Mohon tunggu...
Idris Hasanuddin
Idris Hasanuddin Mohon Tunggu... Lainnya - Entah Aku jadi apa, asal... kecil disuka dan muda terkenal, tua kaya raya dan mati masuk surga

seorang yang mengharapkan Nusantara sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Televisi, Antara Kuasa dan Kepentingan di Indonesia

17 April 2011   12:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di sinilah, terlihat bagaimana korporasi media memiliki peran besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat harusnya bersikap. Monopoli di bisnis media berbahaya bagi demokratisasi karena adanya pengurangan hak publik memperoleh suatu berita atau informasi sesuai dengan kebutuhan dari publik itu sendiri. Seperti monopoli informasi, monopoli frekuensi, monopoli ekonomi (pendapatan), monopoli program acara yang dikhawatirkan homogen, serta pemanfaatan media-media tersebut untuk kepentingan pribadi bagi keuntungan pemilik semata.

Dari pergulatan media yang melibatkan jurnalis dan publik di satu sisi dan kapitalis (market) dan negara di pihak lain, adalah rekonstruksi relasi-relasi yang menghubungkan agen dan struktur (variasi market dan negara, atau keduanya). Wacana ruang pubik (publick sphere) misalnya, tidak cukup kuat untuk landing dalam teks isi media justru diruntuhkan oleh apa yang disebut Shiller dalam Mufid sebagai 'media imperialisme'. Dalam sistem negara otoriter, media massa dinafikan fungsinya sebagai pendidik dan pemberi informasi. Penguasa otoritatif mengarahkan media sebagai aparatus ideologi negara untuk kepentingan homogenisasi. Sedangkan dalam lingkup kekuatan kapitalisme, media merupakan alat produksi bagi kekuatan ekonomi tertentu.

Di indonesia, homogenisasi media oleh rezim Orde Baru dan kapitalis kronisnya dilakukan melalui berbagai kontrol. Paling tidak terdapat lima kontrol yang dilalkukan;

1. Kontrol preventif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain melalaui pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan ketentuan SIUPP) secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu.

2. Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan) melalui mekanisme seleksi dan regulasi (seperti keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah tunggal untuk megikuti P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol berupa penunjukan indvidu-individu untuk menduudki jabatan tertentu dalam media milik pemerintah.

3. Kontrol terhadap produk teks pemberitaan melalui berbagai mekanisme.

4. Kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopli kertas oleh penguasa.

5. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampulkan dalam pemberitaan pers.

Dalam konteks regulasi media penyiaran, akumulasi hegemoni tersebut tertuang melalui Undang-Undang Penyiaran Tahun 1997. Atas nama stabilitas nasional sebagai syarat terwujudnya pembangunan nasional, Orde Baru dan kroni kapitalis menenmpatkan media sebagai aparatus akumulasi kekuasaan dan keuntungan bagi kelanggengan razim. Pasal 7 UU No. 24 Tahun 1997 misalnya secara eksplisit menyatakan bahwwa, 'penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh negara".

Rezim Orde Baru dengan kapitalis mejadi menarik untuk dibahas, karena pada satu sisi kemunculan para kapitalis memang sengaja diciptakan oleh rezim sebagai bagian dari strtegi pemenuhan indikator pertumbuhan ekonomi yang merupakan sumber legitimasi penting rezim, namun pada sisi lain keterkaitan tersebut tersebut pada perkembangannya juga menyebabkan entitas delegitimasi bagi rezim kian menguat. Kontradiksi internal ini dikemudian hari justru menjadi penetu (significant other) bagi kejatuhan rezim.

Tumbangnya rezim orde baru tenyata tidak membuat demokratisasi penyiaran menjadi niscaya. Terdapat tarik menarik kepentingan antara kekuatan negara (Pememrinatah dan DPR), pasar (kapitalis), dan publik. Keseluruhan tarik menarik kepentingan masing-masing pihak tersebut semakin kuat terutama bila dikaitkan dengan momentum angin reformasi dan gelombang liberalisme media yang turut mendesak kuat agar regulasi penyiaran media era orde baru (UU penyiaran 24/1997) direvisi. Masing-masing berupaya agar regulasi baru tersebut secara ekonomis dan politis, menguntungkan kelompoknya. Apa yang tertuang UU penyiaran No. 32 Tahun 2002, sebagai pengganti UU penyiaran No. 24 tahu 1997, sedikit banyak merupakn kompromi kepentinagn antara satu ihak dan pihak yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun