Akibatnya, terjadi miskonsepsi dalam pelaksanaannya. Akibat mengalami kebingungan, pelaksanaan P5 banyak yang copas dari sekolah lain atau dari internet. Prinsipnya, yang penting proyek dilaksanakan dan administrasi lengkap. Pada pelaksanaan proyek, antara deskripsi dimensi dan tema proyek seolah berjalan sendiri-sendiri. Belum ada instrumen yang untuk mengontrol keterpaduannya. Orang tua pun ada yang mengeluhkan P5 karena kegiatan ini karena dinilai merepotkan dan mengeluarkan biaya (dampak miskonsepsi pelaksanaan P5) sehingga mereka merasa keberatan dengan P5.
Adanya kewajiban membuat modul proyek, lembar kerja, instrumen asesmen, dan rapor P5 juga menjadi beban administrasi tambahan bagi guru karena mereka pun sudah terbebani dengan administrasi pembelajaran seperti RPP/Modul Ajar, penjabaran TP dan ATP, dan instrumen asesmen sesuai dengan kelas atau mata pelajaran yang diampunya.
P5 substansinya adalah pendidikan karakter. Sebelum adanya P5, di sekolah sudah ada pendidikan karakter dengan beragam istilah seperti pendidikan budi pekerti, pendidikan karakter dan budaya, penguatan pendidikan karakter. Selain itu juga ada kegiatan pembiasaan dan ekstrakurikuler pendidikan kepramukaan atau bentuk lainnya. Oleh karena itu, secara substansi, P5 sebenarnya bukan hal yang baru. Hanya pengembangan dan modifikasi dari program yang sudah ada sebelumnya.
Kita tentu sepakat bahwa pendidikan karakter sangat penting. Walau demikian, jangan sampai teknisnya justru terjebak dan berkutat pada hal-hal yang sifatnya administratif dan lebih menonjolkan glorifikasinya sehingga kurang bermakna. Pendidikan karakter bisa dilakukan mulai dari hal-hal yang sederhana, seperti 5 S (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun), pembiasaan membaca kitab suci, pembiasaan sholat dhuha bagi peserta didik yang beragama Islam, pembiasaan menjaga kebersihan, menumbuhkan sikap saling menghormati dan saling menghargai, menumbuhkan budaya toleransi, gotong royong, kegiatan bakti sosial, peringatan hari besar nasional, peringatan hari besar keagamaan, penyediaan kotak barang temuan, berpartisipasi pada kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya. Gerakan literasi, Gerakan Sekolah Sehat, atau gerakan anti bullying juga bisa menjadi bagian dari pendidikan karakter berdasarkan Pancasila.
Masyarakat berharap banyak kepada Mendikbuddasmen Prof. Abdul Mu'ti untuk melakukan pembenahan dan perbaikan tata kelola pendidikan, termasuk mengkaji konsep dan implementasi P5. Jika P5 masih mau dipertahankan sebagai, maka nilai sentralnya idealnya sila-sila Pancasila.
Tetapi jika ada perubahan, tentunya diharapkan perubahan yang lebih mudah dipahami dan lebih praktis. Intinya, pendidikan karakter bukan berisi tumpukan administrasi dan kegiatan seremoni, tetapi keteladanan yang menjadi inspirasi menjadi pribadi terpuji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H