar yang sangat berat.
"Kii, Papi tahu ini sulit, tapi... kamu harus tahu bahwa Papi dan beberapa guru, hingga kepala sekolah sudah berusaha. Tapi keputusan hasil rapat adalah kamu harus tinggal kelas, Kii Papi minta maaf papi sudah gagal menjadi wali kelasmu, sudah gagal untuk mendidik kamu, papi sudah berjuang sekuat dan semampu papi untuk mempertahankan kamu" ujar Pak Fauzan dengan nada lembut, mencoba menguatkan hati Zaqi.
Zaqi tidak terkejut. Dia sudah merasakan bahwa hal ini akan terjadi. Dengan ekspresi datar, Zaqi menatap Pak Fauzan dan hanya mengangguk pelan.
"Ya, Pi. Zaqi paham. Terima kasih sudah berusaha untuk Zaqi, terimakasih sudah selalu membantu Zaqi, mengingatkan Zaqi, peduli dengan keluarga dan orang tua Zaqi. Tapi pi Zaqi minta maaf, Zaqi akan menginat semua orang sudah jahat terhadap Zaqi dan orang itu akan menyesal dikemudian hari" jawab Zaqi singkat.