KURIKULUM PROTOTIPE DAN MINDSET GURU
Oleh: IDRIS APANDI (Anggota Dewan Pendidikan Jawa Barat 2019-2024)
Tahun 2022 Kemdikbudristek meluncurkan kurikulum yang disebut sebagai kurikulum prototipe. Kurikulum ini bersifat opsional dalam artian bisa dijadikan pilihan bagi sekolah selain kurikulum 2013 dan kurikulum darurat pada masa pandemi Covid-19.Â
Kurikulum prototipe yang merupakan salah satu kebijakan "merdeka belajar" disebut sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya, upaya untuk menjawab tantangan zaman, khususnya terkait dengan penguatan literasi dan numerasi.Â
Berdasarkan hasil PISA tahun 2018 posisi Indonesia masih sangat rendah. Dari 79 negara, Indonesia menempati urutan 74 dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains.Â
Kurikulum prototipe juga sebagai sarana untuk memulihkan pembelajaran pascapandemi Covid-19 karena peserta didik banyak yang mengalami penurunan mutu pembelajaran (learning loss) selama Belajar Dari Rumah (BDR).
Kurikulum prototipe saat ini telah dilaksanakan pada kurang lebih 2500 sekolah penggerak dan SMK Pusak Keunggulan (SMK-PK).Â
Kurikulum prototipe diklaim sebagai kurikulum yang sesuai dengan filosofi pendidikan berpihak kepada murid, lebih sederhana, berbasis kompetensi, menguatkan karakter, fokus kepada materi esensial, melahirkan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik, dan untuk mendukung tercapainya visi pendidikan nasional yaitu terwujudnya profil Pelajar Pancasila.
Pada kurikulum prototipe jenjang SD pun direncanakan IPA dan IPS digabung menjadi IPAS. Kemudian pada jenjang SMA, peserta didik diberikan keleluasaan untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan pilihan kariernya di masa depan. Inilah mungkin sebagai perwujudan kurikulum yang memerdekakan peserta didik.Â
Mata pelajaran TIK yang pada K-13 dihapus, justru pada kurikulum prototipe dimunculkan kembali karena kondisi saat ini menuntut agar setiap orang menguasai TIK.
Kurikulum prototipe menghadirkan fleksibilitas bagi sekolah untuk mengatur jadwal pelajaran.Â
Alokasi jam pelajaran yang biasanya ditetapkan per minggu, pada kurikulum prototipe diatur menjadi satu tahun pelajaran.Â
Sekolah dapat mengatur secara fleksibel materi pelajaran apa yang akan diajarkan atau tidak diajarkan pada kelas dan pada semester tertentu. Namun, yang penting dalam satu tahun mencapai jumlah jam pelajaran yang telah ditetapkan pada stuktur kurikulum nasional.
Pro dan kontra pun muncul terkait kurikulum prototipe ini. Pihak yang kontra terhadap kurikulum prototipe mempertanyakan terkait urgensi munculnya kurikulum ini karena Kurikulum 2013 (K-13) baru beberapa tahun diimplementasikan.Â
Guru-guru banyak yang belum benar-benar paham terkait implementasi K-13, sudah mau diganti lagi. Hal ini pun semakin menguatkan anggapan bahwa ganti Menteri ganti kurikulum.
Pihak yang pro berpendapat bahwa pergantian kurikulum bukan hal tabu untuk dilakukan. Kurikulum pendidikan harus mampu mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Perubahan kurikulum perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan mutu pendidikan Indonesia pada level regional dan internasional.Â
Bahkan faktanya kurikulum hampir selalu tertinggal oleh perkembangan zaman. Misalnya, di saat peserta didik SMK jurusan mesin kendaraan masih belajar dan praktik service mesin kendaraan yang menggunakan karburator, industri kendaraan telah mengeluarkan kendaraan yang menggunakan injeksi. Oleh karena itu, terjadi kesenjangan antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan tenaga kerja di lapangan.
Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya kurikulum prototipe. Peserta didik perlu dibekali dengan kompetensi yang menjadi bekal di masa depan. Pada proses pembelajaran, peserta didik lebih diarahkan untuk melakukan proyek, menyingkap (inquiry), menemukan (discovery), pembelajaran berbasis masalah secara kontekstual, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS).Â
Perubahan kurikulum pada dasarnya adalah hal yang lumrah dilakukan. Setiap pemimpin tentunya ingin menjabarkan visinya melalui berbagai kebijakan khususnya terkait peningkatan mutu pendidikan. Hal tersebut nantinya akan menjadi legacy saat dirinya tidak menjabat lagi.Â
Walau demikian, tentunya perubahan dan berbagai kebijakan yang diambil perlu didasarkan pada hasil evaluasi dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.Â
Berbagai masukan, termasuk dari pihak yang mengkritisi atau kontra pun tentunya perlu dijadikan bahan pertimbangan agar implementasi kurikulum prototipe tersebut dalam dilaksanakan dengan optimal.
Mindset Guru
Perubahan kurikulum akan menyentuh guru sebagai ujung tombak pembelajaran. Dengan kata lain, apapun kurikulumnya, kuncinya ada pada guru. Mungkin saja munculnya kurikulum prototipe menghadirkan semangat perubahan dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran.Â
Walau demikian, hal tersebut tidak akan bisa dilaksanakan dengan optimal jika mindset gurunya tidak berubah. Perubahan kurikulum perlu sejalan dengan perubahan mindset guru. Perlu dibangun pola pikir bertumbuh (growth mindset) di kalangan guru.Â
Oleh karena itu, ada pembelajaran paradigma baru seiring dengan munculnya kurikulum prototipe karena kalau guru mengajarnya masih dengan paradigma lama, maka kurikulum tersebut hanya akan indah di atas kertas.
Embrio pelaksanaan kurikulum prototipe sudah ada pada program guru penggerak dan sekolah penggerak.Â
Para guru penggerak yang dilatih selama sembilan bulan diharapkan bisa menjadi agen-agen perubahan atau guru-guru yang memiliki pola pikir bertumbuh dan mampu melaksanakan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik.Â
Begitu pun guru-guru yang mengajar di sekolah penggerak diberikan intervensi agar memiliki growth mindset dalam melaksanakan pembelajaran, karena salah satu indikator keberhasilan sekolah penggerak adalah jika guru melaksanakan pembelajaran dengan paradigma baru.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal Maret 2020 telah mendorong guru-guru untuk keluar dari zona nyaman.Â
Mereka pada akhirnya terpaksa atau dipaksa untuk menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sarana penunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring (dalam jaringan/online).Â
Tidak dapat dipungkiri, banyak guru kreatif lahir di masa pandemi. Hal ini bisa menjadi modal penting dalam mendukung implementasi pembelajaran pascapandemi, termasuk jika sekolahnya memilih menerapkan kurikulum prototipe.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi kurikulum prototipe kepada para guru. Tujuannya untuk memberikan pemahaman dan agar mereka tidak kebingungan dalam mengimplementasikannya. Walau mungkin saja para guru telah mendengar atau membaca informasi kurikulum tersebut, tetapi belum tentu bisa memahaminya secara utuh jika tidak disertai dengan sosialisasi dari pemerintah. Setelah sosialisasi, kemudian perlu dilakukan pelatihan dan pendampingan kepada mereka.
Mari pelajari dengan seksama konsep dan implementasi dari kurikulum prototipe tersebut. Minimal belajar dari implementasinya pada sekolah penggerak. Pemantauan dan evaluasi pun tentunya diperlukan. Jika masih terdapat kekurangan, maka saran dan masukan yang konstruktif dari berbagai pihak terkait tentunya akan menjadi hal yang sangat berguna untuk penyempurnaan kurikulum prototipe tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H