Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perbaikan Pendidikan Bukan Hanya Sistem, tapi Juga Pola Pikir

26 Oktober 2024   10:46 Diperbarui: 29 Oktober 2024   00:09 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem apapun yang digunakan dalam dunia pendidikan, tidak ada yang sempurna. Ada plus dan minusnnya. Setiap kebijakan yang diberlakukan memiliki madhab teori belajar dan filsafatnya masing-masing. Semuanya benar dalam pandangan filsafatnya masing-masing. 

Pihak yang menyatakan bahwa proses belajar akan terjadi secara efektif dan berdampak jika peserta didik diawasi, dikondisikan, dikendalikan, dan dikontrol oleh guru ada benarnya. Ini yang disebut madhab pembelajaran behaviorisme. Pada pembelajaran yang menggunakan madhab behaviorisme, peran guru sangat dominan atau dikenal juga dengan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centre).

 Sedangkan pihak yang menyatakan bahwa belajar harus dilandasi dengan pemberian kesempatan peserta didik untuk mengeksplorasi gagasan, pengalaman, mencari, dan merumuskan solusi dari permasalahan yang dihadapi disebut madhab pembelajaran konstruktivisme. 

Pada pembelajaran yang menganut madhab konstruktivisme pembelajaran berpusat kepada murid (student centre). Pada tipe pembelajaran ini pun, proses belajarnya diarahkan untuk memanusiakan manusia sejalan dengan filsafat humanisme.

Kembali kepada adanya aspirasi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di era Menteri Abdul Mu'ti. Hal itu tentunya sah-sah saja dan layak dihormati sebagai bagian dari demokrasi. Walau demikian, menurut saya, masalahnya bukan pada perbaikan sistem saja, tetapi juga perbaikan pola pikir (mindset) para pemangku kepentingannya (stakeholder).

Pertanyannya adalah jika UN berlakukan kembali, PPDB sistem zonasi dihapus, sistem NEM dikembalikan otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan? Saya kira tidak ada yang dapat memastikannya sepanjang pola pikir para pemangku kepentingannya belum baik. 

Kita masih ingat saat masih ada UN yang tujuannya mengukur prestasi lulusan patokan secara nasional, pada praktiknya diwarnai banyak kecurangan, rekayasa, muncul tim sukses, sampai polisi pun mengawal soal UN dan "menggerebek" tim sukses yang sedang "mengakali" Lembar Jawaban UN. Bahkan ada peserta didik yang bunuh diri karena tidak lulus UN.

Protes pun bermunculan terhadap UN. Banyak pihak menilai UN tidak adil. Hanya mengukur prestasi murid hanya dalam waktu beberapa hari dan yang dinilai hanya dari beberapa mata pelajaran seperti matematika, IPA, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Jangan sampai masa depan anak dikorbankan gara-gara tidak lulus UN. UN pada awalnya menjadi syarat lulus dari satuan pendidikan, karena banyak diprotes, kemudian menjadi diubah tidak menjadi syarat lulus dari satuan pendidikan.

UN yang tujuan awalnya untuk kepentingan akademik, bergeser menjadi kepentingan politis dan prestise. Oleh karena itu, masalah integritas dalam pelaksanaannya diabaikan. POS UN sudah buat, pengawasan ketat sampai melibatkan aparat kepolisian sudah dilakukan, tetapi, tetap saja ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengakali UN. Itulah argumen yang muncul dari pihak yang tidak setuju terhadap UN.

Setelah UN dihapus dan diganti dengan Asesmen Nasional (AN) tahun 2021, mutu pendidikan pun tidak kunjung meningkat. Apalagi Awal 2020 s.d. 2021 ada pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap terjadinya penurunan mutu pembelajaran (learning loss). Peserta didik banyak yang ogah-ogahan belajar karena merasa pasti akan lulus atau diluluskan. 

Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang hanya menggunakan sampel dari total peserta didik pada kelas tertentu juga dinilai menjadi penyebab kurang termotivasinya peserta didik untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Lalu, muncul lagi keresahan terhadap kondisi ini yang dinilai berdampak semakin buruk jika terus dibiarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun