Mohon tunggu...
Idris Hasanuddin
Idris Hasanuddin Mohon Tunggu... Lainnya - Entah Aku jadi apa, asal... kecil disuka dan muda terkenal, tua kaya raya dan mati masuk surga

seorang yang mengharapkan Nusantara sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Televisi, Antara Kuasa dan Kepentingan di Indonesia

17 April 2011   12:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"sumber pengetahuan populer mengenai dunia dan semakin membuat orang saling berhubungan, meski secara termediasi, dengan berbagai cara hidup orang-orang di luar tempat kelahirannya. Televisi adalah bagian dari "prakondisi dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, pembayangan sosial yang digunakan untuk memersepsi, 'dunia-dunia', realitas kehidupan orang lain, danse cara imajiner merekonstruksi hidup menjadi semacam 'keseluruhan dunia' (whole-of-the-world)"

Bagi Chirs Barker televisi adalah sumber pengetahuan populer yang menjadi tempat bagi orang saling berhubungan meskipun hubungan tersebut dimediasi oleh layar (screen). Televisi menjadi prakondisi, konstruksi selektif ataupun pembayangan sosial yang digunakan untuk memersepsi dunia nyata. Sebagai konstruksi selektif dan prakonsidi sosial menjadikan televisi menawarkan, membatasi sekaligus mengarahkan pandangan terhadap pandangan dunia sosial. Hal ini pula menjadikannya bukan hanya sebagai media untuk menonton, mendapatkan informasi dan hiburan, tetapi juga sebagai [re]produksi teks, wacana bahkan ideologi.

Layar (baca: televisi) bagi Yasraf Amir Piliang disebut sebagai akumulasi citra, yang membangun masyarakat tontonan yakni masyarakat yang dipenuhi oleh akumulasi dan pergantian citra, masyarakat yang durasi kehidupannya didominasi oleh aktivitas kepenontonan, yang di dalamnya tontonan menjadi cara menjalankan kehidupan itu sendiri. Layar adalah istana dari Imperium Citra itu, yakni sebuah arsitektur, yang di dalamnya citra-citra dikembangbiakkan, diproduksi, disebarluaskan, dikomsumsi dan dimaknai, yang di dalamnya setiap orang menghambakan dirinya pada kekuasaan citra. Mekanisme citra dan layar mengondisikan setiap orang di dalam ekspektasi terhadap apa yang muncul: kejutan, trend, surprise, keterpesonaan, kebaruan, perbedaan -yang semuanya merupakan pemenuhan temporer akan hasrat terhadap citra yang tak terbatas.

Televisi atau layar (screen) secara luas merupakan ruang di mana citra-citra, pengetahuan dan pembayangan sosial terbentuk semacam, yang dalam istilah Yasraf disebut sebagai, imperium citra. Hal ini mengandaikan bahwa untuk memahaminya, layar atau televisi secara spesifik tidak cukup dipandang secara sederhana sebagai 'kotak ajaib' yang menampilkan gambar hidup yang berwarna warni tanpa nilai di dalamnya. Kotak ajaib tersebut mempunyai 'jiwa' ataupun sesuatu yang mampu memengaruhi 'kejiwaan' (psikis). Di sini menjadi sesuatu yang bisa dipahami ketika sebuah tayangan televisi mampu membuat pemirsanya terkejut, bahagai, menangis, tertawa ataupun marah.

Perlu disadari bahwa media ataupun televisi adalah power hegemoni masyarakat modern dalam mengubah tatatan struktur sosial budaya, politik, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Dari sudut politik ekonomi, televisi merupakan alat yang digunakan masyarakat kapitalis dalam memasarkan produk budaya dan menciptakan gaya hidup materialis, pragmatis, hedonis dan konsumtif. Meskipun di sisi lain televisi membawa pengaruh positif dalam memberikan informasi dari belahan bumi lain.

Televisi ketika menghadirkan berita, film, iklan, bahkan tayangan olahraga sekalipun ke dalam ruang pemirsa, ia bukan hanya menghadirkan fakta, kejadian yang ada di luar sana, tetapi pada saat yang sama televisi mendefinisikan dan mendeskripsikan. Dalam proses pendefinisian dan pendeskripsian inilah ideologi bekerja baik di kesadaran maupun di luar kesadaran pemirsa. Hal ini bukan saja memiliki implikasi ideologis tetapi kemudian membentuk realitas baru. Realitas baru yang dibentuk oleh kuasa dan kepentingan.

Kuasa sebagaimana menurut Michel Foucault bahwa ia bukan sebagai sesuatu yang dimiliki karena kuasa bukanlah sesuatu yang menetap atau berasal dari suatu tempat melainkan difungsikan dan dipraktikkan. Kuasa adalah jaringan yang menyebar ke mana-mana. Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui regulasi dan normalisasi. Hal ini berbeda dengan pemahaman kuasa ala Marxian yang melihat reproduksi alat-alat ekonomi dan politik adalah titik inti kuasa (determinisme ekonomi).

Kuasa yang bermakna seperti ini maka saluran terpentingnya bukanlah pada ekonomi ataupun politik, sehingga harus merebut kedua akses tersebut. Tetapi justru yang menjadi saluran terpentingnya adalah hubungan wacana (relasi diskursif). Hubungan wacana ini bisa mencakup grand naration, grand teory dan juga termasuk teks. Relasi diskursif ini akan melahirkan efek-efek diskursif. Pada titik ini nantinya akan dibentuk kelompok, masyarakat yang mudah diawasi, tubuh yang didisiplinkan

Secara singkat, tatanan diskursif dapat dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, dengan menentukan yang mana yang dilarang, mana yang diperbolehkan, mana yang benar dan mana yang tidak benar, disini pula ditentukan mana yang berakal budi dan mana yang merupakan kegilaan (regulated ways of speaking about objects). Kedua, dengan cara pembatasan cara pandang, membatasi horison pemahaman manusia dengan cara yang disebut dengan disiplin. Ketiga, menentukan apa yang boleh dibicarakan, siapa yang berhak membicarakannya dan dengan cara apa ia dibicarakan.

Relasi diskursif ini pulalah yang terjadi dalam dunia pers. Pada titik inilah pers menentukan seperti apa kebenaran itu, siapa yang berhak mengatakannya dan bagaimana cara mengatakannya. Pada titik itupula ditentukan mana yang benar dan mana yang salah. Disinipulalah individu didisiplinkan dalam satu cara pandang, bahwa untuk memahami realitas maka realitas teks ala pers lah yang dijadikan referensi, diluar itu berarti keliru.

Berita merupakan salah satu teks utama televisi dan menjadi alat penting bagi perebutan wilayah hegemoni dan kuasa. Berita bukanlah cerminan dunia ataupun "hasil rangkaian realitas". Berita bukan "jendela-dunia" yang langsung. Melainkan representasi yang terseleksi dan terkonstruksi yang menjadi bagian dan turut membentuk realitas. Hal ini menjadikan berita tidak pernah netral, berita selalu merupakan versi dari suatu kejadian. Narasi-narasi berita adalah usaha untuk menjelaskan bagaimana kondisi atau begaimana sesuatu terjadi. Narasi menawarkan pemahaman kerangka pemahaman dan aturan referensi tentang bagaimana dunia dikonstruksi. Sehingga kriteria seleksi berita bisa mengungkapkan pandangan dunia ideologis yang sedang dipakai dan disebarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun