Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

5 Hal yang Harus Diperhatikan agar Pembelajaran Terdiferensiasi Berjalan dengan Baik

22 Juni 2022   10:41 Diperbarui: 22 Juni 2022   13:05 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Merdeka Belajar melalui Pembelajaran HOTS)

Pada implementasi Kurikulum Merdeka (KM), guru diharapkan melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mewujudkan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik. 

Intinya, pembelajaran terdiferensiasi adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter, kebutuhan, dan minat peserta didik. Pada pembelajaran terdiferensiasi, guru menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Pembelajaran berpusat kepada peserta didik (student centre). Guru memfasilitasi setiap peserta didik mengeksplorasi minat dan rasa ingin tahunya.

Secara konsep, pembelajaran terdiferensiasi sangat baik dan sangat ideal untuk mengakomodir perbedaan individual peserta didik, tetapi pada praktiknya, hal ini menjadi sebuah tantangan yang tidak mudah bagi guru. 

Guru perlu kerja keras dalam melaksanakannya, karena guru harus menyiapkan waktu, tenaga, berbagai strategi pembelajaran, dan asesmen hasil belajar sesuai dengan karakter, minat, dan kebutuhan peserta didik.

Agar pembelajaran terdiferensiasi ini bisa dilakukan dengan optimal, menurut saya, ada 5 hal yang perlu diperhatikan. 

Pertama, perlunya peningkatan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan asesmen hasil belajar peserta didik. 

Walau pembelajaran terdiferensiasi bukan konsep yang baru, tetapi diakui atau tidak, masih banyak guru yang belum paham dan belum bisa melaksanakannya. Mengapa demikian? Karena pada praktik pembelajaran, hal ini tidak atau belum dilaksanakan. 

Mungkin saja secara teori tahu, tetapi dengan berbagai alasan, seperti merepotkan, terbatasnya waktu, dan perlu tenaga ekstra dari guru, serta banyaknya peserta didik yang harus diajari, maka hal ini belum dilaksanakan oleh guru.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka sekolah perlu mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi. 

Selain itu, guru juga dapat mencari sendiri informasi terkait dengan konsep dan implementasi pembelajaran terdiferensiasi dari berbagai sumber. Misalnya aplikasi yang disediakan oleh Kemdikbudristek seperti aplikasi merdeka mengajar, guru berbagi, dan aplikasi lainnya. 

Selain itu, guru bisa mencari informasi dari internet, YouTube, artikel jurnal atau best practice terkait dengan pembelajaran terdiferensiasi. Guru juga bisa bergabung dalam komunitas seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk saling berbagi pengalaman dan inspirasi terkait dengan pembelajaran terdiferensiasi.

Kedua, guru harus benar-benar mengenal gaya belajar, minat, kemampuan awal, dan kebutuhan peserta didik. 

Setiap peserta didik unik. Mereka memiliki gaya belajar yang beragam, seperti gaya belajar dominan melalui pendengaran (auditory), gaya belajar yang dominan menggunakan penglihatan (visual), dan gaya belajar yang dominan menggunakan gerakan (kinestetik). 

Belum lagi dikaitkan dengan beragamnya kecerdasan yang dimiliki oleh setiap peserta didik yang dikenal dengan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang dikembangkan oleh Howard Garner, seorang psikolog dari Universitas Harvard Amerika Serikat. Bagi Gardner tidak ada anak yang bodoh atau pintar. Namun yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan tertentu.

Pada hasil penelitiannya, Gardner menyebutkan bahwa terdapat 8 jenis kecerdasan, yaitu (1) kecerdasan verbal-linguistik, (2) kecerdasan logis-matematik, (3) kecerdasan spasial-visual, (4) kecerdasan kinestetik-jasmani, (5) kecerdasan musical, (6) kecerdasan intrapersonal, (7) kecerdasan interpersonal, dan (8) kecerdasan naturalis.

Seiring dengan berkembangnya berbagai riset terkait kecerdasan, maka ditemukan 1 kecerdasan baru yang disebut kecerdasan eksistensial, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kepekaan atau kemampuan seseorang dalam menjawab persoalan terdalam (hakikat) dalam keberadaan manusia. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh para filosof atau para pemikir.

Berdasarkan hal tersebut, maka sudah dapat dibayangkan bahwa pengelolaan pembelajaran menjadi sebuah proses yang kompeks dan menantang bagi guru. Perlu guru yang benar-benar kompeten, berjiwa pemelajar, dan berpikiran terbuka untuk berubah (growth mindset) dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.

Asesmen diagnostik baik asesmen diagnostik kognitif maupun asesmen diagnostik nonkognitif menjadi "pintu gerbang" bagi guru untuk mengetahui karakter murid. Asesmen diagnostik kognitif dilakukan oleh guru sebelum peserta didik mempelajari materi yang baru. 

Teknisnya, guru membuat beberapa pertanyaan atau soal yang harus dijawab oleh peserta didik. Jawaban dari peserta didik dijadikan dasar bagi guru untuk menyusun strategi pembelajaran dan perlakuan yang akan diberikan kepada setiap peserta didik.

Asesmen diagnostik nonkognitif dilakukan oleh guru melalui penyebaran angket, wawancara, observasi ke tempat tinggal peserta didik, atau mempelajari buku rapor pada jenjang sebelumnya. Guru juga bisa bekerja sama dengan wali kelas, guru BK, atau psikolog untuk mengetahui karakteristik, gaya belajar, minat peserta didik.

Ketiga, pendekatan yang dilakukan. Pelaksanaan pembelajaran terdiferensiasi bisa mempertimbangkan beragam pendekatan, seperti pendekatan personal. 

Maksudya, berapa guru yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran pada 1 kelas tertentu. Apakah cukup 1 orang guru guru atau memerlukan beberapa orang guru (team teaching). Bisa melalui pendekatan durasi intervensi atau bimbingan guru dalam proses pembelajaran mengingat beragamnya kemampuan belajar peserta didik. 

Ada yang mampu belajar dengan cepat (fast learner), kemampuan belajarnya sedang (middle learner), dan kemampuan belajarnya lambat (slow learner). 

Khusus untuk anak yang tipe lambat belajar (slow learner), guru tentunya harus memberikan tambahan jam belajar bagi yang bersangkutan. Bisa juga menggunakan pendekatan produk/tugas/proyek yang dikerjakan oleh peserta didik untuk menguasai sebuah materi supaya potensi mereka dapat dikembangkan oleh guru.

Beberapa pendekatan pembelajaran terdiferensiasi tersebut bisa dipertimbangkan oleh guru agar tidak ada istilah produk gagal dalam pendidikan. Setiap peserta didik bisa juara dalam minat dan kemampuannya masing-masing. 

Dalam pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik, pesan utamanya adalah tidak ada peserta didik yang bodoh atau gagal, tetapi yang ada adalah guru yang belum menemukan cara atau strategi terbaik untuk mendidik mereka. 

Oleh karena itu, guru perlu terus melakukan refleksi sebagai dasar untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Asesmen formatif yang saat ini lebih ditekankan dalam pembelajaran berbasis kurikulum merdeka juga bertujuan agar guru menjadikan asesmen sebagai dasar perbaikan atau peningkatan mutu pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Keempat, jumlah murid dalam satu kelas. Hal ini bisa menjadi tantangan utama bagi guru dalam pelaksanaan pembelajaran terdiferensiasi mengingat di Indonesia jumlah peserta didik dalam satu kelas biasanya mencapai 30-40 orang. 

Jumlah peserta didik yang banyak tersebut tentunya memerlukan kerja ekstra dari seorang guru jika setiap peserta didik ingin dilayani sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya masing-masing.

Kalau pembelajaran terdiferensiasi ingin dilakukan secara optimal, menurut saya, perlu dipertimbangkan penyesuaian jumlah peserta dalam 1 kelas. Perkiraan jumlah ideal peserta didik dalam 1 kelas antara 10-15 orang sehingga guru bisa mengenali dan melayani setiap peserta didik dengan optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah perlu membuat regulasi penyesuaian terkait jumlah murid dalam kelas. 

Pada Standar Pengelolaan diatur bahwa jumlah maksimal peserta didik di SD/MI sebanyak 28 orang, jumlah maksimal peserta didik SMP/MTs sebanyak 32 orang, dan jumlah maksimal peserta didik SMA/MA/SMK sebanyak 36 orang. 

Di SLB, jumlah maksimal peserta didik SDLB sebanyak 5 orang, SMPLB dan SMALB sebanyak 8 orang. Pembelajaran terdiferensiasi di SLB mungkin mungkin hal yang sudah biasa bagi guru-gurunya.

Penyesuaian (penurunan) jumlah peserta didik dalam 1 kelas tentunya akan berdampak terhadap daya tampung sekolah terhadap peserta didik yang akan berimbas terhadap kebutuhan guru, kebutuhan sarana-prasarana, dan penganggaran. Walau demikian, hal ini mau tidak mau perlu dilakukan oleh pengelola pendidikan kalau mau pembelajaran terdiferensiasi dilakukan dengan optimal.

Kelima, mempertimbangkan jenis asesmen untuk mengukur kemampuan peserta didik. Pembelajaran terdiferensiasi idealnya tidak hanya menggunakan 1 jenis instrumen asesmen untuk mengukur ketercapaian hasil belajar peserta didik, tetapi harus menggunakan beragam instrumen asesmen mengingat beragamnya gaya belajar, proses belajar, dan minat belajar peserta didik.

Ibaratnya, ikan yang dites naik pohon pasti akan gagal. Sama halnya seperti gajah yang dites berenang atau menyelam. Kedua binatang tersebut pasti akan akan gagal melakukannya atau gagal memberikan kemampuan terbaiknya. Begitu pun untuk mengukur ketercapaian kemampuan belajar peserta didik. 

Kalau hanya menggunakan 1 jenis instrumen asesmen, misalnya paper and pencil test, maka hampir dapat dipastikan hasilnya akan "ambyar". Setiap peserta didik belum tentu mampu melakukan yang terbaik dan pembelajaran terdiferensiasi menjadi kurang bermakna. Jenis instrumen asesmen yang bisa digunakan oleh guru misalnya tes lisan, tes tulisan, tes praktik, dan portofolio.

Dengan demikian, pembelajaran terdiferensiasi harus diikuti dengan asesmen yang terdiferensiasi yang bermuara pada ketercapaian tujuan pembelajaran. 

Konsekuensinya, guru memang harus membuat indikator dan rubrik untuk setiap jenis instrumen asesmen yang digunakan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam menyusun intrumen asesmen, menyusun indikator ketercapaian kompetensi, dan menyusun rubrik penilaian harus ditingkatkan.

Tetap semangat guru-guru di Indonesia. Jadilah pemelajar sepanjang hayat agar siap terus mengajar dan memberikan pengetahuan terbaru bagi peserta didik. Anda adalah andalan utama dalam implementasi pembelajaran terdiferensiasi pada kurikulum merdeka saat ini. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun