Pada asesmen berdiferensiasi, guru perlu menghindari hanya menggunakan 1 jenis instrumen asesmen dalam mengukur hasil peserta didik yang beragam karena hal tersebut akan membuat pembelajaran berdiferensiasi yang telah dilakukan menjadi ambyar alias sia-sia. Misalnya, guru hanya menggunakan test tulis (paper and pencil test) padahal minat dan kemampuan peserta didik beragam.Â
Oleh karena itu, kalau guru mau konsisten dan konsekuen dengan pembelajaran berdiferensiasi secara utuh dan menyeluruh, maka harus berdiferensiasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga asesmen hasil belajar peserta didik.
Misalnya, saat peserta didik belajar tentang materi keanekaragaman hayati di laut, maka peserta didik diberikan alternatif untuk menampilkan hasil pemahamannya tentang hal tersebut dalam bentuk makalah, laporan tertulis, reportase lisan, gambar, video, hasil prakarya/ kerajinan, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan peserta didik juara dan berprestasi sesuai dengan kecerdasannya masing-masing.
Tantangan dan Peluang bagi Guru
Pembelajaran berdiferensiasi secara konsep memang terlihat relatif mudah  dilaksanakan, tetapi pada praktiknya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi guru.
Pembelajaran berdiferensiasi cukup rumit dan kompleks. Guru harus memutar otak merancang strategi pembelajaran untuk peserta didik yang memiliki beragam karakter dan gaya belajar. Guru harus siap meluangkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk menyusun strategi pembelajaran dan menentukan asesmen hasil belajar yang beragam. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, kemampuan guru dalam mengelola kelas sangat menentukan efektivitas pelaksanaan dan ketercapaian tujuan pembelajaran.
Walau peran dan kompetensi guru sangat penting dalam efektivitas pembelajaran berdiferensiasi, sarana dan prasarana, setting ruang kelas, dan regulasi terkait jumlah peserta didik dalam satu kelas perlu juga dipertimbangkan mengingat guru juga adalah manusia yang memiliki keterbatasan dalam mendampingi puluhan peserta didik dalam 1 kelas. Apalagi pada sekolah-sekolah inklusif yang selain menerima peserta didik yang normal juga menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), tantangan tersebut akan semakin berat mengingat bedanya layanan yang harus diberikan kepada anak reguler dan ABK.Â
Kemampuan guru yang terbatas dalam menangani ABK pun bisa menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Bahkan guruperlu bermitra dengan tenaga ahli yang khusus menangani ABK untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat.
Perlu dikaji penyesuaian jumlah peserta didik dalam satu kelas. Misalnya dari 30-40 orang peserta didik dalam 1 kelas dikurangi menjadi 15-20 orang dalam 1 kelas. Mungkin juga ada alternatif lain, misalnya guru tidak dibebani mengajar di banyak kelas dan diberi tugas-tugas tambahan selain tugas pokoknya sebagai pengajar, atau perlu team teaching saat proses pembelajaran agar bisa saling membantu.
Di balik berbagai tantangan dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi, bagi guru yang berjiwa pemelajar, hal ini menjadi peluang untuk meningkatkan kompetensinya agar dapat melayani kebutuhan belajar peserta didik secara optimal. Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa "jika guru masih mau mengajar, maka dia harus mau terus belajar."Â
Oleh karena itu, guru harus menjadi pembelajar seumur hidup, siap keluar dari zona nyaman, siap beradaptasi dengan dinamika dan perubahan zaman.