Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Literasi atau Mati)
Hasil asesmen nasional tahun 2021 yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan dan Teknologi (Kemdikbudristek) menunjukkan bahwa 1 dari 2 orang peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi. Kemudian, 2 dari 3 peserta didik belum mencapai kompetensi minimal numerasi.Â
Hal ini merupakan PR besar yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah agar terus ditingkatkan. Mengapa demikian?Â
Karena literasi dan numerasi merupakan modal dasar bagi seorang manusia untuk dapat melakukan berbagai kegiatan atau aktivitas dalam kehidupannya. Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, literasi dan numerasi merupakan hal penting untuk melahirkan generasi yang unggul dan kompetitif.
Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan oleh Organisation for Co-Operation and Development (OECD) tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik Indonesia pada bidang membaca, sains, dan matematika masih sangat rendah.Â
Dari 79 negara yang disurvei dengan melibatkan 600.000 anak berusia 15 tahun, Indonesia berada pada ranking 74 pada kemampuan membaca dengan skor rata-rata 371.Â
Pada kemampuan matematika, Indonesia berada pada rangking 73 dengan skor rata-rata 379. Dan pada kemampuan sains, Indonesia berada pada rangking 71 dengan skor rata-rata 396.
Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal Maret 2020 hingga saat ini menyebabkan menurunnya mutu pembelajaran (learning loss).Â
Pembelajaran yang dilakukan secara daring atau belajar dari rumah (BDR) kurang optimal untuk mencapai target pembelajaran karena dihadapkan pada berbagai kendala seperti terbatasnya sarana-prasarana (handphone Android dan laptop), terbatasnya akses internet, terbatasnya kemampuan orangtua dalam membeli kuota internet, dan terbatasnya kemampuan orangtua dalam mendampingi saat anak belajar di rumah. Hal ini berdampak terhadap semakin menurunnya kemampuan literasi dan numerasi peserta didik.
Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang sebagai salah satu asesmen nasional fokus pada aspek literasi (membaca) dan numerasi (matematika). Tujuannya untuk melihat sebaran kemampuan peserta didik SD/sederajat, SMP/sederjat, SMA/sederajat, dan SMK/sederajat pada kedua hal tersebut.Â
Hasil AKM perlu menjadi bahan evaluasi, refleksi, sekaligus menjadi dasar bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan untuk menyusun kebijakan dan program untuk meningkat mutu literasi dan numerasi peserta didik.
Masih rendahnya mutu literasi dan numerasi menunjukkan bahwa ada hal yang perlu dibenahi terkait praktik pembelajaran. Guru menjadi yang pihak tidak bisa dipisahkan dari hal tersebut. Oleh karena itu, peningkatan mutu guru harus menjadi program prioritas pemerintah karena guru adalah ujung tombak dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student center), mengembangkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking), mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS/Higher Order Thinking Skills), dan menerapkan pendekatan saintifik (saintific approach) perlu dilakukan oleh guru dalam upaya meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi peserta didik.Â
Penerapan model pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran menyingkap/menemukan (inquiry/discovery) sangat disarankan untuk dilakukan oleh guru.
Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, inilah momentum bagi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang berdampak terhadap hasil belajar peserta didik.Â
Pendampingan dan pembinaan dari Dinas Pendidikan, yayasan penyelengara pendidikan, pengawas sekolah, dan kepala sekolah tentunya sangat diperlukan dalam meningkatkan mutu guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran.
Program Guru Penggerak (GP) dan Sekolah Penggerak (SP) menjadi kesempatan bagi guru dan satuan pendidikan untuk meningkatkan mutu pembelajaran termasuk menerapkan proses pembelajaran dan asesmen pembelajaran berbasis literasi dan numerasi.
Semangat kurikulum merdeka adalah memberikan kewenangan atau otonomi yang luas kepada satuan pendidikan dan guru untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai hasil belajar peserta didik. Mengapa demikian?Â
Karena karakteristik setiap satuan pendidikan dan peserta didik beragam sehingga tidak dapat disamaratakan. Pemerintah hanya membuat pedoman umumnya saja, sedangkan teknisnya sepenuhnya diserahkan kepada satuan pendidikan dan guru.
Dalam meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi peserta didik, guru diharapkan bisa memancing peserta didik untuk bertanya, berpendapat, menanggapi, atau berbagi pengalaman.Â
Penguasaan keterampilan proses guru saat mengajar menjadi faktor penting untuk mewujudkan pembelajaran yang menantang, menyenangkan. Dan bermakna bagi peserta didik.Â
Guru dapat merancang peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar, menyiapkan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), menyiapkan masalah yang harus dipecahkan oleh peserta didik, memberikan ruang untuk berkarya menghasilkan produk dalam sebuah proyek, dan sebagainya.
Guru pun sebaiknya melakukan asesmen diagnostik terkait dengan minat dan kecenderungan peserta didik dalam hal literasi dan numerasi. Cakupan literasi cukup luas. Literasi bukan hanya membaca saja, tetapi berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, potensi-potensi atau minat-minat literasi inilah yang perlu difasilitasi dan dikembangkan oleh guru agar setiap peserta didik menikmati dan menyenangi proses belajar.Â
Sedikitnya ada 6 (enam) literasi dasar, yaitu (1) literasi baca-tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi digital, (5) literasi finansial, dan (6) literasi budaya dan kewarganegaraan.
Dalam konteks program penguatan literasi dan numerasi di satuan pendidikan. sekolah dapat menyusun program penguatan literasi dan numerasi dengan berdasarkan pada data rapor pendidikan agar lebih terarah dan sesuai dengan kebutuhan. Pada tahun 2016 digebyarkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).Â
Setiap sekolah diharapkan untuk menyusun dan melaksanakan berbagai program kegiatan GLS. Beberapa program yang telah dilaksanakan diantaranya pembiasaan membaca buku nonteks selama 15 menit, membuat pojok baca, membuat pohon literasi, mengoptimalkan majalah dinding (mading), mengoptomalkan perpustakaan sekolah, lomba-lomba literasi, festival literasi, atau apresiasi literasi. Saat ini, penguatan literasi dan numerasi semakin menjadi program prioritas dalam peningkatan mutu pendidikan.
Hal yang menjadi tantangannya adalah pada konsistensi pelaksanaan program. Diakui atau tidak, GLS masih banyak yang sebatas formalitas, seremonial, kurang membumi, dan kurang mengakar di kalangan warga sekolah.Â
Bahkan di kalangan kepala sekolah dan guru pun, belum semuanya memiliki perhatian yang serius terhadap gerakan literasi di sekolah. Kadang yang paling sibuk adalah guru yang pernah ditugaskan ikut pelatihan literasi atau guru yang memiliki minat yang tinggi dalam bidang literasi.Â
Oleh karena itu, wajar saja ruh dari literasi belum tecermin dalam pembelajaran dan berdampak terhadap masih rendahnya kemampuan literasi (dan juga numerasi) peserta didik.
Berbagai program pemerintah terkait penguatan literasi pun patut diakui memang ada. Berbagai buku panduan atau pedoman pelaksanaan GLS pun sudah dibuat dan disebarkan ke sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan. Walau demikian, pertanyaannya adalah bagaimana konsistensinya?Â
Apakah ada monitoring dan evaluasinya (monev)? Jika ada monevnya, bagaimana teknis monev? Bagaimana tindaklanjut pascamonevnya? Bagaimana sistem penganggarannya? Bagaimana sarana-prasarana penunjangnya? Bagaimana penyiapan SDM-nya? Dan sebagainya.Â
Lagi-lagi, kegiatan literasi dan numerasi jangan sampai hanya sebatas formalitas dan seremonial saja. Asal terlaksana dan kurang berdampak terhadap peningkatan mutu pembelajaran.Â
Kita patut memberikan apresiasi kepada pihak-pihak yang terus menggerakkan dan mengampanyekan literasi walau dihadapkan pada beragam tantangan. Bahkan ada yang mengeluarkan dana sendiri untuk melalukan hal tersebut.
Saat ini, hampir di setiap daerah kabupaten, kota, dan provinsi diangkat Bunda Literasi. Biasanya yang menjabatnya adalah istri-istri kepala daerah. Secara politis, adanya bunda literasi diharapkan dapat mendorong daerah untuk serius meningkatkan mutu masyarakat khususnya peserta didik melalui gerakan literasi melalui berbagai kebijakan dan program.
Idealnya, gerakan literasi di daerah bukan hanya melibatkan Dinas Pendidikan saja, tetapi juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Pendidikan, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, Bappeda, Kementerian Agama, dunia usaha/dunia industri, komunitas pegiat literasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sebagainya.Â
Di sinilah diharapkan adanya sinergi, kolaborasi, dan gotong royong untuk meningkatkan mutu literasi dan numerasi. Sinergi dan kolaborasi itu akan lebih terkoordinasi melalui sebuah tim penggerak literasi di daerah.
Di satuan pendidikan pun, kepala sekolah perlu menggandeng Komite Sekolah, dunia usaha/dunia industri, komunitas pegiat literasi, dan perwakilan masyarakat lainnya untuk meningkatkan mutu literasi dan literasi di sekolah.Â
Para guru pun sebaiknya diberikan pelatihan untuk menguatkan proses pembelajaran dan asesmen berbasis literasi dan numerasi. Dengan demikian, peningkatan mutu literasi dan numerasi peserta didik pascaasesmen nasional perlu dilakukan secara fokus, terarah, sinergis, kolaboratif, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Inilah sejatinya peningkatan pendidikan berbasis gotong royong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H