Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Potret Totalitas Kerja Seorang Guru Pendidikan Khusus

16 Mei 2022   22:21 Diperbarui: 17 Mei 2022   18:41 2139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POTRET TOTALITAS KERJA SEORANG GURU PENDIDIKAN KHUSUS

Oleh: IDRIS APANDI

(Penulis Buku Guru Kalbu)

Tulisan ini terinspirasi dari kisah seorang guru Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) di sebuah daerah. Dia mengajar kelas 4 anak tunarungu. Salah satu muridnya adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) penderita autis berat dengan tipe low function. 

Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas yang dipikul oleh guru tersebut. Salah satu tantangan yang dihadapinya adalah ABK tersebut belum bisa Buang Air Kecil (BAK) dan Buang Air Besar (BAB) dengan benar. 

Oleh karena itu, guru tersebut memberikan program"toilet training" kepada anak tersebut mengingat kemampuan menggunakan toilet adalah kemampuan dasar yang mestinya diajarkan sejak dini.

Dalam tulisannya, guru tersebut menyampaikan program "Toilet Training" meliputi; 

1) mempekenalkan tanda-tanda akan melakukan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) dan cara menahan agar tidak langsung BAB dan BAK. 

2) mengajarkan anak agar selalu BAB dan BAK di tempat yang tepat, yaitu toilet. Hal ini terlihat sepele, tapi bagi anak autis ini sangat penting karena kalau tidak diajarkan, mereka akan BAB dan BAK di sembarang tempat. 

3) memperkenalkan alat-alat dan cara penggunaan dari toilet yang ada di rumah. Apabila toilet jongkok, maka ajarkan anak untuk jongkok yang aman untuk anak dan alat-alat untuk membersihkan kotorannya. 

4) mengajarkan anak cara membersihkan diri setelah melakukan BAB dan BAK. Bahkan, mungkin saja dalam praktiknya dia tidak hanya mengajarkan ABK tersebut BAK atau BAB, tetapi membantunyamembersihkan kotoran setelah BAK atau BAB.

Dalam melaksanakan "toilet training" bagi muridnya yang ABK tersebut, dia menghadapi tantangan berupa kurangnya respon orang tua saat diajak bekerja sama melaksanakan program tersebut. 

Guru hanya bisa mengajarkan anak menggunakan cara BAK dan BAB di sekolah saja selama 4 jam, sedangkan selama 20 jam anak bersama dengan orang tuanya. 

Sayangnya, orang tuanya kurang memberikan respon yang positif dan kurang bekerja sama dengan alasan sibuk bekerja dan menganggap bahwa urusan mengajar murid adalah tanggung jawab guru. Bukan tanggung jawab mereka. Hal tersebut tentunya menjadi kendala sekaligus tantangan bagi sang guru.

Walau demikian, guru tersebut tidak putus asa. Dia tetap mencoba berkomunikasi cara mendatangi rumah kedua orang tua ABK tersebut. Selain itu, dia pun mencoba untuk berkomunikasi dengan kakek dan nenek ABK tersebut agar mereka bersedia membantu cucunya BAK dan BAB dengan benar.

Saya membaca kisahnya sambil termenung dan mengangguk-angguk kepala sebagai respon sekaligus apresiasi yang setinggi-tingginya kepada guru tersebut. Mengapa? Karena menurut saya, tidak setiap guru bisa melakukannya. 

Melatih ABK autis berat tipe slow function melakukan BAB dan BAK adalah hal yang sulit. 

Jangankan mengajarkan ABK, mengajarkan dan membiasakan anak yang Non-ABK saja, misalnya anak usia PAUD atau SD kelas rendah untuk BAK dan BAB sesuai dengan ketentuan saja, orang tua atau guru masih menghadapi kesulitan. 

Bahkan anak-anak SD kelas tinggi, anak SMP, anak SMA/SMK saja masih ada yang (maaf) jorok di toilet sekolah. Kalau BAK atau BAB tidak dibersihkan dengan benar bahkan tidak dibersihkan sama sekali padahal air atau alat kebersihan tersedia di toilet tersebut. Alasannya bukan karena tidak bisa membersihkan kotoran, tetapi karena memang abai atau kurang bertanggung jawab.

Saya berpendapat bahwa guru-guru pendidikan khusus adalah orang yang memang luar biasa. Bahkan sangat luar biasa. Dedikasinya dalam melaksanakan tugas tidak perlu diragukan lagi. 

Dengan memutuskan memilih menjadi guru pendidikan khusus, berarti dia sudah siap mengajar, mendidik, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan ABK yang tentunya memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan mengajar anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus. 

Nurani seorang pendidik dan tekad yang bulat dan kuat untuk menjadi seorang guru pendidikan khusus menjadi kekuatan yang luar biasa bagi mereka untuk mendidik ABK dengan sepenuh hati. 

Kesabaran dan keuletan seorang guru pendidikan khusus sepertinya perlu berlapis-lapis atau berlipat-lipat dibandingkan dengan guru pendidikan umum karena tantangan yang dihadapinya lebih berat.

Kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial seorang guru pendidikan khusus benar-benar diuji saat melaksanakan tugas. Kematangan emosi guru pendidikan khusus harus benar-benar bisa terkendali dan terjaga mengingat mereka menghadapi ABK yang mungkin secara emosional juga perlu ada strategi ada strategi khusus.

Mengingat beratnya tantangan seorang guru pendidikan khusus, menurut saya, pemerintah pun harus memberikan perhatian khusus kepada mereka, misalnya dengan meningkatkan tunjangan profesinya, memberikan apresiasi bagi guru-guru pendidikan yang berdedikasi tinggi dan berprestasi, serta memberikan pelatihan penanganan ABK melalui cara-cara yang lebih inovatif untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. 

Selain itu, para guru pendidikan khusus bisa saling berbagi praktik baik terkait penanganan ABK agar mutu pembelajaran pada ABK semakin meningkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun