Guru perlu melakukan tugas mendidik disertai hati dan passion (bergairah). Pembelajaran yang menyenangkan hanya bisa dilakukan oleh guru yang menyenangi profesinya, kondisi hati yang senang, dan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan.Â
Pada buku The Pedagogy of Love (UNESCO, 2014) dinyatakan bahwa seorang guru dapat bekerja dengan sepenuh hati jika dia mencintai dirinya sendiri, mencintai materi yang dia ajarkan, mencintai peserta didik, mencintai administrasi pembelajaran, mencintai (saling menghormati) sesama rekan sejawat, dan mencintai sekolah tempatnya bertugas.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih ditopang oleh sejumlah nilai seperti kebaikan, empati, rela berkorban, suka memaafkan, kerelaan menerima dan menghargai terhadap kondisi yang berbeda, membangun berkolaborasi dalam komunitas, menjunjung tinggi etika, memiliki pola pikir berkembang (growth mindset), peduli, saling menghormati, kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan beraktivitas, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, adanya keterikatan secara emosional antara guru dan murid, dan keakraban dalam komunikasi guru dan murid.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih akan mendukung terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA). Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, pembelajaran diharapkan berpihak atau berpusat kepada peserta didik (student center).Â
Peserta didik menjadi fokus pencapaian target pembelajaran. Pencapaian visi dan misi sekolah pun tercermin dalam mutu anak didik atau lulusan. Adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pun bertujuan untuk membangun, menumbuhkan, menguatkan karakter peserta didik agar memiliki nilai-nilai Pancasila. Welas dan asih adalah salah satu cerminan manusia Pancasilais.
SRA adalah gambaran sekolah yang ideal atau sekolah yang dicita-citakan. Sekolah yang inklusif. Sekolah yang membangun kesetaraan dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas.
Nilai welas asih yang diimplementasikan dalam pembelajaran dapat membentuk karakter peserta didik untuk peduli, empati, menghargai dan menghormati orang lain, mau membantu orang lain tanpa melihat latar belakang suku, ras, kelompok, dan agama.
SRA bukan hanya dilihat dari konteks kepribadian guru dan proses pembelajarannya, tetapi juga bisa dilihat dari konteks visi, misi, lingkungan, dan sarana-prasarana penunjangnya. Apakah lingkungan sekolah aman dan nyaman untuk belajar? Apakah sekolah dilengkapi oleh sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran? Apakah sarana-prasana mudah diakses untuk belajar? Dan sebagainya.
Mengapa saat ini banyak anak, remaja, dan bahkan orang dewasa yang mudah tersulut emosi, mudah melakukan perundungan (bullying), melakukan tindakan kekerasan, mudah menganiaya orang lain, bahkan sampai tega menghilangkan nyawa orang lain? Di samping ada masalah dengan latar belakang dan pribadinya sendiri, bisa saja karena lingkungan tempatnya belajar (rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat) tidak memunculkan pendidikan yang berbasis welas asih.
Ditambah dampak negatif dari media sosial yang akrab di gawai mereka. Masalah ini menjadi hal yang kompleks dan solusinya harus melibatkan berbagai pihak terkait. Tidak hanya mengandalkan salah satu pihak saja.
Data-data dari lembaga terkait dan berita viral yang muncul di media terkait tindakan bullying dan tindakan kekerasan sungguh sangat mengerikan sekaligus membuat kita merinding dan prihatin.