Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pembelajaran Berdiferensiasi Mewujudkan Pembelajaran yang Ramah Anak

18 Juli 2023   03:47 Diperbarui: 18 Juli 2023   15:24 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru mengajar (ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI via KOMPAS.com)

Pembelajaran Berdiferensiasi Mewujudkan Pembelajaran yang Ramah Anak
Oleh: Idris Apandi 
(Praktisi Pendidikan)

Pembelajaran berdiferensiasi menjadi isu dan dialektika yang berkembang dan terus menghangat seiring dengan diimplementasikannya kurikulum merdeka sejak 2022. Hal ini dilatarbelakangi oleh pentingnya pembelajaran yang memihak kepada peserta didik. Proses pembelajaran harus disesuaikan dengan minat, karakter, gaya belajar, dan kebutuhan peserta didik agar mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan. Dengan demikian, esensi merdeka  dalam belajar benar-benar di rasakan oleh peserta didik.

Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa "didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.' Maksudnya adalah zaman terus berkembang. Sebuah pola atau sistem pendidikan pada zaman dulu mungkin saja dianggap tepat, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, maka pola atau sistem tersebut sudah kurang relevan, perlu dikembangkan, atau perlu diadaptasi sesuai dengan dinamika atau perkembangan zamannya.

Anak didik generasi zaman now semakin kritis dan semakin memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sebagai dampak dari banyaknya informasi yang diakses dari media sosial atau lingkungan pergaulan mereka.  Hal ini berimbas kepada guru yang harus mampu menyesuaikan pola mendidik. Oleh karena itu, guru zaman now harus memiliki jiwa pemelajar, mau keluar dari zona nyaman, dan membuka pola pikir untuk terus berkembang (growth mindset).

Bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara juga berpendapat bahwa pendidikan harus menuntun dan berpihak kepada anak didik. Dalam pandangannya, guru tidak ubahnya seperti seorang petani. Misalnya seorang petani yang menanam jagung. Dia menuntun tumbuhnya jagung. Dia dapat memberbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman jagung, memberinya pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang menganggu hidup tanaman jagung.

Filosofi tersebut memberikan pesan kepada kita bahwa guru tidak dapat memaksakan satu pola mendidik tertentu kepada anak didik. Anak bukan kertas kosong. Mereka unik dan memiliki kecerdasan yang beragam. Mereka membawa kodrat masing-masing. Tugas guru hanyalah memandu dan menuntun mereka dalam proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi sebagai bekal di masa depan.

Pembelajaran berdiferensasi dilandasi oleh dua prinsip utama. Pertama, pada dasarnya tidak ada anak yang bodoh, tetapi yang ada adalah guru yang belum menemukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak didik. Kedua, tidak ada anak yang tertinggal memahami materi pelajaran, tetapi yang ada adalah setiap anak memerlukan waktu yang berbeda untuk menguasai materi pelajaran. Dengan kata lain, pembelajaran berdiferensiasi memberikan ruang atau kesempatan kepada setiap peserta didik untuk berkembang sesuai dengan fitrahnya masing-masing.

Pembelajaran berdiferensiasi sejalan dengan semangat inklusivitas dalam pembelajaran. Setiap anak memiliki hak yang sama dalam mendapatkan layanan pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu menyusun rencana dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap peserta didik.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi, anak didik dijadikan sebagai subjek pembelajaran. Bukan sebagai objek yang hanya menerima materi yang diajarkan oleh guru. Sebagai subjek pembelajaran, peserta didik diarahkan untuk aktif mengembangkan diri dan belajar secara kolaboratif dengan teman-temannya melalui diskusi, pelaksanaan proyek, dan sebagainya.

Peserta didik difasilitasi, dipandu, oleh diarahkan oleh guru untuk masuk ke dalam ruang imajinasi dan kreativitas mereka. Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik bisa belajar dari beragam sumber seperti guru, buku, internet, teman, dan narasumber dari pihak luar sekolah.

Sebelum melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi, guru perlu mengidentifikasi karakter, kebutuhan dan gaya belajar peserta didik melalui asesmen diagnostik atau juga disebut awal. Hasil dari asesmen diagnostik dijadikan dasar bagi guru untuk memetakan kemampuan awal, hambatan belajar, kebutuhan belajar, dan gaya belajar peserta didik.

Asesmen diagnostik meliputi asesmen diagnostik kognitif yang fokus pada identifikasi pengetahuan awal peserta didik dan asesmen diagnostik non-kognitif yang fokus untuk mengetahui kondisi psiko-sosial dan emosional peserta didik. Bentuk instrumen asesmen diagnostik kognitif misalnya tanya jawab, soal pre test, kuis, atau games. 

Sedangkan instrumen asesmen diagnostik non-kognitif misalnya wawancara, observasi, penilaian diri, penilaian orang tua, atau penilaian teman. Bisa juga guru mempelajari dokumen nilai atau buku rapor, informasi dari guru, wali kelas, guru BK pada kelas atau jenjang sebelumnya untuk mengetahui kemampuan awal dan kesejahteraan psikologis peserta didik.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru menerapkan strategi dan layanan pembelajaran yang beragam untuk menuju tujuan yang sama, yaitu tercapainya kompetensi pembelajaran.Ada 4 strategi yang bisa digunakan, yaitu:

(1) strategi berbasis konten (isi materi pelajaran yang beragam), (2) strategi berbasis proses (model, strategi, dan metode pembelajaran yang beragam), (3) strategi berbasis produk (anak mempelajari materi yang sama tetapi wujud produk hasil belajarnya beragam), dan (4) strategi berbasis lingkungan belajar (belajar di dalam kelas atau luar kelas, belajar secara luring, daring, campuran daring-luring).

Terkait gaya belajar, ada 3 jenis gaya belajar yang dominan dimiliki oleh peserta didik, yaitu (1) auditori, (2) visual, dan (3) kinestetik. Anak yang memiliki gaya belajar auditori lebih cepat memahami materi melalui indera pendengaran (telinga). Anak yang memiliki gaya belajar visual lebih cepat memahami materi melalui indera penglihatan (mata), sedangkan anak yang memiliki gaya belajar lebih cepat memahami materi melalui gerakan anggota tubuh, praktik, atau membuat sebuah produk.

Gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik perlu diidentifikasi oleh guru sebelum kegiatan belajar dilaksanakan agar guru dapat memfasilitasi pembelajaran sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik. Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi misalnya seperti tanya jawab, angket, atau mengamati kebiasaan anak didiktnya.

Ketiga gaya belajar tersebut pada dasarnya bisa saja semuanya diperlihatkan atau dipergunakan oleh seorang peserta didik sesuai dengan konteks dan kebutuhannya, tetap dari ketiga gaya belajar tersebut, ada satu gaya belajar yang paling dominan diperlihatkan dan disenanginya. 

Intinya, apapun gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik, guru harus memfasilitasi proses pembelajaran yang mengakomodir ketiga gaya belajar tersebut. Hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi pembelajaran berdiferensiasi.

Berdasarkan kepada uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang berupaya mewujudkan pembelajaran yang ramah anak dengan segala keunikan dan keberagaman kecerdasan yang dimiliknya. Peserta didik tidak akan ingat setiap materi yang diajarkan oleh gurunya, tetapi akan selalu ingat perlakuan yang pernah diberikan kepada guru terhadap mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun