Di tengah badai yang sedang menerpurukanku, aku tetap ingin berdiri tegak selayaknya laki - laki. Yang tak akan tumbang, dan tak akan goyah hanya karena sebuah ujian dari Tuhan. Terasa baru kemarin, aku duduk di bangku kuliah dengan kursi cokelat yang langsung ada meja lipat nya. Dan baru kemarin, ku pilih mundur dan tak meneruskan kuliah hanya karena tak ingin membebani orang tua.Â
 Kejadian itu begitu cepat, begitu beruntun. Sepertinya Tuhan sedang menguji keimanan sebagai hambanya yang paling angkuh dengan setiap ucapannya. Yang di mana aku selalu bilang, "tak ingin hidup merepotkan orang tua. Tak ingin kuliah, dengan biaya orang tua. Aku masih muda, aku bisa mencari jalanku sendiri." Tapi, tangan Tuhan menyampaikan takdirnya bahwa ia menginginkan untuk menguji keimananku.
 Aku masih duduk di depan gerobak Siomay yang kini selalu menemaniku. Menjadi ladang untuk memperoleh rezeki walau itupun kecil, aku tetap mensyukurinya. Hingga berhentilah sebuah motor gede menurutku, laki - laki itupun membuka Helm nya.Â
 "Oi, kau bro yang jualan. Aku kira siapo?" Ucapnya santai.
 Kuperhatikan dengan teliti, ternyata itu Sandro, temanku waktu duduk di bangku SMA dulu. Kira - kira 7 Tahun ke belakang. Ternyata dia sudah menjadi Polisi, begitu bangga aku melihatnya.Â
 "Oi kamu San. Tugas di mano kamu? " Ucapku sembari menghampirinya.
 "Aku tugas di Polsek pucuk.  Oi au, aku minta esnyo. Berapoan?" Tanya nya. Â
 "Murah, cuman Rp.3.000 bae."Â
 "Aku minta sikok, bungkus." Ucapnya.Â
 "Oke." Aku yang mulai membuatkan pesanannya.Â
 "Oi au Can. Seminggu agi kan diadoke temu kangen angkatan ke-2 SMA kito dulu. Kau dateng dak? Hm! Sekalian bae bawak gerobak kau, yakin laris agek di sano. Yakinlah! Hehe" Ucapnya enteng.Â