Trans 7
21%
79%
Global TV
2,72%
97,28%
Lativi
5,44%
94,56%
Sumber: Musayin Nazaruddin, Televisi dan Proyek Lupa dalamMasduki dan Muzayin Nazaruddin (ed), Media, Jurnalisme dan Budaya Populer (Cet. I; Yogyakarta, 2008), h. 116.
Dari tabel persentase di atas,dengan mengecualikan Metro TV dan TV One yang sebagian besar tanyangannya adalah berita, namun terlepas dari hal tersebut, kelihatan dengan jelas bahwa sebagian besar tayangan dari beberapa stasiun televisi di Indoensia adalah tayangan hiburan (entertainment).
Permasalahan yang muncul kemudian bukan pada tayangan hiburan yang mendominasi program televisi namun lebih pada content (isi) dari program-program hiburan tersebut. Sebagaimana yang disebutkan oleh Muzayin bahwa:
“sedikit cermat dan kritis, kita akan segera sepakat dengan kesimpulan menyedihkan: program-program tersebut (program hiburan, pen) mengajarkan kita tentang irrasionalitas, anti-realitas, budaya instan dan kekerasan. Sinetron-sinetron menggambarkan bagaimana anak umur duapuluhan sudah mengendarai Mercedes, memimpin beberapa perusahaan besar, mengajak kita bermimpi kosong sekaligus melupakan realitas kerja yang rumit dan penuh persaingan. Beberapa reality show yang dibungkus “kepedulian sosial” seperti Tolong dan Bedah Rumah mengarahkan mental kita untuk berharap dan meminta, melupakan bahwa problem kemiskinan jauh lebih kompleks, tidak mungkin terbantu –apalagi terselesaikan- dengan hanya membantu satu dua orang misin di bawah sorotan kamera. Berbagai kontes musik dan penyanyi menaburkan mimpi sekaligus pola pikir ‘instan’ generasi muda kita, melupakan realitas bahwa jalan menuju sukses harus ditempuh dengan kerja keras, tidak hanya bermodal cantik, suara agak lumayan, dan dukungan sms. Film-film yang kita tonton mengajarkan kita bahwa kekerasan adalah biasa. Sinetron-sinetron mistik mengajarkan bahwa cukup dengan berdoa atau bantuan jin masalah akan selesai dan kebenaran akan tampak, mengajak kita lupa bagaimana rumitnya mengatasi permasalahan hidup sehari-hari, bagaimana peliknya menegakkan kebenaran di negeri ini.”[2]
Apa yang diungkapkan oleh Muzayin tersebut di atas disebutnya sebagai penggiringan pada sikap irrasionalitas, anti-realitas, budaya instan, dan kekerasan. Hal ini perlu dicermati karena frequensi menonton di masyarakat cukup intens hal ini menjadikan televisi menjadi bagian yang sedikit banyak mempengaruhi pola pikir maupun watak masyarakat.
Lebih lanjut, Muzayin menyebutkan televisi adalah proyek lupa. Makusdnya adalah meskipun masyarakat mengomsumsi tanyangan berita, penonton digiring untuk lupa. Model pemberitaan yang mengikuti aktualitas, ibarat kutu loncat yang bergerak dari satu isu ke isu lainnya, hal ini menjadikan berita-berita yang disajikan menjadi dangkal dan miskin konteks. Sebagai contoh yang diberikan, model pemberitaan tersebut membuat masyarakat lupa nasib korban gempa Mei 2006 di Yogyakarta karena televisi tidak memberitakannya lagi, masyarakat lupa kabar penggemplangan BLBI yang merugikan negara trilyunan rupiah karena televisi tidak melipunya lagi, dan begitu seterusnya. Permasalahan bangsa yang diberitaan di media
beberapa waktu kemudian terlupakan karena tergerus oleh berita-berita lainnya yang lebih aktual.[3]
Dalam konteks kepemirsaan, televisi hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia ketika budaya baca belum mapan. Media massa lainnya seperti suarat kabar belum dikomsumsi secara merata di setiap lapisan masyarakat. Budaya baca yang ditanamkan di sekolah formal belum juga berhasil. Penertasi media televisi datang dalam kondisi tersebut justru menambah upaya membumikan budaya baca semakin terpotong.
Budaya baca masyarakat Indonesia terendah di antara 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data yang dilansir Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi. OECD juga mencatat 34,5 persen masyarakat Indonesia masih buta huruf.[4] Dalam kondisi masyarakat seperti itu, kehadiran televisi mempunyai pengaruh yang besar.
Menggunakan teori agenda setting yang percaya akan keperkasaan media massa untuk mendidik pikiran khalayak, yang tidak hanya menentukan mana yang penting, tetapi juga menentukan mana yang harus dipikirkan serta mana yang harus tidak dipikirkan. Kekuatan televisi terletak pada citra-cita audiovisual menarik yang dihadirkan di tengah ruang keluarga, mulai masyarakat miskin perkotaan, masyarakat desa bersahaja, hingga kaum menengah ke atas di kota-kota besar. Kekuatan televisi semakain tidak terbendung ketika budaya baca masyarakat rendah[5]
Permainan agenda setting yang kerap muncul dalam tayangan di televisi membuat masyarakat, sebagai contoh, kagum dengan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, sehingga disebut sebagai pahlawan baru. Hal ini karena televisi mengarahkan pandangan pada sosok profil Obama sebagai pahlawan baru, kemudian melupakan konflik berdarah Palestina ataupun Afganistan, masalah perekonomian liberal Amerika yang tengah terpuruk, pendidikan yang mengalami keterpurukan, pengangguran, kemiskinan di kota-kota besar dan sebagainya. Belum lagi model berita infotainment yang menayangkan profil tokoh ini, maka dicarilah teman Obama di Indonesia, disangkutpautkan sedemikian rupa, dicari foto teman waktu SD, guru, dan sebagainya. Hal ini dapat mendominasi isi program berita televisi, sehingga secara sadar tak sadar menggiring masyarakat untuk lupa pada persoalan bangsa sendiri.
Infotaintment merupakan salah satu program favorit televisi, maka tak heran ada stasiun televisi menyiarkan acara tersebut tiga kali sehari. Infotaintment merupakan program berita yang dikemas dengan berita-berita ringan menghibur dari tokoh terkenal, figur publik ataupun artis/aktor. Meskipun tetap menjadi pertanyaan apakah sosok terkenal tersebut oleh karena pencapaian prestasi ataukah terkenal hanya karena sensasi belaka.
Tayangan Infotaintment pada umunya menyuguhkan masyarakat dengan berita perselingkuhan, perceraian, hamil di luar nikah, konflik rumah tangga, bahkan acara makan siangpun diliput. Dan si tokoh pun hadir di televisi selama beberapa pekan bahkan berbulan-bulan. Jika ditarik lebih jauh, apakah manfaat dari tanyangan tersebut, kecuali hanya untuk pergunjingan dan bahan gossip belaka.
Menjadi menarik untuk dipertanyakan kenapa acara infotaintment ataupun program lainnyadigemari dan memiliki jumlah penonton yang cukup banyak. Menurut Yasraf A. Piliang, layar adalah bujukan dan perangkap, yang di dalamnya subjek menemukan lukisan dirinya, tetapi lukisan itu adalah lukisan palsu, yakni lukisan yang lain, yang digunakan untuk melukiskan dirinya sendiri, melalui identifikasi, sehingga subjek tidak pernah mendapatkan subjektivitasnya yang benar (the true subject). Melalui layar televisi, subjek mengidentifikasi diri dengan seorang tokoh publik, dengan menganggap lukisan diri sang bintang itu sebgaai lukisan dirinya, melalui mekanisme suture. Layar tidak saja menjadi aneka citra yang dapat dilihat, tetapi citra-citra itu aktif memanggil yang menonton sebagai subjek, dengan memberinya penamaan, label atau kategori sosial. Suture memberikan hubungan sebuah posisi antara penonton dan objek tatap.[6]
Dari gambaran di atas, aktifitas menonton infotaintment misalnya, merupakan sebuah proses identifikasi diri terhadap objek tatapan. Melalui acara tersebut, objek tatapan misalnya artis yang bercerai dilihat sebagai sebuah proses identifikasi diri atau sebuah pembandingan antara si penonton dan si artis. Hal ini menjadikan aktifitas menonton dapat juga diartikan sebagai mengawasi, mengontrol, membandingkan, memberikan penilaian, dan mendefinisikan. Jadi tak heran ketika sambil menonton, pemirsa juga umunya memberikan penilaian dan komentar.
Dominasi televisi menjadi tak terhalang ketika berhadapan dengan penonton anak-anak maupun remaja. Dengan tingkat literasi televisi dan emosi yang rendah dan labil, visualisasi televisi secara langsung menerpa anak-anak maupun remaja, selanjutnya menjadi endapan motivasional dan emosional. Perilaku, gaya berpakaian, gaya bicara, tutur kata, dan gaya hidup anak dan remaja berasal dari kosakata yang mereka dengar atau tonton di televisi entah dari iklan, infotaintment, sinetron ataupun film.[7]
Dengan kekuatan televisi yang begitu besar, televisi tengah menjalankan fungsi-fungsi pendidikan, yaitu pewarisan nilai, sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Dengan kata lain, orang belajar hidup, membaca realitas, menyerap nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan, semuanya dari televisi. Televisi telah menjadi hidden curriculum. Menurut Muzayin, televisi telah menjadi pendidik namun pendidik yang bebal.Televisi mengajarkan kehidupan namun pendidik ini hanya tahu satu hal yakni akumulasi modal, tidak berkepentingan dalam menjalankan fungsi edukatif-informatif, kalaupun itu hal tersebut muncul hanya sekedar efek samping bukan intensi yang dikejar.[8]
Peran televisi yang berorientasi mengejar keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan fungsi edukatif-informatif perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. Konteks dimana orientasi pasar (market oriented), sebagai buah dari neoliberalisme yang pemerintah Indonesia anut saat ini meski tidak secara terang-terangan, mengalami masa kemenangannya. Dalam era kemenangan pasar dimana regulasi tidak lagi dilakukan oleh negara namun oleh pasar itu sendiri demi melebarkan jalan akumulasi modal. Hal ini menjadikan televisi menjadi bebas dalam membuat program tayangan demi kepentingan bisnis. Parameternya adalah rating dan pemasangan iklan, dua hal yang saling mendukung.
Televisi sebagai bagian dari kepentingan kapitalis global, terus menciptakan pola-pola kehidupan yang mengarahkan pada gaya hidup komsumtif, ataupun life style yang bertolak belakang dengan akar budaya maupun nilai-nilai Islam. Kehadiran televisi pada akhirnya menjadi tolok ukur gaya hidup terkini, gaya hidup yang mengarahkan pada perilaku komsumtif.[9] Meskipun hubungan tersebut tidak secara langsung namun televisi dianggap sebagai raison d’etre terhadap kondisi sosial tersebut. Karena televisi merupakan media tempat pengetahuan, budaya populer, iklan, film maupun sinetron berjejalan.
Dalam sebuah slogan yang menjadi tema sebuah iklan produk kecantikan transnasional misalnya disebutkan “hidupku takkan berubah sebelum aku merubahnya'’. Dalam iklan ini dilustrasikan seorang remaja yang murung namun keadaan berubah sesaat setelah remaja tersebut menemukan “cara baru yang belum pernah aku lakukan sebelumnya” yakni dengan memakai produk kecantikan, dan akhirnya “membuat hari-hariku lebih menyenangkan”.[10] Sesaat iklan tersebut jika disimak tidak ada masalah, namun perlu dicermati bahwa iklan tidak hanya memasarkan produk namun lebih dari itu iklan adalah tawaran nilai-nilai.
Nilai adalah sesuatu yang menafsirkan apakah suatu hal itu baik atau buruk, cantik atau jelek, bagus tidak bagus, sopan tidak sopan ataupun benar atau salah. Nilai merajuk pada cara dimana seorang individu mengadopsi perilaku dan nilai-nilai di suatu kelompok. Berkaitan dengan iklan produk kecantikan dimana dalam seorang remaja yang semula berpakain tertutup sopan menurut adat kebiasaan di Indonesia namun setelah memakai produk tersebut remaja tersebut memakai kostum setengah dada. Dari titik ini penting untuk dipahami bahwa iklan mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan tentang suatu nilai. Karena iklan itu ditayangkan untuk khalayak umum, maka dapat dipersepsikan apa yang ditampilkan di televisi adalah suatu hal yang benar, dan bisa dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain persepsi menjadi cantik, ceria, gaya hidup remaja, dan “membuat hari-hari lebih menyenangkan” dikonstruk seperti yang ada di iklan.
Pengaruh televisi bekerja secara halus dan tidak tersadari. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya televisi berperan dalam membentuk gaya hidup, pandangan sosial tentang bagaimana seharusnya remaja itu, dan mitos-mitos modern termasuk mitos cantik.Dan perlu digaris bawahi bahwa televisi adalah sekumpulan relasi kepentingan, pemilik modal, industri produk kecantikan, industri pakaian dan lain sebaginya yang jelas memiliki kepentingan terhadap produk-produknya. Kepentingan ini kemudian membentuk mitos modern yang menafikan prinsip perbedaan dancenderung rasial.[11]
Menurut Adona bahwa dalam banyak program televisi termasuk iklan, mengandung sifat ideologis dan rasialis meskipun bentuknya sangat halus.[12] Rasisme (racism) merupakan paham yang membenarkan ketidaksamaan sosial, eksploitasi dan peperangan di antara orang-orang yang pada kenyataannya termasuk ras yang berbeda. Rasisme mereduksi kodrat sosial manusia pada cara ciri-ciri biologis dan rasial mereka, dan secara sewenang-wenang membagi ras itu ke dalam ras-ras yang “unggul” dan “lebih rendah”. Rasialisme menekankan perbedaan ras atau warna kulit (suku bangsa); sistem pengkotak-kotakan suku bangsa atau warna kulit.
Dalam The Blakcwell Dictionary of Modern Social Thougt disebutkan bahwa:
“Rasisme adalah gagasan Eropa, yang dipakai pada 1930-an untuk menunjukkan keyakinan dan praktik rezim Nazi Jerman, praktik yang didasarkan pada anggapan keunggulan ras ‘Arya’, pentingnya ‘kemurnian’ rasial dan kebijakan ‘pemurnian’ yang berpuncak pada horor Holoucast. Dalam kasus ini, rasisme diarahkan terutama (tetapi bukan hanya) terhadap Yahudi. Ide dibalik permusuhan ini menjadi sistem klasisfikasi ‘ras’ berdasarkan perbedaan susunan biologis yang dianggap memengaruhi kualitas moral dan kultural. Kemudian ‘rasisme’ digenaralisasikan untuk menujukkan ide perbedaan kelompok superior/inferior lainnya, umumnya berkaitan dengan relasi kulit putih/kulit hitam di Afrika Selatan, AS dan Eropa Barat”[13]
Dalam konteks umat Islam, mesti disadari bahwa media massa khususnya televisi mempunyai dampak destruktif yang dapat melanda keluarga muslim. Menurut Masduki dampak tersebut terlihat pada dua hal yakni aspek kehadiran dan isi. Masduki menengarai bahwa terjadi perubahan penjadwalan kegiatan sehari-harikeluarga. Sebagai contoh, waktu selepas maghrib yang biasanya digunakan anak-anak muslim untuk mengaji dan belajar agama berubah menjadi menonton acara yang kebanyakan tidak bermanfaat bahkan merusak. Sementara para remaja dan orangtua selepas bekerja atau sekolah kebanyakan memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Bagi Masduki televisi dapat menjadi sarana dakwah asal dikemas dan dirancang sesuai dengan nilai-nilai Islami.[14]
Lebih lanjut diungkapkan oleh Masduki bahwa secara isi televisi tidak berusaha untuk ikut mendidik bangsa dan umat Islam dengan menokohkan para ulama ataupun ilmuan serta orang-orang yang mendorong kemajuan bangsa. Sebaliknya televisi justru mengidolakan tokoh yang terus menerus diekspos dan ditampilkan sebagai selebiti dengan gaya hidup borjuis, menghamburkan uang (tabzir) dan lain sebagainya.[15]
Apa yang diungkapkan oleh Masduki dapat dikatakan sebagai cermin realitas televisi yang ada di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan ketika banyak keluarga mengalami disoriebtasi bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu cocok dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial budaya Indonesia. Sebagai contoh, gaya hidup hedonistic, materialistic; dan permissive sebagaimana banyak ditanyangkan dalam serial sinetronhanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumah tangga.
Bentuk lain dari pengaruh televisi yakni pada bentuk relasi sosial.Contoh yang sederhana bisa dilihat penggunaan ungkapan-ungkapan atau idiom-idom dalam perbincangan sehari-hari. Idiom ataupun ungkapan tersebut seperti “ya iyalah masa ya iya dong”, “so what gitu loh”, “gayanaji”, “ga segitunya kale”, “wong deso, “lebay”, “alay”” dan sederet ungkapan lainnya. Sebagian besar ungkapan tersebut terambil dari media populer termasuk televisi dan sekarang di saat penggunaan internet semakin merata memungkinkan bentuk ungkapan, idiom ataupun komunikasi secara luas menjadi lebih rumit.Lebih jauh, ungkapan-ungkapan tersebut bukan tidak memiliki nilai tapi mengandung nilai ideologis yang disadari dan tidak disadari ketika digunakan.
Pada suatu waktu, kebetulan penulis pernah menyimak perbincangan seorang ibu dengan anak perempuannya. Dalam perbincangannya tersebut si Ibu bertanya kepada anaknya untuk memastikan sesuatu, si anak tanpa tedeng aling-aling menjawabnya dengan ungkapan “ya iyyalah” dengan suara ditekan. Sejenak tidak ada masalah dengan ungkapan tersebut. Namun bila dicermati lebih dalam terlebih ketika menghubungkannya atau menempatkannya dalam jaring nilai budaya ataupun dengan ajaran Islam, akan tampak ungkapan tersebut lebih cenderung pada ungkapan yang –dalam bahasa Bugis disebut- “mabbali-bali”, yakni sebuah bentuk komunikasi yang tidak etis. Padahal dalam Islam, sebagai contoh, diajarkan untuk menghormati orang tua dan berkata lembut kepadanya.
*4Ó|Ós%ury7/uwr&(#ÿrßç7÷ès?HwÎ)çn$Î)Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur$·Z»|¡ômÎ)4$¨BÎ)£`tóè=ö7tx8yYÏãuy9Å6ø9$#!$yJèdßtnr&÷rr&$yJèdxÏ.xsù@à)s?!$yJçl°;7e$é&wur$yJèdöpk÷]s?@è%ur$yJßg©9Zwöqs%$VJÌ2ÇËÌÈ
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.[16]
Kembali pada persoalan televisi, salah satu tanyangan televisi yang memiliki jumlah pemirsa yang cukup banyak yakni sinetron atau sinema elektronik. Bagi penulis, sebagian besar sinetron tidak memberikan kontribusi positif pada nilai pendidikan. Sebagai contoh, sinetron yang menyajikan kisah cinta dengan latar (field) di sekolah baik latar SMA, SMP, bahkan sudah ada yang berlatar SD. Dalam sinetron yang bergenreanak sekolahan dan kisah cinta remaja tersebut, aktivitas pendidikan mendapat porsi yang sangat minim, bahkan dinomorduakan. Yang ada hanyalah sikap dan tingkah laku siswa yang terkadang melecehkan guru dan institusi sekolah. Hal tersebut bagi penulis merupakan bentuk eksploitasi terhadap lembaga pendidikan, sekaligus mencurigai bahwa tayangan-tayangan yang bergenre sekolahan tidak memiliki motif lain selain motif kapital. Perlu diingat bahwa anak sekolah adalah pangsa pasar yang menggiurkan. Tak heran jika produk shampo sampai handphone beriklan dengan memakai anak sekolah sebagai bintangnya.
Televisi sebagai institusi merepresentasikan sekaligusmembentuk realitas tersendiri tentang pendidikan; televisi sebagai sebuah teks kultural.[17] Sebagaimana dipahami bahwa teks merepresentasikan sekaligus pada saat yang bersamaan menciptakan realitas baru. Hal ini bisa berarti apa yang ditayangkan televisi merupakan potret atau representasi dunia sekeliling. Sehingga ketika televisi menayangkan film percintaan remaja di sekolah, hakikatnya juga gambaran realitas tentang dunia itu. Sama halnya ketika televisi menayangkan kekerasan yang dibalut dalam kemasan berita kriminalitas, juga merupakan gambaran tentang dunia yang penuh kekerasan.Sebagai contoh, berpacaran dalam salah satu kultur masyarakat dianggap sangat tabu bahkan dilarang. Kini di tengah masyarakat hal tersebut dan bagi sebagian orang sudah dianggap biasa saja, bahkan sebagian remaja menganggapnya aneh kalau tidak memiliki pasangan alias jomblo.[18] Artinya dalam masyarakat telah terjadi pergeseran nilai yang pergerakannya tidak disadari bagi sebagian orang. Paling tidak, hal ini bisa dijelaskan dengan memimjam konsep habitus dari Pierre Bordieu, yang mana konsep tersebut digunakan untuk menjelaskan praktik sosial.
Habitus dalam pengertian Bourdieu sebagaimana yang dikutip oleh Bagus Takwim yakni,
“...suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.”[19]
Dengan habitus ini, yang mana merupakan struktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas sosial, individu menggunakannya dalam berurusan dengan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial.
Secara sederhana, habitus merupakan referensi skema-skema dalam bertindak. Karena dalam perjalanan hidup manusia, ia memiliki sekumpulan skema yang terinternalisasi dan dengan skema tersebut dipakai untuk mempersepsi, memahami, menghargai serta mengevaluasi realitas sosial. Berbagai macam skema tercakup dalam habitus, seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, indah-jelek dan sebagainya.
Konsep pacaran seperti yang dibicarakan sebelumnya juga masuk dalam skema habitus ini. Skema ini membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan individu dalam hidup kesehariaanya bersama dengan orang lain. Dihubungkan dengan televisi, konsep pacaran mengambil rujukan pada apa yang ditampilkan di televisi dengan sinetron atau filmnya, dan secara sadar tak sadar konsep tersebut terinternalisasi dalam struktur kognitif (habitus) pemirsa. Dapat dibayangkan betapa tayangan tersebut terus menerus di[per]tonton[kan] sehingga menjadikannya sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah dari sananya” (taken for granted).
[1]Nurul Himawan, Kekerasan Simbolik dalam Tayangan Televisi dalam Suara Karya Online http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=180893