Sekolah adalah lembaga pendidikan yang diharapkan untuk menyemai dan menumbuhkankembangkan karakter dan nilai-nilai kebaikan terhadap peserta didik. Sesuai cita-cita Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, sekolah diharapkan menjadi taman belajar.
Taman belajar dalam hal ini bisa diartikan sebagai lingkungan yang aman, nyaman, dan kondusif untuk proses belajar, baik secara fisik maupun secara psikologis.Â
Secara fisik dalam bentuk tersedianya sarana dan prasana. Sedangkan secara psikologis, terbangunnya komunikasi yang baik, kekeluargaan, dan kebersamaan antarwarga sekolah.
Di tengah semakin dinamisnya tantangan dan tuntutan peningkatan mutu pendidikan, sekolah diharapkan melakukan transformasi atau melakukan perubahan agar semakin baik dalam memberikan layanan pendidikan. Tujuan akhir dari proses proses pendidikan adalah murid, murid, dan murid. Dengan kata lain, proses belajar harus berdampak positif terhadap murid.
Dalam melakukan transformasi, sekolah melakukan berbagai berbagai upaya perubahan, mulai dari mengubah paradigma (mindset) warga sekolah, membangun sistem, membangun budaya kerja yang baik, membuat Standar Operasional Standar (SOP), menata lingkungan sekolah, meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, meningkatkan kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan sebagainya.
Bicara transformasi sekolah, kadang yang terbayang adalah hal-hal yang besar. Bisa kita perhatikan, misalnya sekolah sibuk menata lingkungan, mengecet tembok sekolah, memperbaiki benteng sekolah, menyediakan wi-fi, atau mempercantik taman sekolah. Hal itu baik tentunya.
Walau demikian, menurut saya, transformasi sekolah bisa dimulai dari hal yang kecil dan kadang sering terabaikan. Apakah itu? Mulai dari toilet sekolah. Â
Toilet sekolah merupakan salah satu sarana yang sangat penting dan vital di sekolah. Idealnya, jumlah toilet yang tersedia di sekolah proporsional dengan jumlah murid, pendidik, dan tenaga kependidikan. Data Sanitasi Sekolah Tahun 2019 Kemendikbudristek menyebutkan bahwa rasio toilet SD: 1/60 siswa laki-laki 1/50 siswa perempuan Rasio toilet SMP, SMA/SMK : 1/40 siswa laki-laki 1/30 siswa perempuan.Â
Pada kenyataannya, masih banyak sekolah yang kekurangan jumlah toilet untuk murid. Bahkan toilet yang ada pun kondisinya kurang layak digunakan, kurang terawat, banyak yang rusak sehingga tidak bisa digunakan.Â
Selain sekolah yang masih minim jumlah toilet, ketersediaan air juga harus menjadi tantangan tersendiri, karena toilet jika ingin digunakan dengan optimal dan bersih, harus ditunjang dengan ketersediaan air. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan oleh Kemendikbudristek, Dinas Pendidikan, Satuan Pendidikan, dan pihak lain yang terkait.
Kita sering mendengar jargon sekolah sehat, sekolah ramah anak, sekolah adiwiyata. Hal tersebut akan sulit terwujud jika sekolah kurang memiliki toilet yang layak untuk murid. Sekolah kadang sibuk dengan menata halaman depan dan taman sekolah sebagai "wajah" sekolah, tapi kurang memperhatikan kondisi toilet sekolah.Â
Saya pernah berkunjung ke sebuah sekolah. Gedung sekolahnya cukup bagus, berlantai dua, halaman depannya tampak cukup indah, bersih, dan tertata rapi. Namun, saat saya memasuki toilet, khususnya toilet siswa, kondisinya memprihatinkan.Â
Toilet kotor, banyak daki menempel, tercium bau yang menyengat, pada dinding toilet terdapat tulisan-tulisan iseng, bahkan ada gambar dan dan tulisan yang kurang etis.
Kondisi ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya tidak sebandingnya antara jumlah siswa dengan jumlah toilet yang tersedia, terbatasnya jumlah tenaga kebersihan di sekolah, atau masih kurang sadarnya menjaga kebersihan toilet dari sebagian besar siswa.Â
Pada banyak sekolah, menjaga kebersihan toilet diserahkan kepada penjaga sekolah atau staf. Ada juga sekolah-sekolah elit yang mengontrak office boy dari yayasan tertentu.
Sekian tahun silam, membersihkan toilet masih dijadikan sebagai hukuman bagi siswa yang melanggar aturan disiplin di sekolah. Oleh karena itu, ada kesan bahwa membersihkan toilet bukan tugas atau kewajiban semua warga sekolah, tetapi hanya tugas pihak tertentu atau sanksi bagi siswa yang melanggar aturan disiplin sekolah. Banyak siswa yang hanya mau menggunakan toilet tapi enggan untuk menjaga kebersihannya. Bahkan untuk membersihkan kotorannya sendiri yang masih enggan.
Hal inilah yang harus terus diedukasi kepada siswa. Membersihkan toilet, jangan dijadikan sebagai salah satu alternatif sanksi bagi pelanggar aturan disiplin sekolah, tapi merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang mengikat kepada semua warga sekolah.Â
Di Jepang, membersihkan toilet merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh guru dan murid. Walau sekolah memiliki tenaga kebersihan, tapi mereka tidak mengandalkan dan tidak ketergantungan kepada petugas kebersihan. Hal ini bisa menjadi bagian dari pembelajaran. Mempraktikkan konsep tentang kebersihan melalui aksi nyata. Berikutnya, membersihkan toilet menjadi sebuah pembiasaan.
Dampaknya bisa kita lihat, misalnya suporter timnas sepak bola Jepang yang setelah menyaksikan pertandingan piala dunia U-17 tahun 2023 di stadion, mereka tidak risih untuk mengambil sampah-sampah di stadion.
Begitupun pemain dan official timnas sepak bola Jepang meninggalkan ruang ganti dalam keadaan bersih. Hal ini harus jadi pelajaran bagi kita bersama, khususnya dalam konteks menjaga kebersihan toilet sekolah.
Saya kira sekolah tidak bisa melakukan sebuah transformasi yang besar jika hal yang kecil seperti menjaga kebersihan toilet saja belum dilakukan secara serius.Â
Perubahan besar  diawali dengan perubahan kecil dan hal-hal yang sederhana seperti menjaga kebersihan toilet sekolah. Proyek penguatan profil pelajar Pancasila yang saat ini dilakukan di sekolah juga bisa menjadi sarana untuk menanamkan kebiasaan baik dan tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara kebersihan sekolah, khususnya toilet sekolah.Â
Piket kebersihan, bukan hanya kebersihan kelas, tapi juga kebersihan toilet bisa juga disusun oleh sekolah. Gerakan Jumat Bersih (jumsih) bisa dijadikan sarana pembiasaan agar tertanam budaya cinta kebersihan di kalangan siswa.
Siswa yang malas membersihkan toilet biasanya berkorelasi dengan kebiasaannya di rumahnya. Jika di rumahnya dia malas membersihkan toilet, maka di sekolah pun, dia malas melakukannya.Â
Sebaliknya, jika di rumahnya rajin dan memiliki tanggung jawab membersihkan toilet, maka di sekolah pun, dia akan proaktif menjaga kebersihan toilet. Oleh karena itu, upaya sekolah untuk mengedukasi murid agar mau menjaga kebersihan toilet, juga harus didukung oleh pendidikan di lingkungan keluarga.
Transformasi sekolah adalah sebuah keniscayaan dalam menjawab tantangan pendidikan yang kian kompleks. Mari mulai hal ini melalui hal yang sederhana seperti peduli menjaga kebersihan toilet sekolah.Â
Bukan hanya toilet Kepala Sekolah, Guru/TU saja yang perlu bersih dan wangi. Toilet murid pun perlu dibuat dan dikondisikan senyaman mungkin. Murid yang menggunakan toilet dan murid yang bersama-sama menjaga kebersihannya. Adapun alat-alat kebersihannya bisa difasilitasi oleh sekolah.
Toilet yang bersih bisa menjadi sebuah gambaran bahwa warga sekolah memang benar-benar sadar dan cinta kebersihan. Halaman depan sampai halaman belakang sekolah yang bersih, plus toilet yang bersih akan menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan kondusif bagi semua orang yang datang.
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H