Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Beberapa waktu yang lalu beredar konten video yang isinya guru membiarkan murid-murid yang nakal, berkelahi, dan melanggar aturan sekolah. Sang guru hanya melihat sebentar, lalu pergi begitu saja.Â
Pada captionnya ditulis bahwa guru tidak lagi mau mendisiplinkan murid yang melanggar aturan karena takut dilaporkan ke polisi. Kemudian, ada video di sebuah sekolah, guru membiarkan dua orang murid berkelahi dan ditonton oleh murid dan guru karena merasa sudah jengkel membina mereka.
Lalu ada video dua orang murid yang hampir berkelahi, tapi guru tidak memisahkan mereka. Guru malah memvideo-call polisi agar polisi memberikan nasihat kepada dua murid tersebut. Lalu muncul video kasus seorang murid SD berjenis kelamin perempuan yang rambutnya dipotong sampai botak oleh guru karena di kepalanya banyak kutu.
Konten video yang isinya guru membiarkan murid-muridnya yang melanggar aturan pada dasarnya adalah sebuah satire atau sindiran terhadap kondisi yang saat ini terjadi. Guru merasa tidak memiliki kemerdekaan dalam mendisiplinkan murid-muridnya.Â
Mereka dihantui rasa takut dilaporkan ke polisi atau mendapatkan persekusi dari oknum orangtua murid yang tidak terima anaknya diberikan hukuman atau didisiplinkan. Oleh karena itu, lebih baik mereka diam saja daripada berurusan dengan hukum, walau dalam hatinya, mereka tidak ingin seperti itu.Â
Ada juga bentuk protes yang lebih reaktif, yaitu kalau anaknya tidak mau didisplinkan oleh guru, silakan orangtuanya membuat sekolah sendiri, ajar oleh sendiri, nilai oleh sendiri, dan buat rapor sendiri.
Salah satu tujuan proses pendidikan di sekolah adalah menanamkan disiplin kepada murid. Di sekolah ada tata tertib yang harus ditaati murid. Pada tata tertib diatur hal yang wajib dan dilarang dilakukan oleh murid, beserta sanksi yang diberikan jika tata tertib dilanggar.Â
Pada praktiknya, kadang hukuman disiplin yang diberikan guru kepada murid tidak sesuai dengan tata tertib yang telah ditetapkan dan menjurus menjadi tindakan kekerasan.Â
Hal inilah yang sering memicu terjadi masalah hukum. Bagi sebagian guru, profesi guru saat ini terasa menjadi profesi berisiko tinggi. Bisa berurusan dengan hukum, mendapatkan kekerasan dari oknum murid, atau kekerasan dari oknum orangtua/wali murid, sedangkan perlindungan terhadap profesi guru dinilai masih lemah.
Berdasarkan kepada hal tersebut, menurut saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pendisiplinan kepada murid tidak menjadi masalah atau boomerang bagi guru atau sekolah.Â
(1) Pahami regulasi terkait dengan pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.Â
Permendikbudristek Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan mengatur bentuk-bentuk kekerasan yang tidak boleh dilakukan.
Pada pasal 6 disebutkan bentuk-bentuk kekerasan terdiri atas kekerasam fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, dan bentuk kekerasan lainnya.Â
Guru pun harus memahami UU perlindungan anak, karena UU ini yang sering dijadikan dasar pelaporan ke polisi. Dengan kata lain, guru harus melek hukum dan regulasi agar pendisiplinan murid sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak terjerat masalah hukum.
(2) Buat kesepakatan bersama antara sekolah dan orangtua siswa terkait dengan mekanisme pendisiplinan murid.
Kesepakatan ini dibuat pada awal tahun pelajaran. Kesepakatan/surat pernyataan ditandatangani oleh pihak sekolah dan pihak orangtua/wali. Jika perlu kesepakatan di atas materai. Tujuannya agar kedua belah pihak saling terkat serta memahami hak dan tanggung jawabnya masing-masing karena pada dasarnya mendidik anak/murid adalah tanggung jawab kedua belah pihak.Â
Dengan kesepakatan tersebut, sekolah tidak sewenang-wenang dalam mendisiplinkan murid dan orangtua tidak reaktif dan emosional jika mendapatkan kabar dugaan kasus kekerasan terhadap anaknya. Bahkan di kelas pun saat ini guru didorong melakukan kesepakatan kelas atau kontrak belajar yang menjadi acuan guru dan murid.
(3) Utamakan pendekatan persuasif/disiplin positif jika ada murid yang melanggar tata tertib sekolah.Â
Proses mendidik murid bukan hal yang mudah. Banyak tantangannya. Guru perlu memiliki kesabaran yang sangat luar biasa.
Saat guru mau mendisiplinkan murid atau saat ada murid yang melakukan pelanggaran disiplin, maka guru perlu melakukan pendekatan persuasif, dialog, dan komunikasi humanis.Â
Dampak negatif teknologi, media sosial, dan lingkungan pergaulan saat ini terasa terhadap menurunnya disiplin, kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat murid terhadap guru. Bahkan di lingkungan rumah pun banyak orangtua yang mengeluhkan hal yang sama.
Saat ini guru diharapkan melakukan disiplin positif kepada murid. Kalau ada murid yang melangga disiplin, harus diajak dialog, diidentifikasi penyebabnya, dan dicari bersama solusi yang bisa dilakukan.Â
Dalam pembinaan murid dikenal "Segi Tiga Restitusi". Segitiga restitusi adalah strategi untuk membantu peserta didik memperbaiki kesalahan dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Segitiga restitusi merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan karakter positif dan disiplin diri. Terdapat 3 (tiga) langkah pada segitiga restitusi, yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.Â
Dalam menerapkan segitiga restitusi, penting untuk menciptakan kondisi yang membuat peserta didik bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik. Salah satu cara untuk menenangkan emosi peserta didik adalah dengan meyakinkan bahwa manusia pasti pernah berbuat kesalahan.
Penerapan segitiga restitusi memiliki beberapa manfaat, di antaranya; (a) membantu peserta didik untuk jujur pada diri sendiri, (b) membantu peserta didik untuk merefleksi diri dan mengevaluasi dampak kesalahan, (c) membantu peserta didik untuk memiliki tujuan yang jelas, (d) membantu peserta didik untuk menghargai nilai-nilai kebajikan, (e) membantu peserta didik untuk memahami konsekuensi tindakan mereka, dan (f) membantu peserta didik untuk memperbaiki hubungan dengan komunitas sekolah.
(4) Komunikasi dengan orangtua/wali. Jika ada kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh murid, selain ditangani oleh guru, juga perlu dikomunikasikan kepada orangtua/wali.Â
Tujuannya agar orangtua/wali tahu kronologis pelanggaran yang dilakukan anaknya sehingga tidak menyebabkan salah paham atau miskomunikasi, serta bisa mencari solusi bersama terkait pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anak.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum orangtua/wali murid atau pelaporan ke polisi terhadap guru salah satu penyebabnya adalah miskomunikasi. Hanya mendengar infomasi sebelah pihak dari anak. Ditambah perangai orangtua/wali yang reaktif, arogan, temperamental, dan emosional semakin memperkeruh masalah.Â
Oleh karena itu, orangtua/wali pun harus mampu berpikir, bersikap, dan bertindak secara objektif, bijaksana, dan proporsional dalam menyikapi dugaan kekerasan yang menimpa anaknya saat di sekolah.
(5) Siapkan data dan dokumen pembinaan siswa secara lengkap.
Ada kalanya masalah dan kesalahpahaman terjadi dalam proses pendisiplinan murid karena lemahnya data, dokumen, dan bukti-bukti fisik. Lemahnya data dan bukti-bukti pendukung kadang menjadi penolakan orangtua/wali terhadap laporan dari sekolah jika anaknya nakal atau melanggar disiplin.
Orangtua/wali dengan naluri keorangtuaannya ingin membela anak dan menolak informasi yang disampaikan oleh pihak sekolah. Mungkin ada pernah ada orangtua/wali yang beragumen bahwa anaknya tidak nakal seperti yang dilaporkan oleh guru. Dia anak yang baik, penurut, dan sebagainya.Â
Kadang orangtua/wali pun terhasut oleh laporan sepihak dari anaknya. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal ini terjadi, maka sekolah perlu menyiapkan data-data yang lengkap sebagai bahan komunikasi dan diskusi dengan orangtua. Bukan untuk menghakimi anak, tetapi untuk mencari solusi bersama dalam mendisiplinkan anak.
(6) kerja sama dengan aparat terkait seperti dengan Dinas Pendidikan, Satgas Pencegahan dan Penangananan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP), Polri, dll dalam sosialisasi disiplin kepada murid.Â
Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk kolaborasi dengan sinergi dalam proses pendidikan. Program-program yang perlu dilakukan adalah program yang bersifat edukatif dan preventif dalam menegakkan disiplin terhadap murid.
Keenam hal tersebut merupakan sebuah ikhtiar yang bisa dilakukan oleh guru atau sekolah dalam mendisipinkan murid. Walau demikian, hal yang paling utama adalah kedisiplinan harus didasarkan atas keteladanan.Â
Bukan hanya sebatas perintah dan larangan. Perintah dan larangan memang perlu diatur dalam sebuah tata tertib, tetapi pembangunan kesadaran perlu terus dilakukan agar murid mengikuti tata tertib bukan karena takut dihukum, tetapi karena aras kesadarannya sendiri. Murid merasakan bahwa disiplin diperlukan sebagai kunci kesuksesan dalam belajar dan dalam kehidupan.
Pendisiplinan murid perlu ketegasan, bukan kekerasan. Sikap tegas acuannya adalah aturan, sedangkan kekerasan lebih mengedepankan emosi dan tendesi pribadi. Ketegasan akan membangun wibawa, sedangkan kekerasan akan menurunkan rasa hormat murid terhadap guru.Â
Zaman sekarang, murid yang sudah semakin kritis ditambah adanya media sosial bisa menjadi sarana untuk memviralkan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, proses pendisiplinan harus benar-benar dilakukan sesuai dengan aturan.
Mendidik adalah sebuah proses. Sebuah proses memerlukan waktu yang kadang cukup lama. Oleh karena itu, guru jangan pernah bosan mendisiplinkan murid melalui beragam cara dan upaya dengan mengedepankan konsep memanusiakan manusia. Selain perlu memiliki soft skill yang matang, guru pun harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam mendisiplinkan murid agar berhasil mencapai tujuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H