Mohon tunggu...
Idris Sarong Al Mar
Idris Sarong Al Mar Mohon Tunggu... Dosen - Berjiwa Membangun

Amati, Kerjakan, Laksanakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meretas Road Map MoU Helsinki, Akankah Aceh Mampu Bertahan?

29 Agustus 2019   10:44 Diperbarui: 31 Agustus 2019   02:32 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kedua, mengenai Penyelesaian perselisihan. Berdasarkan MoU Helsinki disepakati: Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:

  • Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
  • Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
  • Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa MoU tersebut dibuat di Finlandia, bukankah cukup dirundingkan di Indonesia, bukankah gerakan yang disebut oleh Pemerintah RI sebagai gerakan separatis, antara anak dan bapak, masalah keadilan, dan permasalahan dalam negeri Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu mempelajari sejarah lahirnya Negara Indonesia merdeka. 

Bahkan sebelum Indonesia merdeka, Aceh adalah subuah negara merdeka dan berdaulat, dan diakui oleh dunia; pengakuan kedaulatan Aceh dapat dirujuk dari "Traktat London" (London Treaty) yang ditandatangani Kepala Negara Belanda Ratu Wilhelmina dan Kepala Negara Inggris Ratu Ellizabeth pada waktu itu. Namun di pihak lain dengan politik tingkat tinggi dan bujuk rayu Soekarno kepada Tgk. Daud Beureueh pada 1945 akhirnya Negeri Aceh Darussalam yang kaya akhirnya melebur menjadi bagian dari Negara Indonesia merdeka.

Dalam perjalanan sejarah daerah Aceh merasa cukup miris, terus-terusan ditipu oleh Pemeritah Pusat di Jawa sejak Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid sampai Megawati, maka klimaks dari semua itu timbullah perlawanan baru, yang disebut Gerakan Aceh Merdeka atas kendali Tgk. Muhammad Hasan Ditiro (Hasan Tiro) yang berkedudukan di Stockholm, Swedia.

Setelah peristiwa gempa tsunami yang sangat dahsyat di Aceh pada akhir 2004, permasalahan Aceh yang berseteru dengan Pemerintah Indonesia dibawa ke tingkat internasional. 

Mengapa Finlandia yang dipilih oleh para pihak, karena Negara Finlandia di samping bagian dari masyarakat Uni Eropa, juga sebagai negara yang menganut politik netral, makmur dan juga adil, seperti Swedia, dan lain-lain negara di benua Eropa; dan supaya permasalah Aceh diketahui oleh dunia internasional.

Kini perjalanan MoU Helsinki memasuki tahun ke-14. Dalam acara Diskusi Publik yang diselenggarakan di Jakarta pada 14 Oktober 2019 dengan tema "Memaknai Perdamaian Aceh, 14 Tahun MoU Helsinki RI dan GAM, Akankah Perdamaian Aceh Mampu Bertahan?"

Diskusi yang dihadiri oleh masyarakat Aceh di Jakarta dan sekitarnya, menampilkan nara sumber dari berbagai kalangan, yaitu Dr. Sofyan A. Djalil, MA, M.ALD (Tokoh Aceh/Menteri Agraria dan Tata Ruang R.I.), Mr. Juha Christinsen (Pengamat dan Pendukung Perdamaian Aceh), Prof. Dr. Hafidz Abbas (Peneliti HAM), H. Fahrul Razi, M.IP (Senator DPD-RI Dapil Aceh), Muhammad Nazar, S.Ag (Aktivis SIRA/Mantan Wagub Aceh), dan Muhammad Daud Beureueh (KKR Aceh).

Kesimpulannya antara lain:

  • Di tingkat internasional perdamaian Aceh -- RI merupakan perdamaian yang hebat (luar biasa), beda dengan yang lain-lain;
  • Butir-butir kesepakatan dari MoU tidak seluruhnya dimasukkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh; Materi yang ditampung dalam undang-undang masih belum semua dilaksanakan, dari 17 point yang ditampung baru 1 (satu) point yang terlaksana. Yang 16 point lagi di luar undang-undang berjalan secara tarik ulur oleh Pemerintah RI, seperti kata pepatah: "mata pisau dikasih, tapi gagang tetap dipegang;"
  • Dana otonomi khusus Aceh tidak mencapai 100 trilyun (persisnya hanya 96 trilyun) dari yang diambil dan dibawa ke Jakarta mencapai + 4000 trilyun;
  • Dengan adanya MoU Helsinki telah melahirkan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang bertugas di antaranya mengungkap
  • pelanggaran masa lalu, mengungkap kebenaran, pengambilan putusan dan membuat pernyataan tentang hak-hak korban. Peradilan untuk pelanggaran HAM berat masih jauh panggang dari api;
  • Kalau mau damai pahami konflik. Apa yang sudah ditulis harus dilaksanakan karena sudah tercantum dalam perjanjian (MoU);
  • Walaupun UU Pemeritahan Aceh sudah diundangkan, namun tidak semua materi yang disepakati dalam MoU ditampung dalam UU tersebut. UU RI tidak bisa mengesampingkan MoU  Hesinki, ia berlaku sepanjang masa sampai RI dan GAM melaksanakannya.
  • Negara-negara Uni Eropa dan ASEAN berkomitmen terus memantau pelaksanaan MoU Helsinki.
  • Mahasiswa asal Aceh yang ada di perantauan sangat diharapkan peranannya, kalau bisa membentuk Tim Pemantauan Pelaksanaan MoU Helsinki oleh Pemerintah RI.

*** (Penulis, Mahasiswa Pascasarjana di High School of Law “IBLAM”).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun