Kuperhatikan kerutan demi kerutan di bawah bola matanya, seketika akupun tersenyum dan menoleh kearah cangkir kopi yang sudah dari tadi menemaniku dudu termangu.
 Kemudian mengangkatnya dan kembali mengarahkan pandanganku ke halaman rumah. Seketika secangkir kopi itu mulai kuseruput dan kembali meletakkannya ke atas meja, yang turut diikuti oleh bunda yang melihat ke arah halaman rumah.
 "Betul kata Bunda. Dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Malah akan menambahi masalah saja bunda." Ucapku
 Mendengar ungkapanku kulihat bunda tersenyum. Dan kembali berkata,
 "Ya sudah, kamu harus lebih sabar. Mungkin ada sebagian oknum yang memanfaatkan kamu dan semua rekan - rekan kamu. Tapi, kamu juga harus melihat sisi yang lain. Yaitu dari kemanusiaannya.Â
Kamu menolong orang, iklas dan tak mengharapkan imbalan sepeserpun atas tindakan kamu. Itu sebuah anugerah lebih pemberian Allah SWT. Kepada kamu. Jadi itu juga harus kamu pikirkan, agar sesak di dalam dadamu bisa hilang." Sembari meletakkan tangannya di dadaku.
 "Kemanusiaan tidak boleh berhenti, hanya karena ulah segelintir orang yang mencari kesempatan untuk memperkaya dirinya. Dan bunda harap, kamu harus lebih bijak lagi untuk bersikap. Jangan gunakan amarah. Karena yang namanya amarah hanya akan melahirkan duka dan kekecewaan di berbagai pihak.Â
Jadi kamu harus bijak dalam bersikap. Jujur bunda dan bapak bangga, punya anak yang mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Maka dari itu, teruslah berjuang dan jangan perna sekali pun padam." Tambah bunda.
 Aku hanya dapat memperhatikan bunda, sembari mendengarkan nasehatnya.Â
 Sore hari itu membuatku mengerti bahwa, mau apapun masalahnya, kemanusiaan tidak boleh berhenti. Biarkan proses hukum berjalan, tapi kemanusiaan juga tetap harus berjalan.
 Dan di hari ini. Adalah hari di mana itu semua harus ku jalankan dan kembali kuperjuangkan. Bibit - bibit kemanusiaan yang selama ini kutanam tak boleh mati layu karena ulah kepentingan segelintir orang.Â