[2]Muzayin Nazaruddin, Televisi dan Proyek Lupa dalamMasduki dan Muzayin Nazaruddin (ed), Media, Jurnalisme dan Budaya Populer (Cet. I; Yogyakarta, 2008), h. 119.
[3]Ibid, h. 119-120.
[4]http://www.antaranews.com/view/?i=1245246093 (19 Oktober 2010).
[5]Muzayin Nazaruddin, Televisi dan Pendidikan Nasional ..., h. 78-79. Teori Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah: (1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu; (2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain. Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal."Pers mungkin tidak berhasil banyak waktu dalam menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa" (Bernard C. Cohen, 1963). http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Penentuan_Agenda (18 Oktober 2010).
[6]Yasraf Amir Piliang,Multiplitas dan Diferensi...,h. 264.
[7]Muzayin Nazaruddin, Televisi dan Pendidikan Nasional…, h. 79.
[8]Ibid., h. 79-80.
[9]Kehadiran televisi menjadi referensi life style yang pada akhirnya cenderung membuat perilaku komsumtif. Hal ini bisa dipahami lewat bagaimana kapitalisme bekerja. Lihat, Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture dialihbahasakan oleh Abdul Mukhdi Popular Culture; Pengantar Menuju Budaya Populer (Cet. II; Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2004), h. 264-272. Psikoanalisis postruktural Jaques lacan menawarkan sebuah model pemikiran kritis mengenai komsumsi. ‘Ideologi komsumerisme’ bekerja dengan cara seperti ‘ideologi roman’. Ideologi roman adalah sebuah narasi yang terbangun di seputar suatu pencarian: ‘cinta’ adalah solusi bagi semua problem; ‘cinta’ membuat kita lengkap; ‘cinta’ yang membuat kita penuh; ‘cinta’ membuat kita utuh. Seperti pencarian akan ‘cinta’, komsumsi mengisyaratkan ketidaklengkapan; suatu yang hilang. Dan dari persfektif psikoanalisis lacanian, di dalam kedua ideologi itu apa yang hilang adalah sama: tubuh ibu. Menurut Lacan, pergerakan dari yang ‘imajiner’ ke yang ‘simbolik’ adalah pergerakan dari dunia ‘penuh’tubuh sang ibu menuju dunia ‘kosong’ bahasa dan ‘kedirian’. Yang jelas,ini merupakan transisi yang dialami sebagai kehilangan. Dulunya kita utuh, lengkap, sebelum ada konstruksi pemahaman akan ‘diri’ yang terpisah (yakni terpisah dari sang ibu). Akibatnya kita menghabiskan keseluruhan hidup kita dengan mencoba kembali pada kepenuhan yang ‘imajiner’. Kita terlibat dalam sebuah pencarian yang tak berujung untuk kembali, namun memulainya justru dengan benda-benda pengganti, dengan perbagai strategi pengalihan. Seperti Terry Eagleton jelaskan, “dalam teori Lacanian, benda asli yang hilang-tubuh ibu-itulah yang memutar roda narasi kehidupan kita, memaksa kita untuk mencari pengganti bagi surgayang hilang di dalam pergerakan hasrat metonomik yang tak kunjung usai. Sehingga komsumsi adalah jawaban bagi semua problem kita; komsumsi bakal membuat kita utuh lagi; komsumsi akan membuat kita lengkap lagi; komsumsi akan mengembalikan kita paa kondisi ‘imajiner’ yang diliputi kebahagian. Lihat John Storey, Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods dialihbahasakan oleh Layli Rahmawati, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (Cet. III; Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 145-146.
[10]Klip iklan tersebut dapat dilihat dalam http://www.youtube.com/watch?v=k24tEJbdtuk (27 Oktober 2010).
[11]Pakem cantik diimajinasikan dan disimboliskan televisi dengan kehadiran iklan-iklan produk kecantikan. Hal ini juga bisa diperhatikan di sinetron (opera sabun), film, dan bahkan pada pembawa berita sekalipun, bahwa yang dianggap menarik, gagah, pintar, cantik, dan anggun dicitrakan dan direpresentasikan dengan yang memiliki rambut lurus, tubuh langsing, berkulit putih dan ikut model trendy dan sebagainya. Keluar dari pakem tersebut dianggap tidak cantik, tidak anggun, kurang menarik. Padahal kecantikan adalah bentukan sosial. Di salah satu wilayah daratan Cina mempunyai konsep kecantikan yang cukup unik dan berbeda, bahwa yang cantik justru tubuh yang mengandung banyak lemak alias gemuk bukan yang langsing/kurus. Dan masih banyak lagi konsep tentang cantik yang berbeda dengan pakem sekarang yang bisa dilihat di beberapa kawasan di Afrika, Amerika Latin pedalaman, dan bahkan etnik/suku yang ada di Nusantara juga mempunyai konsep cantik tersendiri. Terlepas bagaimana tujuan iklan yakni memasarkan produknya, namun kenyataannya hal tersebut telah membuat rasisme tubuh (sekaligus narsisme) dan membentuk mitos-mitos cantik. Untuk lebih jauh memahami mitos-mitos budaya populer termasuk mitos kecantikan bisa dilihat pada, Roland Barthes, Mythologies dialihbahasakan oleh Ikramullah Mahyuddin, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa; Semiotika atau Semiologi Tanda, Simbol, dan Representasi (Cet. II; Yogyakarta: Jalasutra, 2007).
[12]Lebih lanjut Fitri Adona, Ideologi Asing dalam Iklan Televisi: Dampak Penggunaan Sumberdaya dan Fasilitas Asing, dalam http://donna.polinpdg.ac.id/content/view/83/58/ (5 Februari 2010).