Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar Melalui Pembelajaran HOTS

18 Agustus 2021   00:18 Diperbarui: 18 Agustus 2021   08:12 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

 

Kebijakan merdeka belajar yang saat ini dijalankan oleh Kemendikbudristek memberikan ruang kepada setiap peserta didik untuk belajar sesuai dengan minat dan bakatnya karena karena pada dasarnya setiap peserta didik adalah unik. Prinsipnya adalah tidak ada anak yang bodoh, tetapi yang ada adalah anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan potensi dan kecerdasannya.

Lahirnya kebijakan merdeka belajar ingin menegaskan bahwa pendidikan harus berpihak kepada peserta didik agar mereka mendapatkan rasa aman dan nyaman saat belajar (student wellbeing). Mereka dapat belajar melalui berbagai sumber belajar baik dari guru, buku teks pelajaran, maupun dari internet. 

Dengan demikian, guru bukan satu-satu sumber belajar. Peserta didik dapat memilih sumber belajar selain guru. Walau demikian, peran guru tetap tidak dapat tergantikan dalam proses pembelajaran, karena pada proses pembelajaran, peserta didik bukan hanya transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga transformasi nilai-nilai (transformation of value). Secanggih apapun teknologi pembelajaran, peran guru tidak akan tergantikan.

Kebijakan merdeka belajar hanya bisa terlaksana jika gurunya pun merdeka atau dimerdekakan dari berbagai aturan terkesan membelenggu kreativitas dan inovasi guru, adanya politisasi guru, terbatasnya kesempatan bagi guru untuk mengembangkan profesionalismenya, dan sebagainya. 

Guru yang merdeka pun berjiwa pemelajar, harus memiliki inisiatif untuk meningkatkan kompetensinya secara mandiri. Jangan selalu menunggu bola atau datangnya kesempatan pelatihan dari pemerintah. Guru yang merdeka tidak terlalu ketergantungan kepada juklak dan juknis dari pemerintah, tetapi dia menggali sendiri ide-ide baru agar proses pembelajaran di kelas semakin menarik dan bermakna bagi peserta didik.

Saat ini begitu banyak kesempatan pelatihan dan webinar bagi guru baik yang gratis maupun yang berbayar. Tinggal guru memiliki motivasi dan semangat yang tinggi untuk mau terus belajar karena sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa "kalau guru masih ingin mengajar, maka harus mau belajar." 

Mengapa demikian, karena seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang begitu cepat, maka tantangan yang dihadapi oleh guru pun semakin kompleks.

Guru harus tanggap terhadap perkembangan dan mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dinamis. Jika guru lamban dalam merespon perkembangan zaman, maka dikhawatirkan akan berdampak terhadap mutu pembelajaran. Materi yang disampaikan oleh guru menjadi kurang aktual (up to date) dan kontekstual. Materi atau contoh yang ada pada buku teks pelajaran mungkin saja sudah kurang sesuai dengan perkembangan. Oleh karena itu, guru harus menyesuaikan dengan perkembangan terbaru.

Dalam kondisi dimana IPTEK digunakan untuk mendukung pembelajaran, maka guru mau tidak mau harus mau memacu dirinya untuk menguasai IPTEK. Sudah bukannya lagi guru yang kudet atau kurang update, sedangkan peserta didik yang dihadapi adalah generasi millennial atau generasi Z yang sangat akrab dengan teknologi. 

Kita tentunya patut bangga bahwa sudah banyak guru yang profesional dan tersertfikasi setelah lulus Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Seiring dengan terjadinya pandemi Covid-19 sejak awal Maret 2020, para guru mau belajar meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan TIK karena hal tersebut menjadi pendukung pembelajaran daring atau jug suka disebut Belajar dari Rumah (BDR). 

Dengan kondisi seperti ini, guru harus berani dan mau keluar dari zona nyaman agar tetap dapat memberikan layanan pendidikan yang baik sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan peserta didik.

Dalam sebuah proses pembelajaran yang interaktif, peran guru bukan hanya sebagai salah satu sumber belajar, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran bagi peserta didik. Guru diharapkan merancang pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik untuk aktif belajar dan berpikir kritis sehingga peserta didik mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. 

Pembelajaran yang berorientasi kepada kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) diharapkan diterapkan oleh guru agar hal tersebut dapat terwujud.

Pembelajaran HOTS bukanlah pembelajaran yang identik dengan pembelajaran yang ribet dan menyulitkan peserta didik, tetapi pembelajaran yang menantang sekaligus menyenangkan bagi mereka. Peserta didik difasilitasi untuk mampu mengeksplorasi gagasan dan pemikiran untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah. 

Selain itu, peserta didik juga diarahkannya untuk menganalisis, mengevaluasi, sampai bisa menciptakan sebuah karya sebagai hasil dari pembelajara yang mereka alami.

Pembelajaran HOTS adalah upaya untuk membekali siswa dengan kemampuan abad 21 yang dikenal dengan 4C, yaitu (1) Communication (komunikasi), (2)  Collaboration (kolaborasi), (3) Critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), dan (4) Creative and Innovative (kreatif dan inovatif). 

Dengan demikian, pembelajaran HOTS memosisikan peserta didik sebagai subjek belajar bukan sekadar objek belajar. Melalui pembelajaran HOTS, peserta didik didorong untuk mampu menemukan atau mengonstruksi makna dari materi yang mereka pelajari.

Setiap guru tentunya memiliki gaya dan strategi mengajar yang beragam. Walaupun demikian, tujuannya sama, yaitu agar peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Banyak model dan strategi pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru. Tidak ada model atau strategi yang paling bagus. Yang ada adalah model dan strategi yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan riil saat mengajar. 

Walau guru sudah menyusun RPP, tetapi bukan berarti guru harus kaku dengan skenario yang telah ada pada RPP tersebut. RPP dibuat dalam kondisi yang ideal, sedangkan pada pada saat pembelajaran, mungkin saja ada kendala yang membuat skenario yang dibuat pada RPP tidak dapat dilakukan. Kendala tersebut  berasal dari guru, peserta didik, atau lingkungan kelas. Oleh karena itu, guru dapat berinovasi mengganti skenario yang telah ditetapkan pada RPP dengan skenario. Yang penting pembelajaran enjoy bagi peserta didik. itulah sejatinya guru merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun