Oleh: Idris Apandi
(Widyaprada Ahli Madya Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Asesor Seleksi Calon Guru Penggerak, Penulis 1040 Artikel dan 55 Buku)
Kebijakan Guru Penggerak (GP) yang digulirkan oleh Kemendikbudristek sejak tahun 2020 merupakan sebuah terobosan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek dalam peningkatan mutu atau profesionalisme guru.Â
Melalui program ini, dicari guru-guru yang memiliki keinginan kuat untuk belajar, menyukai tantangan, dan mau keluar dari zona nyaman.Â
Oleh karena itu, seleksinya pun cukup panjang dan ketat, mulai dari seleksi administratif, penilaian esai, penilaian simulasi mengajar, dan wawancara. Saat seorang guru dinyatakan lolos menjadi calon guru penggerak, maka dia harus siap menyediakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk mengikuti pendidikan yang cukup lama.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa "Kalau guru ingin terus mengajar, maka dia harus terus belajar." Program Guru Penggerak adalah jalan untuk mewujudkan hal tersebut. Mengapa? Karena tantangan yang dihadapi oleh guru sebagai ujung tombak pembelajaran semakin meningkat dan semakin kompleks.Â
Saat ini, guru dihadapkan pada tugas berat untuk meningkatkan mutu literasi dan numerasi peserta didik, membangun karakter peserta didik di tengah krisis karakter yang sudah sangat serius dana mengkhawatirkan.Â
Kasus kekerasan dan perundungan (bullying) yang terjadi baik di lingkungan satuan pendidikan maupun di luar satuan pendidikan tidak akan lepas dari mengaitkan peran guru dalam membina peserta didik.
Guru Penggerak adalah guru yang diharapkan bisa menghadirkan fisik dan hatinya dalam proses pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik. Guru yang mendidik disertai hati dan mengajar disertai rasa, guru yang berdedikasi, bernilai, dan mendapatkan tempat di hati peserta didiknya. Mengapa?Â
Karena berbagai upaya peningkatan mutu guru, termasuk program guru penggerak, muaranya adalah untuk murid, murid, dan murid sehingga kesejahteraan murid (student wellbeing) sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bisa terwujud.
Pada beberapa angkatan Pendidikan Calon Guru Penggerak (CGP) digulirkan, waktunya selama 9 bulan, tetapi kemudian diubah menjadi 6 bulan. Selama mengikuti pendidikan, seorang CGP harus berjibaku membagi waktu dan tenaga dengan tugas rutinnya sebagai guru dan tugas-tugas lainnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah ketahanan dalam melaksanakannya.Â
Dalam mengikuti CGP, bukan hanya diperlukan ketahanan fisik dan stamina, tapi juga diperlukan ketahanan mental. Tugas yang cukup banyak jika tidak dihadapi dengan tenang dan cerdas, maka bisa saja menyebabkan stres sehingga bisa berdampak terhadap kesehatan fisik dan mental.Â
Oleh karena itu, pendidikan CGP adalah sebuah kawah candradimuka yang selain bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru, juga melatih mental, serta membentuk karakter guru sebagai seorang pemimpin pemelajaran.
Kita tentu perlu memberikan apresiasi terhadap calon guru penggerak yang lulus pendidikan CGP. Mereka telah berjuang dengan keras dari awal sampai dengan akhir. Mereka pun wajar bangga dengan pencapaian tersebut.Â
Walau demikian, hal yang paling utama bagi seorang CGP adalah bukan bagaimana dia bisa mengikuti Pendidikan Guru Penggerak (PGP) tersebut, tetapi bagaimana dia bisa menerapkan hal yang dipelajarinya melalui PGP dalam proses pembelajaran, bisa berdampak terhadap peningkatan mutu proses pembelajaran, menciptakan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student centre), menciptakan pembelajaran yang bermakna, dan berdampak terhadap pembentukan karakter serta prestasi peserta didik baik dalam aspek akademik maupun non-akademik.Â
Di sinilah komitmen dari lulusan PGP dimulai dan mutunya akan diuji seiring dengan waktu.
Seorang lulusan PGP diharapkan bukan hanya membuat dirinya pintar dan bergerak sendiri, tetapi harus bisa memotivasi, menginspirasi, membantu, dan menggerakkan rekan-rekan sejawatnya melalui komunitas belajar baik di satuan pendidikan tempatnya bertugas atau pun di komunitas antarsatuan pendidikan.
Bahkan diharapkan bisa berdampak lebih luas lagi mengingat saat ini akses untuk komunikasi dan proses pembelajaran bisa dilakukan secara daring via zoom, google for education, atau perangkat digital lainnya.
Dalam konteks karakter, guru lulusan PGP selain kompetensi dalam konteks akademik dan manajerial, diharapkan bisa menjadi teladan, humble, dan membumi (down to earth) sehingga citranya positif dan menginspirasi.Â
Hal ini akan mendukung mereka jika suatu saat dipromosikan untuk karier yang lebih tinggi seperti menjadi kepala sekolah atau pengawas. Dengan demikian, maka jargon bahwa guru penggerak adalah guru yang bergerak, menggerakkan, dan berdampak benar-benar bisa terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H