Mohon tunggu...
Idris Sarong Al Mar
Idris Sarong Al Mar Mohon Tunggu... Dosen - Berjiwa Membangun

Amati, Kerjakan, Laksanakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meretas Road Map MoU Helsinki, Akankah Aceh Mampu Bertahan?

29 Agustus 2019   10:44 Diperbarui: 31 Agustus 2019   02:32 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penulis : Idris Sarong Al Mar

MoU Helsinki (asli dalam bahasa Inggris) adalah sebuah perjanjian tingkat internasional antara RI dan GAM yang diinisiasi Martti Ahtisaari mantan Presiden Finlandia/Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, yang dirundingkan di kota Helsinki Ibukota negara Finlandia (Eropa); merupakan perjanjian damai yang dibuat dan ditandatangani oleh Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud masing-masing mewakili Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dengan disaksikan Martti Ahtisaari pada hari Senin, 15 Agustus 2005, guna mengakhiri sengketa (seperti api dalam sekam) selama 32 tahun antara Aceh dan Republik Indonesia.

Atas dasar perjanjian Helsinki yang telah ditandatangani bersama tersebut, secara garis besarnya terdiri atas 6 (enam) kesepakatan: (i) Penyelengaraan Pemerintahan di Aceh, (ii) Hak Asasi Manusia, (iii) Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, (iv) Pengaturan Keamanan, (v) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan (vi) Penyelesaian perselisihan.

Berdasarkan pandangan penulis ada dua hal yang cukup krusial untuk coba direpleksikan kembali agar diketahui bersama oleh masyarakat dunia.

Pertama, mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, RI telah melakukan regulasi untuk pemerintahan Aceh, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan kerja sama internasional.

Dalam MoU Helsinki disebutkan Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan.

Dalam Undang-undang Pemeritahan Aceh disebutkan kerja sama dengan lembaga atau badan luar negeri dilakukan dengan berpartisipasi langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.

Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. Dalam hal diadakan kerja sama internasional, dalam naskah kerja sama tersebut.

Dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di bidang pergerakan Ekonomi, berdasarkan MoU Helsinki disepakati, bahwa Aceh:

  • berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia);
  • berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh;
  • akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh;
  • berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh;
  • melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh;
  • akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya;
  • akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.

Selain daripada itu: Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.

Kedua, mengenai Penyelesaian perselisihan. Berdasarkan MoU Helsinki disepakati: Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:

  • Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
  • Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
  • Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa MoU tersebut dibuat di Finlandia, bukankah cukup dirundingkan di Indonesia, bukankah gerakan yang disebut oleh Pemerintah RI sebagai gerakan separatis, antara anak dan bapak, masalah keadilan, dan permasalahan dalam negeri Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu mempelajari sejarah lahirnya Negara Indonesia merdeka. 

Bahkan sebelum Indonesia merdeka, Aceh adalah subuah negara merdeka dan berdaulat, dan diakui oleh dunia; pengakuan kedaulatan Aceh dapat dirujuk dari "Traktat London" (London Treaty) yang ditandatangani Kepala Negara Belanda Ratu Wilhelmina dan Kepala Negara Inggris Ratu Ellizabeth pada waktu itu. Namun di pihak lain dengan politik tingkat tinggi dan bujuk rayu Soekarno kepada Tgk. Daud Beureueh pada 1945 akhirnya Negeri Aceh Darussalam yang kaya akhirnya melebur menjadi bagian dari Negara Indonesia merdeka.

Dalam perjalanan sejarah daerah Aceh merasa cukup miris, terus-terusan ditipu oleh Pemeritah Pusat di Jawa sejak Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid sampai Megawati, maka klimaks dari semua itu timbullah perlawanan baru, yang disebut Gerakan Aceh Merdeka atas kendali Tgk. Muhammad Hasan Ditiro (Hasan Tiro) yang berkedudukan di Stockholm, Swedia.

Setelah peristiwa gempa tsunami yang sangat dahsyat di Aceh pada akhir 2004, permasalahan Aceh yang berseteru dengan Pemerintah Indonesia dibawa ke tingkat internasional. 

Mengapa Finlandia yang dipilih oleh para pihak, karena Negara Finlandia di samping bagian dari masyarakat Uni Eropa, juga sebagai negara yang menganut politik netral, makmur dan juga adil, seperti Swedia, dan lain-lain negara di benua Eropa; dan supaya permasalah Aceh diketahui oleh dunia internasional.

Kini perjalanan MoU Helsinki memasuki tahun ke-14. Dalam acara Diskusi Publik yang diselenggarakan di Jakarta pada 14 Oktober 2019 dengan tema "Memaknai Perdamaian Aceh, 14 Tahun MoU Helsinki RI dan GAM, Akankah Perdamaian Aceh Mampu Bertahan?"

Diskusi yang dihadiri oleh masyarakat Aceh di Jakarta dan sekitarnya, menampilkan nara sumber dari berbagai kalangan, yaitu Dr. Sofyan A. Djalil, MA, M.ALD (Tokoh Aceh/Menteri Agraria dan Tata Ruang R.I.), Mr. Juha Christinsen (Pengamat dan Pendukung Perdamaian Aceh), Prof. Dr. Hafidz Abbas (Peneliti HAM), H. Fahrul Razi, M.IP (Senator DPD-RI Dapil Aceh), Muhammad Nazar, S.Ag (Aktivis SIRA/Mantan Wagub Aceh), dan Muhammad Daud Beureueh (KKR Aceh).

Kesimpulannya antara lain:

  • Di tingkat internasional perdamaian Aceh -- RI merupakan perdamaian yang hebat (luar biasa), beda dengan yang lain-lain;
  • Butir-butir kesepakatan dari MoU tidak seluruhnya dimasukkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh; Materi yang ditampung dalam undang-undang masih belum semua dilaksanakan, dari 17 point yang ditampung baru 1 (satu) point yang terlaksana. Yang 16 point lagi di luar undang-undang berjalan secara tarik ulur oleh Pemerintah RI, seperti kata pepatah: "mata pisau dikasih, tapi gagang tetap dipegang;"
  • Dana otonomi khusus Aceh tidak mencapai 100 trilyun (persisnya hanya 96 trilyun) dari yang diambil dan dibawa ke Jakarta mencapai + 4000 trilyun;
  • Dengan adanya MoU Helsinki telah melahirkan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang bertugas di antaranya mengungkap
  • pelanggaran masa lalu, mengungkap kebenaran, pengambilan putusan dan membuat pernyataan tentang hak-hak korban. Peradilan untuk pelanggaran HAM berat masih jauh panggang dari api;
  • Kalau mau damai pahami konflik. Apa yang sudah ditulis harus dilaksanakan karena sudah tercantum dalam perjanjian (MoU);
  • Walaupun UU Pemeritahan Aceh sudah diundangkan, namun tidak semua materi yang disepakati dalam MoU ditampung dalam UU tersebut. UU RI tidak bisa mengesampingkan MoU  Hesinki, ia berlaku sepanjang masa sampai RI dan GAM melaksanakannya.
  • Negara-negara Uni Eropa dan ASEAN berkomitmen terus memantau pelaksanaan MoU Helsinki.
  • Mahasiswa asal Aceh yang ada di perantauan sangat diharapkan peranannya, kalau bisa membentuk Tim Pemantauan Pelaksanaan MoU Helsinki oleh Pemerintah RI.

*** (Penulis, Mahasiswa Pascasarjana di High School of Law “IBLAM”).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun