Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengembangan Instrumen Asesmen Diagnostik

1 Februari 2023   17:47 Diperbarui: 8 Februari 2023   13:27 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sasaran atau respondennya peserta didik dan orangtua/wali peserta didik. Selain itu, guru bisa melakukan observasi, mendatangi rumah atau tempat tinggal peserta didik, melihat kondisi lingkungan sekaligus melakukan wawancara, menyebarkan angket, atau melakukan telaah dokumen nilai rapor atau portfolio peserta didik.

Dalam melakukan asesmen diagnostik non-kognitif, guru disamping melakukannya sendiri, juga bisa bekerja sama dengan guru lainnya, wali kelas, guru BK, atau psikolog. Jika diperlukan, informasi juga bisa digali dari guru atau wali kelas pada jenjang atau kelas sebelumnya, penilaian pribadi peserta didik, jurnal, atau penilaian teman.

Instrumen angket, wawancara, observasi, atau studi dokumentasi disesuaikan dengan relevansi dan kebutuhannya. Dibuat sesederhana mungkin. Tidak harus mirip angket penelitian. Guru juga bisa menggali informasi melalui obrolan ringan antara guru dengan peserta didik dan dengan orangtua/wali peserta didik.

Asesmen diagnostik non-kognitif juga bisa dalam bentuk refleksi awal, catatan, simbol, atau emoticon yang bisa dipilih oleh peserta didik. Misalnya, untuk mengetahui hobi, minat (tertarik atau tidak tertarik), hobi, perasaan (suka atau tidak suka), emosi (senang, sedih, marah, biasa-biasa saja), dll.

Melakukan asesmen diagnostik memang bukan hal yang mudah. Membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Tapi jika memang guru ingin melakukan asesmen diagnostik dengan baik, hal tersebut bisa dijadikan alternatif untuk dilakukan karena guru diharapkan bisa melaksanakan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik. 

Walau demikian, guru jangan pula mempersulit diri dengan melakukan asesmen diagnostik yang sulit untuk dilakukan sehingga membuat tugasnya yang lain terbengkalai. Intinya, lakukan asesmen diagnostik sesuai dengan kebutuhan dengan cara yang paling mudah, paling memungkinkan, efektif, dan efisien.

Setelah guru melakukan asesmen diagnostik, maka guru dapat menyusun strategi pembelajaran berdiferensiasi. Baik berbasis konten (isi materi), proses, produk, atau lingkungan belajar. 

Analisis Capaian Pembelajaran (CP) dan Tujuan Pembelajaran (TP) menjadi alternatif untuk menentukan strategi pembelajaran, sumber belajar, dan media yang paling relevan digunakan oleh guru. 

Walau demikian, dari semua hal tersebut, hal yang paling utama adalah guru yang mendidik dengan hati dan mengajar dengan rasa sehingga guru bisa hadir dalam hati setiap peserta didik. Wallaahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun